TERJERAT CINTA SESAMA

Lama tinggal di penampungan, apalagi jarang bertemu keluarga, membuatku terjebak cinta sesama. Setelah bekerja di Hong Kong, baru aku menyadari, tindakanku selama ini ternyata keliru. Masihkah Tuhan memberikan ampunan?

Swear, sedikit pun tak pernah terbayang di benakku bakal terjerat kehidupan lesbi. Apalagi, hal itu terjadi sejak mula pertama aku masuk ke penampungan PJTKI. Oh ya, namaku Lily, buruh migran yang kini bekerja di Tsing-Yi, Hong Kong. Sebelum kerja di tempat ini, aku pernah kerja di Saudi Arabia tiga tahun lamanya. Kutinggalkan suami dan anak perempuan semata wayangku di daerah asal, Banyuwangi. Karena penghasilan di gurun pasir ludes untuk membiayai operasi ibu, aku memutuskan kembali masuk penampungan.


Namun, keputusanku memproses kerja di Hong Kong melalui PJTKI di Surabaya rupanya tak cukup beruntung. Hampir dua tahun, aku baru diberangkatkan ke negara tujuan. Bisa dibayangkan, apa yang terjadi selama aku dalam penantian. Barang-barang di rumah habis tergadai untuk membiayai hidupku. Keluarga tak pernah lagi mengunjungi, ditambah dengan diriku yang akhirnya terseret arus kehidupan sesama. Tak kusangka, aku yang selama ini taat beribadah sebagai seorang muslimah, tiba-tiba melupakan agama begitu saja.

Shalat lima waktu kutinggalkan, puasa Senin-Kamis tak lagi kujalani, bahkan aku lupa dengan keluarga. Itu semua terjadi sejak aku kenal Tintin – sebut saja begitu – alumnus Akademi Perawat, yang nekat bekerja ke luar negeri untuk mencari modal buat suami yang gagal sebagai seorang arsitek. Manten anyar yang baru enam bulan menikah itu bertubuh tinggi besar. Rambutnya pendek ala pria, kulitnya putih mulus.

Pertama melihat calon nakerwan itu, dadaku sering berdetak tak menentu. Terkadang, aku sampai harus curi-curi pandang bila di kelas sedang menerima pelajaran dari instruktur bahasa Cantonese. Rasanya, memang begitu menyenangkan menatap gadis lugu itu. Sempat aku memaki diriku dengan pikiran yang tidak-tidak. Ehm…soalnya, wajah gadis itu mirip dengan suamiku.

Dengan berbagai cara, akhirnya aku berhasil tidur seranjang dengannya. Ya, karena satu ranjang di penampungan diisi tiga orang. Sejak melihatnya sebulan lalu, malam itulah kali pertama aku dekat dengan Tintin. Saat itu, aku benar-benar berperang dengan batinku, antara resah, bingung, dan segala perasaan yang menindih jiwa. Maklum, 18 bulan aku kesepian di PT. Terlebih ketika tangannya yang halus memelukku. Sesekali, kulirik wajah itu, namun ia seolah tak tahu. Kulihat ia memang tidur pulas. Entah mengapa, malam itu terasa sangat menyiksa di sepanjang sejarah aku jauh dari suami.

Sejak itu, aku bisa selalu bersama gadis asal Madiun itu. Makan, tidur, bahkan sekamar mandi berdua. Didukung lagi dengan peraturan yang mengharuskan demikian. Hubungan layaknya suami-istri pun terjadi dengan gadis pendiam dan penurut itu. Bagai singa lapar, aku benar-benar liar tanpa kendali. Hubungan yang semakin akrab ini pun tercium oleh teman-teman, bahkan para pegawai PT. Nasihat, hinaan, dan cemoohan kerap kudengar seputar tingkah lakuku. Tapi, apa peduliku?

Cintaku benar-benar alamiah dan berlangsung tanpa rekayasa. Kalau pun dosa, ini sepenuhnya urusanku dengan Dia yang di atas sana. Jadi, jangan katakan dosa! Itu saja kataku waktu itu. Aku benar-benar sewot, mungkin karena terdorong oleh madu manisnya asmara hubungan sejenis. Aku sendiri tak tahu, kenapa begitu besar rasa sayangku pada Tintin. Sampai-sampai, hatiku hancur berkeping saat mengetahui Tintin harus diberangkatkan terlebih dahulu. Saat itu, aku mau protes ke PT: kenapa aku yang sudah karatan – 20 bulan ngendon di PT – tak jua diberangkatkan?

Di tengah kekacauan batin ditinggal ”pacar”, terbersit niat untuk kabur dari tempat yang selama ini mengungkungku bak dalam penjara. Tapi, sebelum keinginan terlaksana, aku berkenalan dengan siswi yang baru datang. Bodi dan gayanya tak jauh beda dengan Tintin. Gadis itu, panggil saja Sami, selain eks-Taiwan (3 tahun), juga eks-Saudi (2 tahun).

Awalnya, kami sebatas ngobrol seputar kenangan semasa bekerja di negara lain. Namun belakangan, berlanjut ke masalah pribadi. Sami mengaku, ia menjadi lesbi sejak cerai dari suami yang menikahinya sembilan tahun lalu. Sebagai janda sekaligus ibu seorang anak yang masih balita, kadang ia juga butuh kepuasan batin. Tapi karena tak ingin melakukan dengan laki-laki, yang bisa saja menghasilkan anak, ia memilih melakukan dengan teman perempuan. Sungguh! Aku kaget mendengar pengakuan jujur itu. Namun, aku juga senang karena kami memiliki ”hobi” yang sama. Dari situ, kami pun mulai merajut hari-hari indah, membuang kebosanan tinggal di penampungan.

Kuakui, sebagai wanita feminin berwajah manis, tidaklah sulit aku gonta-ganti pasangan, meski berjenis kelamin sama. Anehnya, kendati antara aku dan Sami telah jauh melangkah, aku tetap tak bisa melupakan wajah, tawa, dan kelembutan Tintin, gadis pertama yang membawaku pada kubangan dosa yang mungkin tak diampuni Yang Kuasa. Jika saja tak terlalu lama di penampungan, kelakuan buruk ini mungkin tak menimpaku. Namun, apalah daya orang sepertiku.

Bersyukur, di saat kebejatanku makin memuncak, pada 2003 aku diberangkatkan ke Hong Kong. Di Tsing yi, aku cuma digaji HK$ 1.800 per bulan dan tanpa libur selama dua tahun. Mungkin karena ”tak pernah melihat dunia luar”, selama itu pula aku tidak pernah mendengar di mana gerangan dan bagaimana nasib kekasih-kekasih masa laluku itu.

Pekerjaan merawat bayi yang baru lahir sungguh berat aku jalani. Jarang tidur, makan pun tidak teratur. Sampai-sampai, badanku jadi kurus kering dan sering sakit-sakitan. Terkadang, jika demam tinggi, aku sering merasa hampir mati. Pada saat-saat seperti itu, aku pasti akan menangis. Aku takut Tuhan tak mengampuniku. Aku takut suamiku mendengar kelakukan burukku. Aku juga takut hukum karma kelak berlaku atas anakku. Aku benar benar menyesal pernah mengenal dunia lesbi, dan aku ingin melepaskan diri dari jerat itu. Cuma, masihkah ada jalan untukku?

(Seperti dituturkan Lily kepada Kris.D.S dari Apakabar)

9 komentar di "TERJERAT CINTA SESAMA"

Posting Komentar