Nyaris aku kehilangan kendali. Sepulang dari rantau, pacarku sudah menikah dengan gadis lain. Dasar nasib. Upayaku untuk melupakan pacar dengan masuk kembali ke penampungan, justru menjerumuskan aku ke dalam percintaan sejenis. Sial, ”pacaran” dengan sesama pun aku dikhianati. Ia ingkar janji. Apakah aku tak berhak memiliki seorang kekasih?
Dulu, aku pernah mengagumi cowok satu kampung, panggil saja namanya Iwan (bukan nama sebenarnya). Kulitnya putih bersih, badannya tinggi tegap, wajahnya sungguh cakep. Di kampung kami, Wonodadi-Blitar, Iwan termasuk cowok idola. Selain tampangnya yang ganteng, ia anak orang terpandang. Kedua orangtuanya bekerja sebagai guru. Tak aneh jika banyak cewek yang terang-terangan mengagumi Iwan, anak sulung dari dua bersaudara itu.
Bukan cuma teman-temannya se-kampus, tetapi juga gadis-gadis se-dusun. Termasuk aku, tentu saja. Cuma, meskipun naksir berat, aku sangat sadar tentang diriku. Siapalah dan apalah aku ini. Mengharap Iwan menjadi kekasihku, tak ubahnya pungguk merindukan bulan. Maklum, aku anak orang tak punya. Tidak pintar, juga tidak cantik. Aku hanya gadis sederhana. Mana mungkin jejaka kelahiran 1976 itu mau pacaran denganku. Terlalu banyak gadis cantik, pintar, kaya dan agresif yang ingin dijadiin pacarnya. Dari situ aku menyerah sebelum berperang. Yakin tak bakal menang.
Sengaja kusimpan perasaan cinta ini tanpa ada keberanian mengungkapkan perasaan. Tak mengapa menyukainya dalam diam. Setiap ada kesempatan berduaan, aku terpaksa berusaha selalu menetralisir keadaan. Seolah tak ada apa-apa dengan hatiku. Sedapat mungkin aku bersikap biasa-biasa saja. Tetapi entahlah. Semakin kutekan perasaan ini, terasa semakin sakit rasa hati. Aku tak mampu menyimpan perasaan itu terlalu lama. Ya, sedikit memberanikan diri – pada suatu kesempatan – kuutarakan maksud hati. Dan begitulah, seperti yang pernah kuduga sebelumnya, Iwan bilang menganggapku sebatas teman. Tidak lebih dari itu. Terpaksa, kulupakan bayangan Iwan sejak penolakan halus itu.
Kalau pada akhirnya aku berangkat ke Singapura, hal itu bukan pelarian dari rasa kecewa. Bukan. Kulakukan semua demi untuk mengurangi sikap bandel, suka berfoya-foya, dan mengubah sikap agar tidak menyusahkan orangtua. Mungkin karena terlalu serius bekerja di rumah majikan, waktu yang tiga tahun terasa begitu singkat. Aku kembali ke tanah air. Di sini aku baru menyadari, cinta memang buta. Otak tidak bisa diajak berpikir secara ”normal”.
Bayangkan, Iwan tiba-tiba bilang suka sama aku. Katanya, banyak yang berubah selama kami tidak bertemu. Dia bilang, aku bertambah ayu. Aku sungguh bahagia mendengar pernyataan Iwan yang barusan wisuda itu. Sedikit pun tak terlintas pikiran buruk terhadapnya. Kubalas cintanya. Saat itu, Iwan masih pengangguran karena baru wisuda. Masuk akal jika ia berjanji akan meminangku setelah punya pekerjaan.
Kasihan melihatnya sering murung, aku menyampaikan keinginan bekerja ke Arab Saudi. Pendapat kekasihku? Ia sangat setuju! Selama aku bekerja di Saudi, komunikasi lancar-lancar saja. Sambil mengatur rencana untuk membangun masa depan, rutin kukirimi uang buat buka usaha. Tenan, aku sangat percaya kepadanya. Apalagi dia juga selalu mendorongku agar secepatnya pulang ke tanah air. Impianku indah. Segera pulang kampung halaman, dan menikah. Aku pasti bahagia bersuamikan Iwan yang tampan dan penyayang. Sampai tiga tahun berselang, kuakhiri perantauanku di Saudi.
Tetapi, apa yang kudapatkan setiba di tanah air? Ups, kekasihku ingkar janji. Komitmen Iwan untuk menikahiku ternyata cuma omong kosong. Dia bohong. Pengkhianat. Iwan sudah menikah dengan gadis lain. Bahkan, sudah punya seorang anak. Astaga! Cinta rupanya sungguh berbahaya. Aku terhanyut dalam dunia cinta yang indah. Namun kini, aku terdampar dalam derita panjang. Haruskah aku berontak, dan menuntut uangku kembali? Oh my God. Aku takut orangtua tahu hal itu. Sebab, apa yang kulakukan tanpa sepengetahuan orangtua.
Dengan perasaan stres, akhirnya kuputuskan masuk PT, seminggu setelah pulang dari Saudi. Bagaimana pun aku belum sanggup berlama-lama tinggal di dusun. Terlalu banyak kenangan saat bersama Iwan. Tetapi, sesampai di penampungan, batinku malahan semakin teriris. Sangat perih. Hantaman penderitaan dikhianati pacar laki-laki belum hilang, kini muncul derita baru. Derita yang sama, ulah asmara. Aku jatuh hati pada ibu satu anak berusia 28 tahun. Empat tahun lebih tua dari umurku.
Perkenalan manisku dengan Amy – sebut saja demikian – berawal saat kami sama-sama beli tisu pada salah satu teman. Tepatnya pada 23 Agustus. Kesan pertama, ia begitu baik dan mengasyikkan dijadikan teman. Aku senang berkawan dengan calon BMI familiar itu. Karena sama-sama cocok, ke mana-mana kami selalu berdua. Itu juga yang membuat kami jarang bergaul sama orang lain.
Di PT yang terletak di Jalan Teratai, Malang ini, kami tinggal satu ruangan, juga tidur se-ranjang. Meski belum lama kami akrab, tetapi hubungan kami telah diketahui oleh seluruh penghuni PT, termasuk para pegawainya. Siapa sangka, rupanya hal itu menjadi larangan. Kedekatan kami dipermasalahkan oleh pengurus PT. Aku dan Amy pun mendapat hukuman: dilarang ketemuan, tidur pisah ranjang, dan tidak boleh masuk kamar mandi bareng. Jika dia ada di kamar mandi, aku harus berada di tempat lain.
Hukuman itu tentu saja membuat pikiranku jadi semakin kacau. Bayangkan, nggak bisa ketemuan, berarti komunikasi dengan Amy jadi tidak lancar. Praktis, kami berhasil ”mencuri waktu” ketemuan hanya jika ada keributan. Sudah begitu, Amy selalu curiga aku jalan sama yang lain. Ia tak pernah percaya, betapa aku sangat mencintai dia. Aku serius, dan ini memang sungguh-sungguh. Betapa aku berharap bisa bersamanya sampai ajal menjemput. Tetapi, berkali-kali kusampaikan kesungguhanku, tetap saja dia tak percaya. Marah terus sama aku. Bahkan mulai cuek. Aku pun kehilangan kendali.
Bulan Maret itu, hatiku benar-benar kesal. Aku capek ribut-ribut dan selalu ribut. Membuat aku semakin bosan hidup. Akhirnya, aku nekat bunuh diri di PT bertingkat dua itu. Sebanyak 10 butir Bodrex, 5 Paramex, dan obat-obatan lain kuminum sekaligus. Siapa tahu, aku bisa mengakhiri semua. Setelah menelan butiran obat yang dilarang diminum dalam dosis besar itu, kuhampiri Amy. Tetapi perbincangan yang belum kelar itu terpaksa terputus, ketika tiba-tiba badanku terasa ringan. Selanjutnya tak ingat apa-apa. Aku pingsan.
Begitu sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Sebenarnya, pihak RSU dan PT menyuruhku opname pada hari itu. Tetapi aku menolak, karena aku kangen Amy. Aku membutuhkan dirinya. Sungguh, aku tak mau kehilangan dia. Sama seperti apa yang dikatakan Amy kepadaku. Ia sayang dan tak mau kehilangan diriku. Bahkan, Amy juga pernah bilang kepadaku, rela meninggalkan suaminya demi aku. Buktinya, ketika suaminya berkunjung ke PT, Amy seperti tak peduli. Dari situ aku semakin yakin, Amy memang benar sayang sama aku.
Meski gagal, upayaku untuk bunuh diri membuat pengurus PT tak mau ambil risiko. Mereka menghubungi keluargaku yang, secara otomatis, melarangku melanjutkan proses di penampungan. Tetapi aku bersikeras. Tiada guna aku kembali ke kampung halaman di saat hatiku masih terasa nyeri oleh pengkhianatan Iwan. Jujur saja, aku memang belum lapang dada menerima kehendak takdir ini.
Setelah kubuktikan cinta (dengan upaya bunuh diri), Amy pun jadi bertambah baik dan perhatian. Beruntung pula, kami diberangkatkan bersama-sama. Tetapi negara tujuanku ini telah mengubah segalanya. Keadaan di penampungan jauh berbeda dengan keadaan saat kami sudah mulai bekerja di rumah majikan. Di tempat berbeda, sudah pasti, peraturan yang diberlakukan majikan juga berbeda. Jika Amy dapat menikmati hari libur tiap public holiday, aku hanya memperolehnya satu kali dalam sebulan.
Sejak datang ke Hong Kong, sikap Amy juga mulai berubah. Terlebih sejak ia sering bergaul dengan teman-teman TB (tomboy - Red). Ia tidak lagi perhatian padaku. Ia enjoy dengan dunianya, sementara aku dilupakan begitu saja. Aku dibuat bingung oleh perubahan sikapnya yang nyaris drastis. Ia jalan dengan yang lain, aku tak marah. Kalaupun marah, aku bisa menyimpannya rapat-rapat. Tetapi kalau aku yang jalan sama orang lain, ndak boleh.
Jangankan melihat aku sama orang lain, mendengar aku ngobrol sama orang lain saja, Amy marah nggak ketulungan. Tidak adil. Sampai-sampai, dia berulah kayak anak kecil, pakai main matiin HP segala. Atau, kalau tidak mematikan HP, dia nggak mau mengangkat telepon dariku, meski berkali-kali kukontak. Terpaksa, aku pakai ”jurus” lain: mengontak dia pakai telepon umum. Namun, begitu tahu aku yang menelepon, jawabannya sangat ketus. ”Ngapain telepon aku?” Selalu begitu. Bagaimana aku bisa ngasih penjelasan? Jika aku ada masalah dengan majikan, aku jadi tidak bisa curhat.
Sekian lama bekerja di Hong Kong, seingatku hanya dua kali kami ketemuan. Yang pertama, kami pernah jalan bareng ke Causeway Bay. Baru aku tahu, Amy sebenarnya sosok yang egonya sangat tinggi. Aku dilarang bicara atau jalan sama orang lain. Tetapi dia sendiri melakukan lebih dari itu. Teganya di depan mataku ia memeluk orang lain. Padahal, saat liburan itu aku ada di sampingnya. Hati siapa yang tidak sakit? Katanya dia sayang sama aku. Rela ninggalin suami dan anaknya demi aku. Nyatanya, kok seperti itu. Amy bohong, sama seperti Iwan.
Seketika itu juga, kutampar wajah Amy di depan keramaian Taman Viktory, agar dia tahu betapa aku sangat kecewa kepadanya. Tetapi, eh, ia menyusulku pergi dari tempat itu. Minta maaf dan bilang khilaf. So? Pembaca... setulus hati aku sebenarnya membutuhkan teman untuk berbagi. Butuh sahabat yang mengerti hati dan perasaanku. Terus terang, aku sudah enggan berpikir soal kekasih. Aku hanya butuh teman yang bisa ngebimbing diriku. Tetapi, masih adakah yang mau berkawan denganku?
(Dituturkan ”T” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)
DUA KEKASIHKU INGKAR JANJI
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Said
Ceritanya beneran nih?, bukan cerita fiksi? waduh prihatin aku.
Said
ya beneran dong. mau berkenalan dengan yang punya kisah?he..he..
Said
harusnya punya pacar itu tiga...kalo dua berhianat yang satu ada kemungkinan setia....betuuuulll... naza pinteeeerrrr
Said
Hiya hiya aku temanmu yang paling tepat di dunia ini hai gadis ! Yakin lho !!!