TIADA JUGA KUTEMUKAN BAHAGIA

Bencana dalam hidupku bermula dari perpisahan orang tua. Siksa demi siksa kerap kuterima dari ibu tiriku, juga saudaranya. Begitu dewasa, aku menikah dengan pria pilihan orang tua. Namun, bukan bahagia yang kudapat. Aku malah menjanda di usia muda.

Arin, namaku. Ibu muda dari seorang bocah perempuan berusia 2 tahun asal Lampung. Aku lahir dari keluarga sederhana, anak kelima dari enam bersaudara. Saat aku berumur 4 tahun, bapak dan ibuku berpisah. Sejak itu aku kehilangan kasih sayang saudara, juga kedua orang tua. Aku sendirian ikut bapak, yang tak lama kemudian menikah lagi.

Awalnya, sikap ibu tiriku amat baik padaku. Tetapi seiring guliran waktu,.... semuanya berubah. Aku sering dimarahi, bahkan dipukuli tanpa sepengetahuan bapak. Lebih parah lagi, ketika aku kelas 2 SD, bapak pergi merantau, membiarkan aku tinggal bersama ibu tiri. Otomatis, sejak kanak-kanak, aku sudah dituntut beraktivitas sendiri. Tiap hari aku bangun pukul 5, mengisi bak mandi, mencuci piring, menyapu dan ngepel. Aku juga harus momong anak Bik Sri, adik ibu tiri yang masih balita.

Bik Sri tinggal serumah dengan ibu tiriku. Itu sebabnya, aku diberi tugas rumah tangga begitu berat. Apalagi, ibu tiriku juga jarang di rumah. Entah kerja di mana. Yang pasti, tiap hari selalu pergi. So, hari-hari kulewati di tengah dua keluarga yang asing buatku. Semua jahat dan tak punya hati memperlakukanku yang masih bocah. Sampai-sampai, urusan sekolahku terbengkelai. Aku selalu datang terlambat ke sekolah, sehingga sering kena hukuman.

Aku ingat. Suatu kali, ketika teman-temanku telah berangkat sekolah, aku bahkan belum sempat mandi. Nina, anak Bik Sri, rewel. Padahal, ini hari Senin. Seharusnya aku berangkat sekolah lebih pagi. Karena terlambat, aku dihukum membersihkan toilet. Guruku bilang, aku anak malas dan bandel. Terserah, guruku mau bilang apa. Mereka tidak tahu kesibukanku di rumah.

Kegiatanku sebenarnya tidak jauh beda dengan masyarakat desa pada umumnya, khususnya yang masih anak-anak seperti aku. Setiap pukul lima sore harus mengakhiri waktu bermain. Karena harus mandi, menunggu maghrib tiba. Pergi ke mushala, shalat berjamaah, dilanjutkan dengan mengaji. Pulangnya, barulah aku menikmati makan malam, lalu belajar.

Jujur, aku merasa seperti terkungkung. Terbelenggu dengan pekerjaan yang tiada henti. Bahkan, untuk sekadar nonton TV, tak pernah diizinkan bibiku. Alasannya, agar aku konsentrasi belajar. Padahal, lantaran tidak ada kebebasan, aku justru tak bisa belajar dengan baik. Mataku malah lirik sana lirik sini, sambil pasang telinga, konsentrasi ”nyadap” suara TV. Mana bisa aku belajar dengan baik?

Tanpa kusadari, dua bulan sudah aku tinggal dengan keluarga ibu tiri. Sementara, ibu tiriku sendiri jarang-jarang pulang. Terus terang, meski ibu tiriku jahat, tetapi di sisi lain ada juga perasaan kangen. Bagaimana pun, aku butuh kasih sayang, butuh orang yang bisa kupanggil ibu. Tapi, entah ke mana ibu tiriku pergi.

Sampai suatu hari, ketika aku main ke rumah tetangga, aku mulai tahu siapa gerangan ibu tiriku. Semua berawal dari pertanyaan Bu Suci tentang keberadaan dan pekerjaan ibuku. Kujawab sesuai yang kuketahui. Aku bilang, ibu tiriku bekerja di toko dan jarang pulang karena jaraknya cukup jauh. Tapi tetanggaku bilang, ibuku tidak bekerja di toko, melainkan menjadi perek di gang sempit tak jauh dari dusunku. Sebagai anak yang masih duduk di bangku SD, aku tidak tahu apa itu perek. Ketika kutanyakan ke Bu Suci, dia malah menyuruhku bertanya ke Bik Sri.

Setiba di rumah, aku langsung bertanya pada bibi dan paman yang saat itu sedang makan rujak. Eh, Bik Sri malah marah-marah. ”Siapa yang ngajarin kamu ngomong kayak gitu?”
”Bu Suci,” jawabku, polos. Plak!!! Tangan kokoh paman langsung mendarat di pipiku. Katanya, aku tak boleh lagi ngomong atau bertanya soal perek. Aku diancam akan dikunci dalam kamar sendirian. Sambil menahan rasa sakit di pipi, aku kembali ke kamar. Mungkin karena capek nangis, aku ketiduran.

Sekitar pukul 2 malam, aku terjaga oleh rasa melilit di perutku. Lapar! Seperti kucing yang ingin mencari ikan asin, aku berjingkat memasuki dapur mencari makanan. Bersyukur, aku mendapati tempe goreng. Setelah mengambil dua potong tempe sisa makan semalam, aku kembali ke kamar dan memakannya di sana. Belum habis olahan kedelai itu kukunyah, tiba-tiba aku ingin menangis. Teringat bapak. Kenapa bapak tak pulang-pulang dan membiarkan aku dalam asuhan orang lain? Saat itu sudah enam bulan aku tidak melihat wajah bapak. Apakah bapak telah melupakan aku?

Waktu terus berjalan. Setelah sekian lama pergi, wanita pengganti ibu kandungku akhirnya datang juga. Aku senang, bahagia menyongsongnya pulang. Tapi kegembiraanku berakhir pada kekecewaan. Ibu tiriku menyambutku dengan dampratan. ”Dasar anak geblek! Gak punya sopan santun! Aku bukan ibumu, tahu! Anak dan bapak sama saja. Sukanya bikin susah orang lain. Sana, pergi cari kayu atau membersihkan halaman.” Aku kecewa. Harapan mendapat kasih sayang, hanya seperti anak kecil main boneka. Semu.

Lalu, ibu yang mana yang dapat memberiku kasih sayang? Ibu kandung, ataukah ibu tiriku? Kenapa mereka seolah tak sudi menerima keberadaanku? Mereka seolah berlomba menyiksa hidupku. Kadang kusesali, kenapa ibu tiriku juga memperlakukan aku seperti ini. Oh, Tuhan, kenapa cobaan sedemikian berat Kau timpakan kepadaku. Apakah aku terlahir ke dunia hanya untuk menanggung derita? Kapan derita ini akan berlalu?

Semakin hari, deritaku semakin berat. Paman mulai ikutan main tangan, menghajarku. Suatu kali, ia menyuruhku mengambil sapu. Kukira untuk menyapu lantai. Ternyata, sapu itu malah untuk memukulku. Badanku sampai merah. Aku merasakan sakit yang luar biasa. Aku menangis. Saking lamanya aku menangis, pamanku bertambah jengkel. Diraihnya tubuhku, dan dilemparkan keluar ruangan. Persis seperti orang membuang kotoran. Setelah itu, paman masuk rumah dan mengunci pintu dari dalam. Malam semakin gelap. Aku sangat takut sendirian di halaman rumah. Syukurlah, mungkin merasa sudah puas menghukumku, paman akhirnya keluar dan menyuruhku masuk rumah.

Ringkas kisah, akhirnya datang juga hari yang kutunggu-tunggu. Kakak sulungku datang menjemput dan membawaku pergi dari mereka. Aku bertemu keluargaku dan berkumpul lagi. Aku pun melanjutkan sekolah SMP. Setelah lulus, aku berniat menemui bapak di Kota Bumi, Lampung. Setelah bertemu bapak, ia mengajakku tinggal bersama. Aku menolak, lantaran tak ingin merasakan neraka dunia yang kedua kalinya. Sampai kemudian, terjadilah pertengkaran antara kedua orangtuaku. Tak satu pun yang berpihak kepada bapak, meski sebenarnya kami sangat menyayanginya.

Setelah menerima ijazah SMP, aku memutuskan merantau ke Singapura. Aku pergi tanpa pamit dengan siapa pun. Setelah dua bulan bekerja, barulah aku berkabar pada keluarga. Ibuku menangis dan memintaku pulang. Tapi kujawab: setelah selesai kontrak, aku akan pulang dengan membawa uang. Yang tidak kusangka, selama aku bekerja di rantau, orangtuaku akur lagi, meski bukan sebagai suami istri. Betapa pun, itu sudah merupakan berkah bagi kami, anak-anaknya. Itu pula kenyataan yang kudapati sepulang dari Singapura.

Menginjak usia 18, aku mulai mengenal cinta. Aku jatuh cinta pada Hasan, guru ngaji adikku. Agaknya, telah lama pula ia menyimpan perhatian untukku. Perhatian yang tak pernah kusadari selama ini. Tak lama setelah menjalin keakraban, kami pun pacaran. Namun, baru jadian setahun, Hasan pamit merantau ke Riau. Kurelakan kepergian Hasan dengan perasaan berat hati.

Benar saja. Hingga setengah tahun dia pergi, sama sekali tak memberiku kabar. Jangankan menelepon, sepucuk surat pun tak pernah datang. Aku mulai resah, juga ragu. Aku tak yakin ia masih merindukan aku. Tak yakin pula, tujuan merantaunya semata demi aku dan dia untuk kelak hidup bersama.

Di tengah kerinduan yang teramat sangat, datanglah laki-laki bernama Rian ke rumah. Orangnya cukup ganteng. Kata orangtuaku, ia juga sudah mandiri dan punya pekerjaan tetap. Malam itu, kakiku sebenarnya enggan menemui, lantaran belum kenal sebelumnya. Eh, rupanya, cowok itu datang ke rumah memang sepersetujuan orang tua. Bahkan, saat itu, orangtua memberiku waktu berpikir dua hari untuk menerima pinangan Rian, anak teman orang tuaku. Lama aku berpikir, sampai akhirnya kuputuskan menerima lamarannya, lalu kami pun menikah.

Bulan-bulan pertama, suamiku ini sangat sayang padaku. Tetapi setelah aku hamil, Rian justru mulai berulah. Tak ada lagi perhatian. Ia melarangku keluar, bergaul dengan tetangga. Aku harus mengurus rumah, masak dan lainnya. Uang belanja juga tak pernah diberi. Gajinya lari entah ke mana. Ia juga jarang pulang dan bertambah kasar. Setiap kali kutanya: tidur di mana atau dari mana, Rian pasti marah dan menampar.

Puncaknya, suatu hari, saat kandunganku berusia tujuh bulan, listrik di rumah mati. Aku menimba air untuk mandi. Padahal, kurang dua ember lagi penuh, tapi aku sudah tak sanggup karena terlalu capek seharian mengurusi rumah. Kubangunkan suamiku dan meminta tolong. Eh, dia keluar kamar sambil marah, merasa waktu tidurnya terganggu. Tubuhku langsung didorong hingga terjatuh, sampai aku mengalami pendarahan. Meski suamiku melihat itu, ia tak peduli. Benar-benar tega. Tiga hari aku masuk RSU.

Beberapa waktu kemudian, aku melahirkan anak perempuan dalam keadaan normal. Dengan kelahiran putriku, aku berharap suamiku berubah sayang dan perhatian sama keluarga. Namun, sikapnya ternyata tak kunjung berubah, meski aku telah begitu sabar. Sebagai manusia biasa, aku memiliki keterbatasan. Dan begitulah, kesabaranku akhirnya habis. Lantaran masih suka menyiksa, aku tak mampu lagi mempertahankan perkawinanku. Saat putriku berusia 10 bulan, aku meminta cerai! Anehya, suami tak mau menceraikan aku. Sampai akhirnya, kuputuskan kembali ke rumah orangtua, membawa serta anakku yang masih balita.

Pembaca... Sebagai seorang ibu, meski usiaku masih muda, aku ingin berjuang demi anakku. Masa depannya, juga kelayakan hidupnya kelak. Aku memutuskan berangkat ke Hong Kong dan merelakan anakku dirawat kedua orangtuaku. Cuma, hingga saat ini aku masih bingung dengan statusku yang tak jelas ini. Dibilang janda, aku tak punya surat cerai. Dibilang bersuami, aku telah lama hidup menyendiri. Ah, apakah aku masih perlu berpikir tentang status?(Dituturkan Arin kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

4 komentar di "TIADA JUGA KUTEMUKAN BAHAGIA"

  • Gw ..juga belum menemukan bahagia...walau kisahnya berbeda

    Jumat, Januari 09, 2009 5:41:00 AM

  • komen yang ke 2

    Selasa, Maret 03, 2009 9:57:00 AM

  • komen ke 3 ... serius ach komennya:

    pernah tanya ke hati nurani? kebahagiaan seperti apa yang dia mau dan harapkan? biasanya hati nurani akan memberikan jawabannya dengan jujur ;)

    Selasa, Maret 03, 2009 9:57:00 AM

  • Assalamu alaikum warohmatullahi wabarakatu.
    Saya ingin berbagi cerita siapa tau bermanfaat kepada anda bahwa saya ini seorang TKI dari johor bahru (malaysia) dan secara tidak sengaja saya buka internet dan saya melihat komentar bpk hilary joseph yg dari hongkong tentan MBAH WIRANG yg telah membantu dia melalui jalan togel menjadi sukses dan akhirnya saya juga mencoba menghubungi beliau dan alhamdulillah beliau mau membantu saya untuk memberikan nomer toto 6D dr hasil ritual beliau. dan alhamdulillah itu betul-betul terbukti tembus dan menang RM.457.000 Ringgit selama 3X putaran beliau membantu saya, saya tidak menyanka kalau saya sudah bisa sesukses ini dan ini semua berkat bantuan MBAH WIRANG,saya yang dulunya bukan siapa-siapa bahkan saya juga selalu dihina orang dan alhamdulillah kini sekaran saya sudah punya segalanya,itu semua atas bantuan beliau.Saya sangat berterimakasih banyak kepada MBAH WIRANG atas bantuan nomer togel Nya. Bagi anda yg butuh nomer togel mulai (3D/4D/5D/6D) jangan ragu atau maluh segera hubungi MBAH WIRANG di hendpone (+6282346667564) & (082346667564) insya allah beliau akan membantu anda seperti saya...






    Rabu, Desember 07, 2016 8:02:00 PM

Posting Komentar