BAYANG-BAYANG MASA LALU

Aku lahir sebagai anak keempat dari enam bersaudara di sebuah dusun tak jauh dari Kendal, Jawa Tengah. Bapakku keturunan Chinese, dengan perekonomian yang sangat minim. Itulah salah satu sebab, kenapa aku harus menelan kekecewaan. Putus sekolah kelas 3 SD. Sebagai bocah, tentu aku juga pengin seperti teman-temanku. Pergi ke sekolah beramai-ramai. Tapi orang tuaku bilang, mereka tak mampu menyekolahkan hingga tamat SD.
Sejak kecil aku merasa tak disukai keluarga. Terutama bapakku, yang seolah malu mengakuiku sebagai anak. Katanya, aku pualing jelek di antara saudaraku. Pecicilan, hitam, kecil, dan bertingkah seperti laki-laki. Dengan kondisi fisik seperti itu, aku merasa seperti diasingkan. Ada diskriminasi di antara kami, yang entah disadari atau tidak oleh Emak dan Bapak.

Emakku menggeluti usaha penitipan barang, semacam pegadaian. Dari usaha itu, Emak kenal dengan Pak Harsono, yang juga menekuni usaha serupa. Suatu kali, Pak Har datang ke rumah. Saat pertama melihatku, ia mengaku kasihan, bocah seusiaku tidak sekolah. Ringkasnya, Pak Har berkeinginan menyekolahkan aku. Syaratnya: aku mau membantu pekerjaan di rumahnya sekaligus merawat anak-anaknya. Aku gembira. Begitu juga Emak dan Bapak.

Malam itu juga, sekitar pukul 7, aku mengikuti Pak Har. Ternyata, aku tidak dibawa ke rumahnya, melainkan ke suatu tempat. Seingatku, jalan yang kulalui bersama Pak Har agak menanjak. Meski dalam gelap, aku yakin, jalan itu menuju pegunungan. Sampai akhirnya kami tiba di sebuah rumah, entah milik siapa. Yang pasti bukan milik laki-laki yang berjanji akan menyekolahkan aku.

Malam kian merangkak, Pak Har menyuruhku tidur. Namanya juga anak kecil, aku kurang paham dengan tingkah polah orang dewasa. Aku diam saja dikeloni Pak Har. Babar blas aku tidak mengerti maksudnya. Yang mulai kumengerti, laki-laki yang lebih cocok jadi kakekku itu berani berbuat tak senonoh. Mulanya sekadar memeluk, mencium, lama-lama ia lucuti bajuku satu persatu.

Aku bukannya tidak melawan. Cuma, seberapa besar sih tenaga yang dimiliki seorang bocah? Aku kalah. Ia berhasil membekap tubuhku. Aku dipaksa melakukan sesuatu yang tak nalar di benakku. Sekaligus membuatku ketakutan, sampai menangis dan teriak-teriak. Tapi Pak Har benar-benar edan. Tak punya perasaan. Tahu aku menangis, ia malah meninggalkan aku di tempat itu sendirian.

Ganjilnya, tak lama setelah laki-laki itu ngacir, si pemilik rumah datang. Tak jelas, apakah memang sudah direncanakan atau kebetulan. Oleh mereka, aku diantar ke rumah Pak Kabayan atau Kamituwa dusun setempat. Namun, ealah, bukannya menolong, Pak Bayan malah membawaku ke rumah germo di Curuk Sewu. Di tempat wisata pantai ini, aku kembali hendak dinodai oleh aparat desa itu. Beruntung, aku bisa melepaskan diri, lalu berlari dan berteriak.

Alhamdulillah, kali ini teriakanku didengar penduduk. Berbondong-bondong para pemuda desa memberikan pertolongan. ”Kula ajeng ditumpaki tiyang,” jawabku polos, menjawab pertanyaan mereka. ”Di mana?” tanya mereka. ”Di rumah Pak Kaspan.” Mendengar nama yang kusebut, tak satu pun yang kaget. Belakangan aku tahu, rumah yang dijadikan mangkal penjaja seks komersial jalanan itu sudah cukup terkenal. Pernah pula terjadi peristiwa serupa.

Akhirnya, aku kembali ke rumah itu bersama pemuda desa dan polisi. Pak Bayan langsung ditempilingi. Dimintai KTP, lalu digelandang ke kantor polisi. Di kantor kelurahan, aku diinterogasi sambil disuguhi pisang goreng dan dikasih makan. Interogasi belum tuntas, aku keburu ketiduran. Setelah urusan dengan lurah dan polisi kelar, aku dikasih uang Rp 1.000 dan dititipkan angkot jurusan dusunku. Sementara, para pemuda juga memberiku Rp 500. Pada masa itu, uang segitu (seribu lima ratus) sangat banyak. Tapi, apakah aku terhibur dan tidak trauma dengan peristiwa tersebut?

Dua tahun berselang, saat umurku 12, aku ikut keluarga bapak. Membantu meringankan pekerjaan di rumahnya. Di situ, aku berkenalan dengan Pak Lurah dan Bu Lurah yang kemudian mengajakku tinggal bersama di Semarang. Selain tidak memiliki anak, mereka juga butuh tenagaku untuk membantu di toko.

Di rumah itu aku tinggal sekamar dengan keponakan Pak Lurah. Wajahnya ayu. Bodinya ramping. Usianya jauh di atasku. Tapi entah kenapa, dadaku sering berdetak tak menentu tiap pandangan mataku bertemu dengannya. Terlebih jika malam kami tidur seranjang. Sering kutatap wajah mulus itu diam-diam. Hingga timbul pikiran yang macam-macam. Ngo jike tu em meng. Gejolak apakah itu?

Usia 14 tahun, aku berkenalan dengan seorang pemuda. Swear, ia menaruh perhatian padaku. Tapi, mungkin karena hatiku masih tertutup untuk laki-laki, aku tak merespons. Tiga bulan setelah kenalan, ia sempat kuajak main ke dusun. Siapa sangka, setelah ketemu Emak dan Bapak, keluarganya langsung melamarku. Ia mengajakku married. Padahal, sama sekali aku tak menaruh hati.

Desakan orang tua membuatku terpaksa menerima lamaran itu. Padahal, selain tak cinta, aku takut bukan main menghadapi malam pertama. Keringat dingin terus keluar. Aku benar-benar panik, tapi tak punya cara untuk menghindar. Detik-detik setelah melepas gaun pengantin, aku masuk ke peraduan bersama suamiku. Aku ngotot, mempertahankan diri agar tak disentuh. Namun, ia tetap menuntut haknya. Karena tak mau melayani, rambutku dijambak. Tubuhku diinjak-injak, telingaku juga digigit sampai berdarah. Duh.

Gagal menaklukkan Jakarta

Merasa tak bahagia, aku nekat minggat ke Jakarta. Kutinggalkan suamiku yang asli Yogya itu. Aku ikut paman yang bekerja sebagai penyalur jasa PRT ke ibu kota. Mujur, aku langsung beroleh pekerjaan di RS Bersalin Chandra di kawasan Mangga Besar. Sayang, baru setahun bekerja, aku ketahuan suamiku. Ia menyuruhku pulang. Namun, aku memilih bertahan di penampungan milik pamanku.

Karena telanjur keluar dari pekerjaan, aku kerja serabutan. Dengan modal tampang mirip laki-laki, aku bekerja di terminal. Kadang ngenek mikrolet atau bus besar. Tapi malam harinya aku tetap tinggal di asrama pamanku, sambil menunggu majikan. Akhirnya, suatu hari, entertainer Melani Isbandi dan suaminya Kusno Arsad datang ke penampungan. Aku tak tahu, kenapa motuin-tuin mereka memilihku untuk bekerja di rumahnya.

Di rumah mereka, tugasku ngopeni Bu Melani. Membantu menyiapkan perlengkapan show. Kadang juga menemaninya pergi rekaman, syuting atau tampil di TVRI. Tanpa terasa, setahun aku bersamanya. Mungkin karena jenuh, Pak Kusno – yang seorang pengusaha transportasi – menyuruhku ikut training operasional busnya. Aku dinyatakan lulus, meski hanya sebagai kenek. Sejak itu, aku pindah kerja ikut Pak Kusno. Sejak itu pula, aku jadi banyak tahu tentang gemerlap Kota Jakarta.

Suatu waktu, aku kenalan dengan Evi, masih famili bosku. Penampilannya tomboi, tak beda denganku. Aku – yang dikenal dengan nama cowok: Udin – sering diajak keluyuran. Tiap malam nongkrong di diskotik sampai pagi. Dari situlah aku mulai mengenal dunia malam dengan segala pernak-perniknya. Kali pertama, aku cuma bengong. Apalagi saat mendapati Evi berciuman dengan cewek. Rasanya ada yang tak wajar.

Sebagai orang desa, aku tak mengerti kenapa cewek dengan cewek bermesraan, seolah tanpa batasan. Namun, lantaran tampangku mirip laki-laki, aku pun mulai didekati cewek-cewek. Baru aku tahu, tidak ada yang aneh dari orientasi seksual yang demikian. Akibatnya, aku tidak saja terperosok dalam hubungan sejenis, tapi juga mengonsumsi narkoba. Kenikmatan sesaat itu telah merobek isi kantongku. Sedikit pun tak tersisa untuk kutabung.

Tak dinyana, kegagalanku menaklukkan Jakarta beroleh perhatian dari keluarga. Suatu kali, kakak menyarankan aku berangkat ke Malaysia. Ini karena kakak iparku yang bekerja di Malaysia, bisa berhasil, meski gajinya kecil. Saran tersebut tidak serta-merta kuterima. Aku ragu mendaftar ke PJTKI. Apalagi, untuk bisa bekerja di luar negeri, harus melalui tahapan medical test. Aku tak yakin dinyatakan fit, mengingat aku sudah kecanduan narkoba.

Tak kusangka, hasil cek kesehatan menyatakan aku fit. Akhirnya, aku pun berangkat ke Singapura. Tentu, dengan ijazah tembakan dan biodata palsu. So, genap pada usia 22, aku mulai menginjakkan kaki di negeri jiran. Sayang, kehidupan di perantauan tak jua mampu mengubah jalan hidupku. Narkoba bisa kutinggalkan. Tapi, aku masih belum bisa meninggalkan dunia lesbi. Terlebih sejak aku pindah ke Hong Kong.

Terkadang aku ingin mengakhiri jalan seperti ini. Menyadari, hal itu tidaklah kekal. Aku masih sadar, masyarakat belum mampu menerima keadaan seseorang yang dianggap menyimpang seperti aku. Jujur, aku selalu berdoa, berharap agar Yang Kuasa sudi memberiku seorang lelaki yang mampu membawaku ke dunia yang sewajarnya. Aku ingin menjalani kehidupan dengan normal. Masalahnya, masih adakah laki-laki yang mau menerimaku apa adanya?

(Penuturan ”D”, pada suatu malam menjelang ia berangkat ke Inggris, kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

2 komentar di "BAYANG-BAYANG MASA LALU"

Posting Komentar