Kulambungkan angan hidup bersama cewek yang kukenal lewat chatting. Kususun impian tentang hari depan bersamanya, gadis Indonesia yang bekerja di Hong Kong. Tetapi begitu mahligai indah sudah di depan mata, perencanaan pulang bareng sudah matang, tiba-tiba ia minta putus. Belakangan baru kutahu, ia sudah ada yang punya. Duh, kekasihku tega berdusta.
Sudah hampir tiga tahun aku – panggil saja Andi – bekerja di pabrik las di Jepang. Aku tinggal serumah dengan rekan-rekanku se-tanah air. Tahu sendiri, bekerja jauh dari keluarga, ditambah masih jomblo di usia 34, hiburanku satu-satunya praktis hanya chatting. Di dunia maya, aku memiliki banyak teman yang mayoritas kaum perempuan. Mulai dari yang masih bau kencur hingga yang sudah menjanda.
Teman-temanku ini umumnya berwajah cantik dan manis. Maklum, meski di dunia chatting, aku termasuk bujangan yang suka pilih-pilih. Kuakui, tidak sedikit dari mereka yang suka memamerkan keindahan tubuhnya. Dari mereka, banyak yang mengaku bekerja di Hong Kong. Jujur, tidak ada niat di hatiku untuk mengenal lebih serius satu di antara gadis-gadis yang menyukai pakaian terbuka itu.
Namun, sejak aku mengenal gadis yang memakai nama Prahara2005, timbul pikiran untuk mengenalnya lebih dekat. Aku merasa, Prahara sangat berbeda dibandingkan dengan cewek-cewek lain yang biasa ngendon di room Nusantara. Dari pakaian yang dikenakan, aku bisa menilai, gadis itu sangat sederhana. Tidak neko-neko, juga tidak suka membicarakan hal tabu yang sering jadi santapan rekan-rekan di global, tempat kami biasa mangkal.
Prahara juga termasuk orang yang enak diajak sharing, nyambung diajak ngobrol berbagai topik. Terlebih soal ketenagakerjaan. Otaknya sungguh encer. Tidak munafik, aku suka dia. Dari cerita-cerita yang disuguhkan, aku menarik kesimpulan, Prahara pasti cewek cerdas. Awalnya, aku sampai tak yakin, gadis pintar itu bekerja di Hong Kong sebagai pembantu rumah tangga seperti yang diutarakannya. Belakangan aku percaya, ketika suatu hari aku mendengar Prahara dimarahi majikan gara-gara ketahuan sedang ngobrol via telepon denganku.
Prahara juga sosok ”misterius”. Ia teramat sulit diajak bicara masalah pribadi, dan selalu menghindar bila tanpa sengaja aku menyinggung soal itu. Otomatis, setiap kali telepon-teleponan, kami pasti berbicara masalah lain. Mula-mula, kuanggap sekadar saling tukar info, tapi lama kelamaan aku merasa bosan juga. Sai sai sikan, juga buang-buang pulsa tanpa ada kepastian.
Aku sendiri berani memastikan, Prahara juga suka sama aku. Buktinya, ia selalu menyempatkan chatting meski hanya 30 menit, curi-curi waktu di sela pergi belanja. Ia juga rajin mengirim SMS dan menelepon. Bahkan, setiap hari Minggu, ia rela duduk seharian di depan layar komputer, menemani kesuntukanku. Apakah aku termasuk bujangan yang mudah ge-er?
Begitulah, tak ingin salah menilai, suatu siang, ketika kami berkesempatan chatting, aku sedikit memaksa meminta kejelasan soal kedekatan kami selama ini. Tapi Prahara tetap sulit diajak bicara dari hati ke hati. Jawabannya berbelit-belit, sampai aku tak paham maksudnya. Sejak itu, kuputuskan untuk menghindarinya. Tidak mengontak atau menerima teleponnya lagi. SMS-nya pun tak lagi kubalas. Aku juga memutuskan berhenti chatting.
Sikap Prahara memang sulit ditebak. Begitu aku berusaha menghindar, ia kelabakan. Sampai-sampai, ia mengontak temanku yang tinggal se-apartemen. Kepada temanku, ia bilang tidak mau kehilangan diriku. Ia juga bilang kangen, serta menitip pesan permintaan maaf. Katanya, ia tak bisa tidur, makan atau bekerja dengan tenang hanya karena memikirkan aku. Terdorong oleh rasa iba, aku pun mengontaknya lagi, tentu dengan sedikit jual mahal dan pura-pura marah. Setelah itu kami sepakat jadian.
Hari-hari selanjutnya, terasa sulit kubendung hasratku untuk tidak bertemu. Aku selalu rindu mendengar tawa dan gurauannya. Aku selalu teringat, betapa ia sangat manja. Sepertinya ia ada di sampingku, menemani hari-hariku. Kehadiran Prahara dalam hatiku, membuat jiwa ini tak lagi sunyi. Andai saja Prahara setuju, ingin rasanya aku mengajaknya pulang ke tanah air saat itu juga. Akan kuperkenalkan dia kepada keluarga dan selekasnya mengajaknya menikah.
Mungkin, dialah calon istri yang diberikan Tuhan kepadaku, yang selama ini tak kunjung menemukan pendamping. Cuma, begitu aku mengajak menikah, Prahara meminta waktu untuk berpikir. Katanya, ia belum siap, juga takut aku tak bisa menerimanya setelah tahu secara nyata jatidirinya. Tak mengapa aku menanti, kapan pun ia hendak memberikan keputusan. Aku sayang dia, tulus dari dasar hati, rasanya terlalu egois bila aku kelewat memaksanya. Kuserahkan semua pada sang waktu.
Setelah empat bulan ”tembakan” itu, tepatnya akhir 2006, chayank-ku akhirnya memberi keputusan. Ia mengaku siap menikah denganku setelah masa kontraknya usai pada akhir Maret. Rencananya, kami akan pulang ke tanah air bersama-sama. Hidup seadanya di kampung halaman, setelah kami menikah pada bulan yang dijanjikan. Bunga cinta pun seketika bermekaran di hatiku. Bersamanya, kulambungkan anganku untuk mengarungi biduk rumah tangga.
Hatiku kian mantap, semakin pasti melabuhkan tujuan hidup. Aku tidak peduli apa pun keadaan dia, yang katanya sudah tak suci lagi. Aku bersedia menerima apa pun adanya. Selain tuntutan usia, aku juga merasa ada kecocokan dengannya. Kabar bahagia ini langsung kusampaikan kepada keluargaku, setelah sekian lama tak berkabar.
Tentu mereka gembira mendengar aku berencana pulang dan menikah dengan gadis pilihan. Antusiasme keluarga dalam menyambut calon menantu dan meminangkannya untukku, juga telah dipersiapkan. Termasuk, menyewa mobil carteran dari Sumatera tempat kelahiranku, ke tanah Jawa kelahiran gadis manisku.
Namun, di saat kami sekeluarga bersiap-siap, tiba-tiba aku dibuat pusing tujuh keliling oleh sikap Prahara. Februari itu, Prahara menghindariku tanpa kata-kata. Kukirimi SMS atau email, tak pernah dibalas. Nomor teleponnya sulit dihubungi. Bahkan, ia juga tidak pernah lagi online. Pikiranku kacau, bingung, khawatir terjadi sesuatu pada calon istriku. Meski demikian, aku tak pernah berprasangka negatif terkait perubahan sikapnya.
Bersyukur, aku berhasil menghubungi salah seorang temannya di Hong Kong, yang kebetulan juga pacaran dengan teman se-apartemenku. Dari pacar temanku itu, aku beroleh kabar: keadaan Prahara baik-baik saja. Prahara hanya sedang tak berduit, untuk chatting maupun beli pulsa. Hatiku lega, setidaknya aku telah tahu alasan Prahara bersikap seperti itu. Lewat konco-nya ini, kami pun saling kontak lagi.
Rupanya benar, Prahara sedang mengalami problem keuangan. Gajinya barusan dikirim semua ke keluarganya. Ia juga bercerita, gadisku adalah tulang punggung keluarga, meski terlahir sebagai anak ketiga dari enam bersaudara. Katanya, selama bekerja di Hong Kong, ia tak bisa leluasa memakai pendapatannya. Aku jadi kasihan pada calon istriku. Sepertinya, ia mengalami tekanan.
Tanpa pikir panjang, aku meminta rekeningnya, dan aku kirimi uang dari Jepang sehari setelah perbincangan. Aku tak rela ia menderita karena impitan itu. Namun, meski uang kirimanku sudah diterima – kata temannya – tetap saja Prahara tak mau menelepon atau mengirim SMS kepadaku. Padahal, aku kangen setengah mati.
O, rupanya kirimanku masih belum mencukupi kebutuhan. Jika semula alasannya tak punya uang untuk chatting dan beli pulsa, kali ini Prahara bilang – masih lewat temannya – butuh uang untuk dikirim ke orangtua. Katanya, untuk menutupi utang pada tetangga. Konon, orangtuanya pinjam uang untuk membangun rumah. Rumah belum jadi, biaya keburu habis.
Prahara, yang akhirnya meneleponku, memang terdengar kusut dan tak punya gairah bicara. Nadanya sangat memelas. Sampai timbul pikiranku untuk meraih kepalanya dan menyandarkan di dadaku, agar gadisku tenang. Pikirku, setiap masalah pasti ada jalan keluarnya. Dengan pertimbangan rumah itu (katanya) milik Prahara, aku pun kembali mengirim uang sesuai kebutuhan. Aku ikhlas.
Beberapa hari setelah kirimanku sampai, Prahara mengirimkan SMS mengucapkan terima kasih. Juga, mengabarkan masalah di tanah air sudah teratasi. Dia bilang, ia ingin segera pulang dan hidup satu atap denganku. Di Jepang, aku juga bersiap-siap meninggalkan negeri itu. Rencananya, aku mampir dulu ke Hong Kong menjemput Prahara, lalu terbang ke tanah air bersama-sama. Aku sudah siap lahir batin hidup bersamanya di Indonesia nanti. Meski usaha kecil-kecilan, aku rasa cukup untuk memenuhi kebutuhan hari hari.
Memasuki bulan Maret, Prahara meneleponku sembari menangis. Ia minta maaf tidak bisa pulang ke tanah air bersama-sama. Juga, tidak bisa menikah denganku. Bagai disambar petir aku mendengarnya. Segalanya sudah kupersiapkan, keluargaku pun demikian. Ia sesenggukan, tapi tak mau menceritakan masalahnya. Aku tidak tahu, apa maksud Prahara minta putus di saat hari indah sudah di depan mata. Ia tetap membisu, membuat aku semakin tak mengerti dan bertambah emosi. Hanya maaf, dan maaf yang ia lontarkan.
Pada saat seperti itu, sebenarnya aku tidak membutuhkan kata maaf. Aku hanya membutuhkan alasan Prahara yang sejujurnya. Tapi, percuma memaksa atau marah kepadanya. Ia tetap tak mau terbuka. Akhirnya, aku mencoba berbesar hati, menerima apa pun keputusan Prahara. Aku rela bila cinta ini harus berakhir di tengah jalan. Tapi...bagaimana dengan keluargaku? Bisakah aku memberi penjelasan kepada mereka?
Aku merasa telah dipermainkan Prahara, gadis Jawa berusia 24 tahun. Ia benar-benar membuat prahara dalam kehidupanku. Memporakporandakan perasaan, menghancurkan harapan, dan mempermalukan aku di hadapan keluarga. Aku menyesal membiarkan diriku terjebak di dunia fatamorgana. Aku terlalu percaya pada gadis yang kukenal lewat chatting. Ya, aku telah dibohongi mentah-mentah. Rupanya, gadisku sudah punya tunangan di tanah air. Kata temannya, ia akan kembali ke tanah air dan menikah dengan pacarnya dalam waktu dekat, sebelum aku tiba di Hong Kong! Betul, Prahara memang hendak menikah, tapi tidak denganku.
Pembaca... Meski aku terlahir sebagai laki-laki, bukan berarti aku tak bisa meneteskan air mata. Jangan kira hatiku tidak sakit dengan ulah cewekku. Hanya satu harapanku, semoga aku tidak trauma, juga tidak lelah untuk mencoba membuka hati bagi cinta yang lain. Mungkin, Prahara memang bukan jodohku.
(Dituturkan ”Andi” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)
AKU TERPEDAYA CEWEK HONG KONG
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Said
Kasiaaaan..yaaa si Andi itu...udah keluar duit banyak, berkorban perasaan, sudah bilang kepada keluarganya...tapi dia kecewa dengan Si prahara.....Dasar Prahara..Cewek Sialan itu...Sungguh sangat tengik itu orang...semoga Andi bisa mendapatkan gantinya yang lebih bagus dari Prahara,. dan Prahara juga akan mendapatkan balasan yang setimpal karena telah mempermainkan perasaan, harta dan Niat baik si Andi...Andiii....sabar yaaa?... Insya Allah...Tuhan Pasti memberi jalan yang terbaik buat kamu...berdo'a saja yaaa?.... Salam Dari (Agus)
Said
duileeee,...pakai kirim salam segala. mengalami kisah yg sama ya?hi..hi...jadi curiga gw
Said
hhhh jarak jauh emang susah ....
Said
iya. tul sekali
Said
Yang terjadi adalah yang terbaik. Itu saja sudah. Menangis? Boleh2 saja, manusiawi kok kalau kita menangis, justru kalau tidak menangis mungkin bukan manusia,(baca: batu). Namun yang terpenting adalah, kita menyikapi kejadian ini, karena itulah yang menentukan nasib kita di masa datang. Kejadian yang kita alami, itu memang sudah wajib terjadi dan sudah terjadi tidak bisa dielak lagi. Salam.
Said
Oke,..kejadian yg lalu smoga menjadi pelajaran bagi kita semua.
Tetap semangat! Dunia ini kecil, dan jgn diperkecil lagi dgn rasa sedih yang tak ada gunanya....lagi..
Said
BUat dong Keadaannya terbslik .... !!!
Said
kisahnya persis banget dengan aku. cuma lokasinya aja yang berbeda. gak mudah menerima kenyataan itu. sakiiiit banget. sejak kejadian itu.. setahun kemudian aku baru bisa bangkit. itupun stelah ada cewek yang mirip dengannya.