DI BALIK PEMUTUSAN KONTRAK KERJA

Pemutusan kontrak kerja(terminate), merupakan fenomena yang jamak terjadi Di edisi sebelumnya, Apakabar menurunkan laporan seputar fenomena gaji di bawah standar (underpay), salah satu akar persoalan dari kebijakan peraturan Plan A dan Plan B. Nah, seperti diketahui, dampak dari peraturan tersebut, tidak sedikit BMI di-PHK majikan secara sepihak serta dadakan. Mayoritas, menimpa new domestic helper yang masih dalam masa potongan agen.
Kurangnya pendidikan di penampungan, minimnya pembekalan hak-hak BMI, dan perampasan buku panduan (khusus BMI baru datang ke Hong Kong) yang dilakukan oleh agency, merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya pendeportasian. Berikut laporan Kristina Dian Safitry dari Apakabar
Tawaran agen kepada majikan bahwa pihaknya (agen) bisa setiap saat mengganti pembantu dengan yang baru, seolah menyatakan bahwa pengalaman kerja yang dimiliki BMI (eks) bukanlah jaminan bakal dipertahankan oleh majikan. Seperti yang terekam pada ”kasus” 10 BMI baru-baru ini.

Ke-10 BMI tersebut seluruhnya berasal dari Kendal, Jawa Tengah, dan berangkat melalui PT Bina Duta Amanah Mandiri, Sunter, Jakarta Utara. Mayoritas dari mereka sudah memiliki pengalaman bekerja di luar negeri minimal dua tahun. Toh, tetap saja mereka menjadi korban permainan agency dan PJTKI.
Saat ditemui Apakabar, F, O, SM, N, dan keenam teman lainnya sedang melakukan konseling hukum dengan ATKI. Mengomentari nasib yang mereka alami, mereka sepakat mengatakan telah menjadi ”kelinci percobaan”. Maksudnya, percobaan untuk mengakali si BMI dengan mengambil manfaat dari aturan potongan tujuh bulan. ”Majikan saya bilang, paling lama saya bekerja tujuh bulan, tapi baru tiga bulan sudah di-terminate,” kata N, 24 tahun.

Keterangan tersebut dibenarkan rekan-rekan N, yang – waktu ditemui Apakabar – mengaku sedang terancam di-terminate majikan dan sedang berusaha keras agar tidak dipulangkan ke tanah air. Untuk diketahui, ancaman majikan bahwa si pembantu akan dipulangkan ke tanah air sebelum atau sesudah melunasi masa potongan, telah disampaikan sejak pertama kali mereka mulai bekerja.

Itu sebabnya, pekan lalu, BMI yang akhirnya benar-benar dipulangkan ke tanah air, berusaha mengambil tindakan. Di antaranya dengan melakukan konseling dan tidak membayar potongan agen mulai bulan keempat. Meskipun, kata SM, dirinya pening diteror agen dan bank finansial, tempat yang ditunjuk agen untuk membayar biaya potongan. ”Lha, kok enak betul, bikin aturan sak enak udele dhewe,” cetus BMI yang bekerja di daerah Chai Wan.

Ke-10 BMI yang diberangkatkan dan diterbangkan PT dalam waktu hampir bersamaan itu, akhirnya dipulangkan ke tanah air setelah bekerja di rumah majikan rata-rata 3-6 bulan. Meski salah satu dari BMI itu mengaku memiliki majikan baik, tetapi sang majikan menolak mempertahankan dirinya. ”Soalnya, kata majikanku, dirinya sudah terikat perjanjian dengan PT.”

Yani, anggota ATKI dari basis Bawah Jembatan Victoria yang memberikan pemahaman hukum kepada mereka, menyampaikan: ke-10 BMI tersebut sebenarnya telah menyusun rencana untuk mendatangi agency beramai-ramai, meminta kejelasan tentang nasib mereka. Sayangnya, sebelum hal itu terlaksana, mereka keburu diterbangkan ke tanah air.

Banyak cara atau alasan yang kerap dipakai majikan untuk memulangkan BMI. Misalnya, dianggap tidak bisa bekerja, tidak cakap berbahasa (Kanton), dan so pasti – yang paling menonjol – adalah tuduhan mencuri. Seperti yang dialami Yuliati Ningsih, BMI asal Blitar, yang berangkat ke Hong Kong melalui PT Gondosari. Baru sebulan bekerja di rumah majikan di Mong Kok, Yuli sudah dideportasi majikan dengan tuduhan yang tidak terbukti benar.

Baru Sebulan Kok Disuruh Pulang

Yup, tidak ada alternatif pilihan yang bisa diambil oleh seorang BMI, manakala majikan sudah keukeuh hendak memulangkan pekerjanya. Sekalipun si pekerja sudah rela diperlakukan dengan sewenang-wenang, sampai mau dikasih makanan basi dan tidur di lantai, tetap saja majikan yang punya kuasa.

Bahkan, tidak jarang terjadi, sampai si BMI memohon-mohon agar tetap dipekerjakan, hasilnya sia-sia. Dalam beberapa kasus, hal itu justru acap mendorong si majikan untuk membuat alasan palsu yang, herannya, ditelan mentah-mentah oleh pihak yang dilapori: agen maupun PJTKI. Si BMI pun jadi bulan-bulanan kemarahan agen, yang lantas diikuti dengan pendeportasian dan pelecehan begitu tiba di penampungan yang memberangkatkannya dulu.

Derita seperti itu, sekadar contoh, dialami oleh Yuliati Ningsih. Baru sebulan bekerja di rumah majikan nun di daerah Mong Kok, BMI asal Blitar ini tiba-tiba sudah di-terminate. Padahal, selama bekerja, tak sekalipun majikan memperlakukan Yuli dengan layak. Setiap malam, ia disuruh tidur di lantai ruang tamu tanpa selimut dan bantal yang memadai. Akibatnya, tubuh Yuli pun sering terasa ngilu, bak remuk tulang di badan.

Soal makanan juga demikian. Yuli hanya bisa mengisi perut dari makanan sisa-sisa majikan, itu pun diberikannya secara bertahap. Sampai-sampai, makanan-makanan tersebut sudah dalam keadaan basi ketika sampai di tangan BMI plan B ini. Namun, ibarat ajal seseorang yang tidak tahu kapan datangnya selain Tuhan, mendadak sontak Yuliati di-terminate majikan. Tuduhannya: mencuri...!

So pasti, BMI yang barusan lulus SMA ini amat-sangat terkejut. Ia mengalami tekanan psikologis yang berkepanjangan. Di rumah agen, rasa itu tak bisa hilang. Pikirannya kacau memikirkan tuduhan majikan yang jauh dari kebenaran itu. Meski saat itu ia dimarahi habis-habisan oleh agen, Yuli seolah tak mendengar apa-apa. Pikirannya dihantui oleh pertanyaan: kok bisa-bisanya ia dituduh mencuri. Bagaimana mungkin perhiasan majikan
mencuri, saya hanya bisa menangis. Saya mengkhawatirkan kondisi kejiwaan adik saya,” tutur Jumiati, kakak kandung Yuli, saat dihubungi Apakabar.

Sesuai jadwal tiket yang dibelikan majikan, Yuli bersiap kembali ke PT di tanah air – seperti perintah agen. Pada detik-detik keberangkatan itulah, kabar yang sangat menyakitkan harus ia terima. Tepat di saat ia bersiap hendak meninggalkan Hong Kong, majikan tiba-tiba mengabarkan pada agen kalau perhiasannya sudah ditemukan. Barang itu tidak pernah hilang atau dicuri si pekerja yang berwajah lugu itu, melainkan cuma lupa naruh.

Kabar itu sudah kasip, atau memang sengaja dikasipkan. Dalam kenyataan, BMI yang telanjur down itu tetap saja dipulangkan ke tanah air. Sialnya, perlakuan buruk harus kembali ia terima setiba di PT, tempat ia ditampung dahulu. Pihak PT tetap bersikukuh menganggap Yuli tidak becus bekerja, dan mencuri barang majikan. Setelah merampas nomor telepon yang disimpan Yuli, staf PT menyuruh calon BMI yang dikenal Yuli untuk menendangi BMI korban terminate dadakan ini.

Tidak tahan mendapat tindak kekerasan, bungsu dari tujuh bersaudara itu akhirnya memilih kembali ke tengah-tengah keluarga di kampung halaman. Tentu saja, hal itu baru bisa dilakukan setelah keluarganya membayar denda sebesar Rp 6 juta kepada pihak PT. ”Nggak apa-apa membayar denda segitu, yang penting adik saya selamat sampai rumah,” cetus kakak kandung Yuliati.

Jumiati, sang kakak, sangat menyayangkan tindakan yang telah dilakukan majikan, juga agen maupun PJTKI. Dia bilang, kalau memang tidak puas dengan cara kerja adiknya, mbok ya jangan kayak begitu caranya. ”Kalau mau memulangkan, ya pulangkan saja. Itu kan hak setiap majikan. Seperti agen dan PJTKI itu lho, kenapa percaya begitu saja laporan dari majikan adik saya. Di mana janjinya yang akan melindungi anak buah?” ujar Jumiati, berapi-api.

Jadi? Pemutusan kontrak kerja dadakan yang dialami BMI – baik BMI masa potongan ataupun setelah melunasi potongan tujuh bulan berturut-turut – memang sudah menjadi pemandangan klasik di sekitar kita. Tidak sedikit kalangan yang kemudian berspekulasi, cara-cara seperti ini galibnya merupakan ”teori” agen (di Hong Kong maupun di Indonesia) yang ingin mengeruk keuntungan setinggi-tingginya. Nah, dalam kasus terminate terhadap BMI anyar (masih dalam masa potongan agen), permainan agen umumnya dianggap semata-mata demi mengeruk keuntungan dari BMI anyar korban terminate majikan. Pertanyaannya, bagaimana dengan BMI lawas, tidak adakah yang di-terminate majikan? Jika ada, apa penyebabnya?

Awas, Terminate Jelang Finish Contract!

Pemutusan kontrak kerja (terminate), apalagi yang dilakukan secara dadakan, masih sering dialami BMI. Tidak peduli si BMI tergolong baru (new domestic helper) – seperti ditulis Apakabar edisi lalu – maupun BMI lama yang bahkan sudah mendekati finish contract. Dalam kenyataan, BMI yang telah memiliki pengalaman kerja (eks) luar negeri pun rentan menghadapi masalah ini.

Contoh paling gres dialami Sofia, yang ditemui Apakabar di Building House yang dikelola Jessy dan Fatimah. Sofia yang bekerja di rumah majikan yang keturunan Bangladesh, akhirnya terhenti di tengah jalan. ”Hanya sekitar setahun saya bekerja di rumah itu,” tuturnya. Selama itu, menurut penuturan anak buah PT Indo Tak-Tangerang, haknya sebagai BMI dapat ia nikmati tanpa masalah. Baik soal gaji maupun hari libur.

Lalu, kenapa ia di-terminate majikan secara mendadak? ”Mungkin, karena saya sering memecahkan barang milik majikan,” aku anak buah Sweet Home Agency, Times Square, yang juga mengantungi jam terbang bekerja dua tahun di Singapura.
Sofia tak memungkiri, selama bekerja di rumah majikan yang terdiri atas lima anggota keluarga itu, ia memang sering melakukan kesalahan. Ini terkait dengan hobi majikan yang gemar mengoleksi barang-barang, sehingga rumahnya penuh dengan aneka perabotan. ”Entahlah, kenapa majikan nggak mau memotong gaji saya saja, daripada dipulangkan seperti ini,” keluh BMI asal Cilacap ini.

Pemutusan kerja akibat kesalahan kerja juga dialami Nonik Sulistiowati, anak buah Logon Corp, Employment Agency. Bedanya, ia di-terminate menjelang finish contract, sedangkan Sofia di-terminate karena sering memecahkan barang. Uniknya, ibu satu anak asal Madiun ini – menurut pengakuannya – di-PHK hanya gara-gara terlambat mengerjakan perintah majikan. ”Saat itu saya disuruh majikan memasang korden jendela. Karena pekerjaan lagi numpuk, kesempatan belum ada. Majikan kemudian menuduh saya nggak mau nuruti perintah,” ujar Nonik, dengan mimik sedih.

Nonik menuturkan, selama bekerja di rumah majikan, kemarahan, cacian, sudah menjadi makanan sehari-hari. Meski majikan tak pernah melakukan penganiayaan, tetapi menghadapi majikan ”model” begitu tetap saja membuatnya tertekan. Sudah begitu, majikan sering melontarkan ancaman mau meng-interminate. ”Cerewetnya minta ampun, Mbak. Mereka itu kan nggak kerja, jadi setiap hari dikontrol majikan,” kata BMI yang pernah tiga bulan tinggal bulan di PT Lucky Mitra Abadi, Bekasi Timur.

Nonik sangat menyesalkan tindakan majikan yang memulangkannya secara mendadak. Apalagi, pemutusan kerja dilakukan hanya dua bulan menjelang finish. ”Ndak tahulah, barangkali itu cuma alasan majikan saja,” kata BMI yang berangkat ke Hong Kong pada 27 Februari 2006.

Kejadian serupa – pemutusan kerja mendekati finish – juga dialami Yatemi, warga Desa Krebet, Kec. Jambon, Ponorogo. Gara-gara terlambat pulang libur, anak buah Overseas Employment Agency ini di-terminate majikan secara mendadak. Mau tak mau, BMI yang berangkat melalui PT Bangunsari, Pasuruan, ini mesti angkat kaki dari rumah majikan. Ia hanya mengantungi ”pesangon” HK$ 3.487, total angka dari biaya beli tiket, gaji satu bulan, dan akomodasi makan selama perjalanan.

Meskipun BMI yang pernah bekerja di Flat 17 F, Tower 125, 11 Po Yan Street, ini masih tak percaya terhadap pemutusan kerja tersebut, ia terus berusaha mencari majikan baru lagi. Tentu saja, dengan harapan, kisah pertamanya yang berakhir pahit tak terulang kembali.

Pemutusan kontrak kerja, seperti diketahui, memang merupakan fenomena yang jamak terjadi dalam ketenagakerjaan di Hong Kong. Sialnya, banyak kasus terminate yang melanggar aturan. Mengutip Buku Petunjuk Pelayanan di Hong Kong, pemutusan kontrak kerja bisa dilakukan oleh kedua belah pihak. Namun, pemutusan kontrak harus dilakukan sesuai prosedur.

So, apabila pihak BMI yang ingin menghentikan kontrak kerja, ia harus memberitahukan majikan satu bulan sebelumnya secara tertulis. Tetapi jika tanpa pemberitahuan sebelumnya, si BMI harus membayar ke majikan satu bulan gaji. Peraturan yang sama juga berlaku bagi majikan. Namun, majikan berhak menghentikan BMI tanpa membayar satu bulan gaji, apabila BMI melakukan kesalahan. Di antaranya, tidak mematuhi perintah yang sah dan wajar, berperilaku tidak sesuai dengan tugas BMI, tidak jujur atau terbukti melakukan kejahatan, dan selalu lalai dalam melakukan tugas-tugas BMI.

Sedangkan kompensasi yang harus diterima BMI korban terminate yang telah finish contract meliputi: pelunasan gaji yang belum dibayarkan, pembayaran satu bulan gaji (pemutusan kontrak kerja), uang tiket, biaya makan/uang saku perjalanan pulang ke negara asal, pembayaran atas cuti tahunan dan hari libur yang tidak diambil, plkus jumlah lain sesuai dengan ketentuan UU Ketenagakerjaan dan kontrak kerja BMI.

Apabila kontrak kerja dihentikan sebelum waktunya, BMI memiliki izin tinggal selama dua minggu atau biasa dikenal sebagai ”peraturan dua minggu”. Sebelum berakhirnya masa izin tinggal, si BMI hendaknya melapor ke Imigrasi. Kalau tidak, BMI bisa dianggap overstay alias tinggal melebihi batas waktu yang diizinkan pemerintah.

Intinya: kedua belah pihak – majikan maupun BMI – bertanggung jawab untuk memberitahu direktur Imigrasi secara tertulis dalam waktu tujuh hari sejak pemutusan kontrak kerja yang dilakukan sebelum waktunya itu. Masalahnya, ini dia, ketentuan yang sangat terang benderang itu acapkali diabaikan. (Kristina Dian S)

46 komentar di "DI BALIK PEMUTUSAN KONTRAK KERJA"

Posting Komentar