SUAMIKU NIKAHI PACAR LESBIKU

Rumah tanggaku akhirnya berantakan. Suami yang pernah memberiku restu berpacaran dengan sejenis malah mengambil teman perempuanku. Bukan hanya didekati, dinasehati, tapi juga dinikahi. Aku yang terperosok dalam pergaulan bebas malah dibiarkan, diabaikan, bahkan diceraikan.

Perkenalanku dengan Rebecca – sebut saja begitu – berlangsung tidak sengaja. Saat itu kami bertemu di salah satu restoran Cina di Kowloon Tong. Meja Rebecca dan kelima temannya bersebelahan dengan mejaku. Aku juga tak sendiri, bertiga dengan teman tomboiku. Tidak munafik, sebagai anak tomboi, betapa aku sangat kagum melihat sejenisku yang cantik dan seksi, seperti kelompok meja di sebelahku. Biasalah, aku dan teman-teman lalu sibuk cari perhatian.

Agaknya mereka feminis antitomboi. Buktinya, mereka cuek. Bahkan, ketika kami menggodanya, kami malah dimaki-maki. Tetapi jangan sebut aku tomboi macho, kalau tak bisa menaklukkan gadis yang duduk tepat di sampingku. Akan kubuktikan, tapi dengan cara bagaimana?

Belum sempat aku berpikir, tiba-tiba gadis itu membuka jaketnya. Kacamata hitam yang dicantolkan di baju pun jatuh. Buru-buru aku memungutnya. Eit, siapa sangka, ia juga memungut barang itu. Belum sempat tangan kami meraih kacamata yang tergeletak di lantai, kami saling pandang. Cepat aku mengambil barang itu dan menyerahkan padanya. Awal perkenalan manis, yang diakhiri dengan membaurnya kelompokku dan kelompoknya dalam satu meja.

Kali pertama aku mengenalnya, Rebecca teramat lugu. Sampai aku berpikir, ia gadis muda yang tak doyan berkawan dengan sembarang orang. Apalagi makhluk tomboi seperti aku. Lha dalah, perkiraanku ternyata keliru. Wajahnya memang lugu, sikapnya manja, menandakan ia masih ”anak-anak”. Tetapi ketika suatu hari aku jalan bareng sama dia, baru aku tahu: ia menyukai perempuan berpenampilan tomboi. Rebecca bahkan cerita, punya pacar cewek sangat cakep yang – katanya – sedang pulang ke tanah air.

Setelah beberapa kali jalan bareng, aku mulai merasakan ada yang lain pada diriku. Ada rasa yang membuatku enggan berpisah, sedetik pun. Aku ingin selalu bersamanya. Meski sekadar jalan berduaan, meski tak sekalipun aku menggenggam tangannya. Aku suka dengan Rebecca yang selalu menasihatiku, memberi masukan bahwa membina hubungan sejenis tidak harus berlanjut hingga kehidupan mendatang. ”Kita nikmati saja selama di Hong Kong,” ujarnya.

Rebecca benar, tak mungkin aku hidup bersama dengan salah satu cewekku. Sebab, kenyataannya, aku sudah bersuami dan beranak. Tapi entah mengapa, rasa sukaku terhadapnya tak bisa kukendalikan. Sampai kemudian, Rebecca yang awalnya meragukan kesungguhanku, akhirnya mau menerimaku. Meski tahu aku punya banyak ”teman tapi mesra”, namun dia bilang: ia tidak peduli hal itu. Ia mengaku suka sama aku, hanya dengan satu kalimat: aku damai bersamamu.

Kehidupan asmaraku bersama Rebecca sejatinya tidak nyaman. Persoalan demi persoalan terkadang mengoyak kepedihan, memunculkan rasa sakit hati dan emosi. Pacar Rebecca datang dan aku diancam tak boleh mengambil Rebecca dari sisinya. Bahkan, aku juga dituding sebagai tomboi yang suka gonta-ganti pasangan. Artinya, sekadar ingin mempermainkan pasanganku. Dus, aku dituduh mendekati Rebecca melulu karena uangnya. Padahal, rasa sukaku terhadap Rebecca tak bertepuk sebelah tangan.

Saat yang sama, cewek-cewekku pun mendampratku. Mereka tidak terima aku punya gacoan baru yang tak mereka kenal sebelumnya. Aku paham mereka cemburu. Iri karena kecantikan dan kecentilan Rebecca di atas mereka. Mereka menuntut janji-janji yang pernah kuucap. Janji setia dan janji ”tak ada yang lain di hatiku”.

Bersyukur, Rebecca bisa dan mampu memahami aku yang selalu ribut dengan pacar-pacarku. Ia bahkan memberikan kebebasan padaku untuk bersama mereka menyelesaikan masalah dengan tuntas. Ia tak pernah memaksaku agar jalan bersamanya sepanjang liburan tiba.

Mulai muncul masalah

Setelah masalah demi masalah kuselesaikan, gantian aku bermasalah dengan Rebecca sendiri. Ia meminta bukti cinta dariku. Ia minta hubungan kami diumumkan kepada teman-temannya dengan menggelar acara ”pertunangan”. Saat itu aku keberatan, lantaran aku masih sadar hal itu tidak mungkin. Tapi Rebecca terus mendesak. Lebih parah lagi, ia menuntutku mengatakan pada suamiku.

Permintaan itu kuanggap gila. Aku pun ribut besar dengannya. Ia meminta sesuatu yang sulit kulakukan. Bagaimana mungkin hubungan sejenis kusampaikan kepada suami? Rebecca tak mau tahu alasanku. Ia pun pergi dan menjauh dariku.

Aku kecewa, stres. Rebecca menuduhku sama seperti tuduhan teman-teman lain. Ya, aku dianggap cuma main-main. Rebecca bukan cewek gacoan pertama, sejak aku tenggelam dalam dunia sejenis tiga tahun silam. Masih banyak cewek lugu dan manis yang tergoda dan terjerat oleh penampilanku. Tak ada yang kupikirkan ketika pacar-pacarku itu berpaling atau meninggalkan aku. Kuanggap biasa saja. Putus-sambung bagiku bukan hal yang menyakitkan. Tetapi ketika Rebecca meninggalkan aku, hidup seolah tiada arti. Ugh, inikah cinta yang sesungguhnya?

Setiap malam kuratapi diriku. Kusesali sikap Rebecca yang rupanya justru sangat kejam ketimbang cewek lain. Ia yang kuanggap pengertian, rupanya tidak demikian. Terempas dalam masalah asmara, sungguh tiada pernah kuinginkan. Tapi kalau memang jalannya demikian, apa yang bisa kulakukan? Terpaksa, aku minta Rebecca kembali kepadaku, meski dengan syarat: aku mesti jujur kepada suamiku.

Malam itu, usai menyelesaikan pekerjaan di rumah majikan, aku menelepon ke tanah air. Kebetulan, suamiku yang menerima. Terasa berat aku mengatakan keinginan Rebecca. Aku takut suamiku marah dan menceraikan aku. Kalau sudah begitu, bagaimana dengan kedua anakku nanti? Sejatinya, aku teramat sayang pada suami yang menikahiku pada 1992. Namun keadaan memaksaku menjadi istri yang tak setia. Aku tak bisa menghindari arus pergaulan yang belum pernah kutemukan selama ini.

Kegugupanku rupanya tertangkap suami. Sepertinya, ia tahu aku sedang menyimpan beban yang sangat berat. Tanpa aku mengatakan apa-apa, ia memintaku jujur dan dia berjanji tidak marah. Akhirnya, dengan rasa takut yang luar biasa, aku mengaku kepada suami bahwa aku suka pada teman perempuan. Aku sudah siap mendengar reaksi apa pun dari suamiku.

Duh, suamiku memang laki-laki yang pengertian. Ia tidak marah, bahkan mengizinkan aku meneruskan hubungan dengan Rebecca. Syaratnya: tidak boleh melupakan keluarga dan tetap ingat terhadap tanggungan mengirim biaya sekolah anak. Aku sangat berterimakasih atas kebaikan suami. Tentu, izin tersebut dialasi sebuah alasan: lebih baik dengan perempuan ketimbang hamil di luar negeri dengan pria yang bukan suami. Selanjutnya, kuperkenalkan Rebecca kepada suami.

Peresmian hubunganku dengan Rebecca aku gelar di salah satu toko Indonesia. Seluruh teman, termasuk mantan-mantan, aku undang. Saat itu aku sangat bahagia, meski dalam hati timbul pemberontakan. Peresmian itu mengingatkan aku pada pernikahanku dulu, mengharukan.

Rebecca berpaling ke suamiku

Entah, lebih pantas disebut apa keluargaku ini. Hari-hari berikutnya, justru Rebecca yang getol berkencan dengan suamiku lewat telepon. Mula-mula aku gembira mendengar keterangan suami dan pacar perempuanku. Namun, lama-lama aku merasakan ada sesuatu yang tidak kumengerti. Setiap kali bertemu denganku, Rebecca mulai dingin. Setiap bertemu pula, ia selalu menyuruhku menelepon suami. Apalagi jika kami hanya berduaan di kamar sewaan. Aku sering melihat betapa bahagia Rebecca tatkala bercanda dengan suamiku.

Begitu juga dengan suamiku. Kata-katanya terdengar romantis dan mengasyikkan. Aku bisa menangkap, suamiku pun gembira mendengar suara Rebecca. Aku sampai bengong dan tak mengerti. Kalau sudah telepon-teleponan, Rebecca tak mau kudekati. Cuek!

Saat itu aku mulai curiga, mereka memiliki perasaan yang istimewa. Tapi segera kutepis semua anggapan dan kecurigaan itu. Kupikir, tak mungkin Rebecca yang masih 21 tahun, mau menikah dengan suamiku yang sudah 35 tahun. Tapi memang benar, cinta tak memandang usia. Suami dan pasangan lesbiku menikah tanpa sepengetahuanku.

Syahdan, suatu waktu Rebecca pamit cuti pulang ke tanah air, usai tanda tangan kontrak kedua di majikan yang sama. Ia berjanji kepadaku, akan datang ke rumah memberi oleh-oleh buat keluargaku. Kenyataannya? Rebecca tidak pernah datang ke rumahku setelah dua minggu pergi dari Hong Kong. Sementara suamiku, yang seorang sopir, pamit kepada keluarga: tidak pulang selama dua minggu. Nomor HP Rebecca di Indonesia, yang dibeli dari Hong Kong, tak pernah aktif. Nomor telepon rumahnya aku tak tahu. Jangankan itu, asal-usul Rebecca yang pasti pun aku tak tahu.

Nomor HP suamiku, yang biasanya tak pernah mati, juga tulalit. Kata anak-anakku, tiap kali bapaknya menelepon ke rumah selalu lewat wartel. Katanya, HP-nya rusak. Instingku mulai bicara. Aku bisa mengambil kesimpulan, Rebecca pasti ketemuan dengan suamiku. Tetapi, bagaimana aku melacak keberadaan mereka?

Sudah hampir lima bulan Rebecca kembali ke tanah air. Selama itu ia tak kunjung kembali ke Hong Kong. Belakangan aku mendengar, Rebecca menikah dengan seorang pria dan tidak kembali ke Hong Kong. Bak disambar petir aku mendengar itu. Tapi aku berusaha berlapang dada, jika benar Rebecca menikah dengan orang lain. Aku sadar, aku perempuan yang tidak mungkin hidup bersama dia selamanya.

Dari satu teman ke teman lain, akhirnya aku beroleh informasi tentang Rebecca. Bukan hanya alamat PT-nya dulu, tapi juga rumahnya. Lantas, aku pun minta izin ke majikan untuk cuti ke tanah air. Bersyukur, dengan alasan ada masalah dengan keluarga, majikan mengizinkan. Tanpa sepengetahuan keluarga, aku pulang ke tanah air dan tiba di kampung halaman.

Hari sudah malam ketika aku sampai di depan rumah. Keluargaku, terlebih anakku, sangat terkejut melihat aku pulang dengan tidak membawa apa-apa. Mereka juga heran melihat penampilanku yang mirip seorang pria. Karena tak melihat batang hidung suamiku, aku bertanya kepada anak dan orangtua. Mereka bilang, suamiku jarang pulang karena sekarang mengambil line bus lintas Sumatera.

Menangkap basah suamiku

Dua hari di rumah, aku bersama adik bungsu berangkat ke tempat kelahiran Rebecca. Berbekal selembar kertas, akhirnya aku tiba di sebuah perkampungan. Tidak sulit, karena masyarakat di kampung itu hapal dengan gadis yang baru pulang dari Hong Kong. Rumah yang ditunjukkan warga kepada kami letaknya dekat dengan masjid. Aku melihat banyak penduduk yang hendak Jumatan, karena hari itu kebetulan hari Jumat.

Belum sempat mengetuk pintu, seorang perempuan yang pernah kuajak tidur membuka pintu. Kupastikan, saat itu ia hendak bepergian. Setelah menyebut namaku, ia bengong. Tidak banyak kata, bahkan mempersilakan kami duduk dan masuk pun tidak. Aku melihat ia sangat ketakutan. Sungguh aku tak tahu, kenapa ia setakut itu.

Akhirnya, aku tahu musababnya, ketika melihat seorang pria keluar dari kamar dengan pakaian rapi. Rambutnya masih basah. Parfum yang baru disemprotkan juga tercium hidungku. Pria itu lebih parah keadaannya saat bertatap muka denganku. Wajahnya berubah warna. Matanya berputar tak tentu arah. Bibirnya terbuka, seperti orang yang ingin mengatakan sesuatu tapi tertahan di tenggorokan.

Saat itu, aku tak bisa apa-apa. Badanku terasa lemas. Mataku berkunang-kunang. Untungnya, adikku buru-buru memapahku. Hatiku sangat sakit, sakit, dan sakit. Dan hingga kini, sakit itu tak juga terobati. Kenyataan itu sungguh pahit dan getir. Rebecca, lesbi yang paling kucintai, hidup serumah dengan suamiku. Saat itu juga aku memutuskan minta cerai pada suami.

Pembaca... Aku memang pernah menikmati masa indah dengan keduanya. Aku pun pernah mencintai mereka dengan sedemikian rupa. Tapi setelah mendapati kenyataan yang menyakitkan, cintaku seketika sirna. Mustahil hidup satu atap dengan keduanya, meski suatu hari suamiku menjelaskan tujuannya mendekati Rebecca. Dia bilang, sekadar untuk menghentikan petualangannya bermain cinta dengan sesama. Alasannya, Rebecca masih terlalu muda.

Kuanggap itu omong kosong. Alasan yang dibuat-buat. Kenapa suamiku justru kasihan pada Rebecca, bukan kepadaku? Bukankah aku istri sahnya yang telah memberinya dua putra? Suamiku memilih menceraikan aku ketimbang memperbaiki diriku. Duh Gusti, hidup ini ternyata amat berliku. Kesadaran tentang ”jalan hidup” baru kudapat setelah aku menerima cambukan berat.

11 komentar di "SUAMIKU NIKAHI PACAR LESBIKU"

Posting Komentar