DERITA NAN TIADA AKHIR

Sejak bayi aku di buang ibu kandungku yang katanya seorang pelacur. Aku lalu ikut orang tua angkat yang menemukanku. Malang, penderitaanku semakin parah seiring bertambahnya usia. Siksa dunia kerap ke terima dari mama, hingga aku memutuskan pergi ke Hong Kong. Tragisnya, di sini aku harus mengidap penyakit sipilis yang ditularkan tuan majikan.

Panggil saja aku Retha, 24 tahun. Aku dibesarkan dalam asuhan keluarga terpandang di Nusa Tenggara Timur. Aku tak tahu pasti di mana sebenarnya tempat kelahiranku. Menurut mama D dan papa B, aku Cuma anak seorang pelacur yang di bunuh pelanggannya di Lembata, sebuah pulau wilayah Flores Timur. Merekalah yang menemukan aku di tepi pantai, saat aku masih orok bayi berusia dua minggu.


Entahlah, apa alasan mereka mengambilku dari tempat itu. sebatas iba, atau memang karena ingin punya anak perempuan. Maklum, kelima anak orang tua angkatku semua laki-laki. Yang pasti, merekalah oranmg tua yang tidak sekedar memberiku tempat tinggal, tapi juga pendidikan seperti kakak-kakak angkatku.

Hanya mama yang memperlakukanku dengan sangat buruk. Tidak sekali dua aku dipukuli sampai babak belur, dicambuk dengan sapu lidi, ditelanjangi dan di ikat di kandang babi. Mama juga sering meremas kasar buah dadaku yang mulai berisi. Itu terjadi bila aku melakukan kesalahan atau berbuat teledor. Misalnya, lalai mengerjakan tugas-tugas rumah sepulang sekolah.

Tugas yang dibebankan mama memang membuatku pontang-panting. Sepulang sekolah, aku harus mencari makanan babi di kebun yang jauhnya minta ampun. Lagi sangat menakutkan. Aku juga harus menyeterika, memasak, mencuci pakaian, dan seabrek pekerjaan rumah lainnya. Sementara PR-PR dari sekolah, hanya bisa kukerjakan menjelang tidur. Itupun kadang tak tergarp, karena ketiduran. Sebagai bocah sama sekali kau tak punya waktu untuk bermain layaknya teman sebaya.

Mama kerap menuduhku yang tidak-tidak. Katanya, aku telah menjadi pelampiasan nafsu bapak dan saudara angkat. Tuduhan tidur dengan papa atau kakak-kakak, selalu berujung pada penyiksaan. Itu di lakukan mama, ketika papa dan saudara angkat, sudah bergi dengan tugas masing-masing.

Tiap kali mama marah atau menyiksaku, pasti membombardirku dengan kata-kata: anak pelacur yang tak tahu diri. Katanya, aku bak pepatah jawa:kacang ora bakal ninggal lanjarane. Kadang kau juga di katakan: air susu dibalas dengan air tuba. Belum lagi makian-makian lain, yang intinya menganggap aku memiliki bibit menjadi pelacur bobrok yang tak bisa di benahi.

Padahal demi Tuhan, aku tidak seperti yang mama katakana. Aku menghormati dan menyayangi mereka sebagai ayah dan saudara ytercinta. Hanya memang aku memang lebih dekat dengan mereka ketimbnag dengan mama. Yang menurutku, mama bukanlah orang yang tepat untuk berbagi perasaan.

Mestinya, aku bisa menikmati masa remaja yang indah. Bercengkrama dengan teman sebaya dikampungku, atau teman sekolah. Apalagi aku termasuk primadona di lingkunganku. Kulitku putih bersih, berbeda dengan teman-temanku yang mayoritas berkulit gelap. Rambutku pirang, sedikit kemerahan. Matku agak kebiruan seperti mat abule. Jauh beda dengan keluarga angkatku.

Kenyataan hidupku sangat terkungkung dan tersiksa. Terlebih ketika usiaku berabjak dewasa. Andai saja ku bisa memilih, kau lebih senang tinggal di tengah keluarga sederhana, ketimbang keluarga kaya dan terpandang seperti ini. Sejujurnya, sudah lama batinku berontak, berniat pergi jauh dari rumah. Tapi hendak keman aku pergi? Yang kutahu, hanya mereka keluargaku. Belum lagi, aku sendiri tak pernah pergi jauh dari rumah.

Pergi dari rumah

Malam itu, angis berhembus perlahan. Bunga kamboja dari tempat pemakaman umur di samping rumah menebarkan aromanya. Mataku tak jua terpejam meski malam tlah merangkak. Aku resah. Hatiku galau tak menentu. Air mataku pun tak mau diam, terus menetes dengan deras.harus bagaimana lagi kuredam emosi mendengar mama dan papa rebut besar di ruang tamu. Lagi, lagi, mama menuduh papa telah serong denganku, saat mama belanja ke pasar siang tadi.

Bantahan papa menjadikan mama kalab. Kudengar suara barang-barang pecah, kursi melayang. Pigura lukisanpun hancur berkeping. Sebenarnya, ingin sekali aku melerai pertengkaran itu. tapi apa dayaku? Mama pasti akan mencambukku seperti yang sudah-sudah. Namun haruskah aku terus diam mendengarkan pertengkaran itu?

Aku sudah sampai pada batas kelelahan tinggal bersama mereka. Tenyata kasih saying yang kudapatkan selama ini tak lebih dari kasih saying semu. Membesarkan aku hanya untuk di jadikan pembantu. Belum lagi, kehadiranku di rumah itu layaknya pemicu bencana keluarga. Aku kasihan sama papa.

Akhirnya aku mengambil keputusan bulat. Pagi itu, aku mengendap-endap keluar kamar lewat jendela kamarku. Dengan baju yang hanya melekat di badan, aku melangkah membawa sebuah harapan. Semoga mama-papa lebih tenteram, dan semoga jati diriku bisa kutemukan.

Aku menuju rumah Okan, teman SMP yang minggu lalu mampir ke rumahku. Katanya, ia bekerja di Hong Kong. Dan saat itu adalah masa cutinya. Kedatangan Okan sebenarnya bukan untuk menawariku bekerja ke luar negeri, karena ia tahu, keluargaku tak mungkin mengizinkan. Namun melihat Okan yang jauh berbeda dengan Okan yang dulu, saat itu aku berkeinginan bisa seperti dia. Bisa mencari uang sendiri demi masa depan dan membantu perekonomian keluarganya.

Sebelum masa cutinya usai, Okan mengantarku ke PTnya dulu, di daerah Gadang-Malang. Di tempat itu aku menjalanai pendidikan sekitar enam bulan. Dan berbekal bahas ingris dan kanton ala kadarnya, aku di berangkatkan ke Hong Kong pada tahun 2002. pertama menatap Negara kecil yang poadat penduduknya itu, bulu kudukku merinding. Seumur-umur belum pernah kulihat pemandangan seindah itu. gedung-gedung tinggi menjulang, menunjukkan kekokohan dan kekuatan. Sepanjang jalan jarang ada pepohonan, namun penuh dengan bunga-bungaan di taman. Belum lagi para kendaraan yang berseliweran denagn begitu rapinya. Di Sha Wan Road, aku bekerja membersihkan rumah dan merawat satu anak yang masih sekolah. Kedua majikanku masih muda usia. Ku taksir, usia tuan dan nyonya tak terpaut jauh. Sekitar 30-an tahun. Nyonya seorang guru play group, sedangkan tuan bekerja di kantor pemasaran apartemen.

Hari-hariku hanya menjaga anak asuh yang masih sekolah dasar. Tidak sulit bekerja di apartemen daerah Kowloon itu. apalagi majikanku sangat baik dan perhatian padaku, yang tak pernah menyangka bakal terdampar di Negara itu. tiada henti aku bersyukur pada Yang Kuasa. Dimana akhirnya aku bisa melepaskan diri dari siksa dunia yang dilakukan mama angkatku. Meski di tempat iru, gajiku di bawah standar dengan waktu libur yang tak pernah tetap. Tak mengapa, toh pekerjaanku tidaklah berat.

Diperkosa majikan

Di penghujung 2005, setelah tiga tahun bekerja, tuanku mulai berulah. Hari itu, selasa, sekitar pukul 10 pagi. Anakku sudah berangkat ke sekolah, nyonyaku sudah berangkat mengajar. Sedangkan tuan tak masuk kerja karena sedang tak enak badan. Aku menangkap gelagat aneh ketika, seharian itu, tuan terus-terusan nguntit di belakangku. Saat kau menyapu, mengepel, bahkan sampai membersihkan kamar mandi. Firasat buruk sempat mengusik benakku. Tetapi kau tak terlalu menghiraukan. Toh, selama ini tuan cukup baik dan perhatian.

Firasatku belakangan terbukti. Setelah matanya jelalatan kesana kemari, dengan kasar tuan menarik tanganku se sofa. Ia berusaha melepas bajau yang nempel di badanku. Karuan saja, aku berontak mati-matian. Aku berteriak, meski pasti tidak ada yang bisa mendengar. Ruangan itu memang kedap suara. Musik terdengar kencang, penghuni apartemen satu sama yang lainnya juga sangat cuek. Tak mahu tahu.

Setengah mati aku berusaha melepaskan diri dari cengkraman tuanku, yang seperti kerasukan setan. Kadang ku tendang, ku tamper dan beraneka perlawanan lainnya. Semaksimal mungkin aku berjuang. Namun apa lacur, seluruh kekuatanku seolah tak berarti. Perawanku melayang di tangan tuan majikan.

Duniaku suram. Tak ada kekuatan dalam diriku untuk melaporkan tindakan majika pada fihak yang berwenang. Aku takut jika aku sampai di pulangkan ke Indonesia. Itu berate aku harus kembali kepada keluarga angkatku. Tak sanggup.

Sejak kejadian pertama yang kudiamkan, tuan mulai menggila. Ia minta jatah tiap minggu. Dengan cara apa saja, tuan selalu bisa mengelabuhi nyonya dan anak asuhku. Ketakutan demi ketakutan menghantuiku. Sungguh, sebenarnay aku takut, jika sampai ketahuan nyonya, yang bisa saja aku di pulangkan. Dan aku juga takut jika sampai aku kebobolan alis hamil. Aku sadar, inilah kebodohanku yang selalu diam dan nerima, meski diperlakukan sedemikian nista. Aku menyadari, aku sudar kehilangan logika. Kurasakan otakku tak lagi berfungsi untuk berfikir dengan nalar sehat. Kadang aku mendapati, diriku sedang tertawa, menangis dan mengumpat atau berbicara sendiri. Begitu berat beban yang menindihku. Hingga tak kusadari, kesalahan demi kesalahan dalam bekerja kerap kulakukan. Keteledoranku makin meningkat yang akhirnya menyulut emosi nyonyaku yang sangat baik hati itu. kalimat interminate sering meluncur sebagai ancaman nyonya, yang membuatku kian ketakutan. Namun karena tuan pandai meredam emosi nyonya, aku tetap di pertahankan.

Deritaku kian memuncak ketika Juli itu, badanku merasa tak sehat hingga seminggu lamanya. Rasanya seperti meriang. Tiap kali pipis, sering rasakan begitu sakit pada kelaminku. Dari hari kehari semakin tak bisa lagi kutahan rasa sakit itu. terlebih ketika pada satu kesempatan, ku lihat air seniku mirip nanah. Karena panic dan kesakitan, secara diam-diam aku berobat ke dokter yang tak jauh dari apartemen. Setelah di periksa dokter ini, aku di kasih surat rujukan ke rumah sakit besar pada saat itu juga.

Ya Tuhan, cobaan apa lagi yang akan kau berikan padaku? Dokter memvonis, aku mengidap penyakit raja singa, syphilis! Penyakit laknat yang seketika membuatku bertanya: apakah aku tengah menangung penyakit kutukan ibuku?

Aku tak bisa lagi berkata apa-apa. Aku sudah bosan meratap. Aku hanya bisa pasrah kepada Tuhan. Ya, di tanganMU kini aku berserah diri. Setidaknya, beri aku kekuatan dan keberanian untuk menuntut majikanku. Bukankah keberanian berawal dari ketakutan? Aku percaya, Engkau tak akan meninggalkan aku. Bombing langkahku dan hadirlah dalam perkataanku pada persidangan nanti.

Setelah dokter menyuruhku menjalani perawatan di rumah sakit, sejenak aku meminta izin untul melaporkan majikan ke polisi dan menghubungi Labour Departemen, Cheung Sha Wan Government Office. Sambil menunggu kesehatan pulih aku juga menunggu detik-detik di persidangan.

Rencanaku setelah bewrhasil mengugat majikan, aku berencana pulang ke tanah air. Tidak pulang kepada keluarga angkat, melainkan masuk asrama kesusteran gereja katedral di kotaku. Tekadku sudah bulat untuk menjadi pelayan biara. Yang aku yakin, hanya di rumah bapa aku beroleh ketenangan dan kedamaian.

Catatan: pernah dipublikasi tabloid apakabar kolom curhat edisi 16-29 sep 2006.

3 komentar di "DERITA NAN TIADA AKHIR"

Posting Komentar