SEBELUM KESETIAAN ITU TERNODA

Aku sangat mencintai suami dan anakku. Demi mereka, aku berusaha mengubah nasib. Demi mereka, aku pun rela mengorbankan perasaan yang sejatinya tak ingin berpisah dari mereka. Segala asa dan cita demi mereka, meski batinku ingin meronta.

Sebelum berangkat ke Hong Kong di awal tahun 2006, aku telah menikah dengan teman kelas SMP-ku dulu. Pernikahanku telah dikaruniai seorang putri, yang kini berusia 4 tahun. Suamiku – panggil saja dia Bambang – sangat sabar, pengertian, juga sayang kepadaku dan buah cinta kasih kami. Karena kepribadiannya, aku yang sebelumnya memiliki sikap egois, mudah emosi, dan suka hura-hura, mulai belajar mengendalikan diri. Seiring dengan itu, aku semakin menyadari status dan tanggung jawab seorang ibu terhadap anak, juga seorang istri terhadap suami.

Kesadaran utuh aku dapatkan setelah Merry, anakku, lahir. Dorongan itulah yang membuatku memutuskan untuk menjadi seorang TKW. Apalagi, usaha suamiku yang hanya seorang penjual roti, mulai menunjukkan tanda-tanda bangkrut. Pengeluaran tidak sesuai dengan pendapatan.

Mula-mula, aku yang akhirnya masuk PT Cengkareng berkeinginan mengadu nasib ke Malaysia. Selain lebih cepat diberangkatkan, bukan kebetulan, banyak tetanggaku yang merantau ke negeri jiran itu. Namun, pihak PT menawarkan kepadaku untuk mau diberangkatkan ke Hong Kong. Awalnya aku ragu, meski pada akhirnya aku bersedia pindah proses ke negara tujuan.
Jujur saja, aku sangat tergiur dengan kata-kata mereka. Menurut staf PT, gaji di Hong Kong dua kali lipat dibandingkan dengan gaji di Malaysia. Di Malaysia juga tidak ada peraturan soal libur, sementara di Hong Kong aku bisa libur setiap minggu. Anganku waktu itu, bisa libur berarti aku bisa mencari keberadaan saudara keponakanku yang telah sepuluh tahun bekerja di Hong Kong.

Di PT besar ini, keseharian yang aku hadapi hampir sama dengan teman-teman lain. Belajar, makan, tidur dan ngumpul dengan teman-teman dekat. Bedanya, aku punya tugas membersihkan asrama staf bagian pendataan setiap pagi dan setiap hari. Staf yang masih lajang itu, panggil saja namanya Doni, adalah satu-satunya staf yang dekat dengan aku. Sikapnya jauh lebih ramah jika dibandingkan dengan staf bagian lain. Apalagi instruktur...ugh, galaknya minta ampun.

Laki-laki berusia 30 tahun itu pula yang menawarkan kepadaku untuk pindah proses. Dia bilang, paling lambat lima bulan aku sudah bisa diberangkatkan ke negara tujuan. Kenyataannya? Sampai bulan ke tujuh, belum juga ada tanda-tanda kapan aku diterbangkan. Sewaktu aku menanyakan masalah itu kepada Pak Doni, ia hanya bilang: sabar, yakinlah pasti diberangkatkan. Tetapi kapan, ia tak berani memberi kepastian.

Berawal dari peristiwa itu, saat aku menanyakan keberangkatanku, sikap Pak Doni mulai tak ramah padaku. Aku mulai merasakan Pak Doni yang kukenal dulu berbeda dengan Pak Doni yang sekarang. Kalau aku salah meletakkan buku-bukunya di lemari, ia memanggilku ke kantor. Memarahi habis-habisan. Ujung-ujungnya, aku dihukum membersihkan gudang ukuran 15 x 15 meter seorang diri. Gudang tempat penyimpanan data yang begitu pengap dan gelap meski lampu menyala. Malamnya, seusai jam kantor, Pak Doni pasti memanggilku ke asrama. Lagi-lagi aku dikenai hukuman. Aku disuruh memijit badannya, setelah ia melepas seluruh pakaiannya.

Hari-hari pertama keadaan masih baik, meskipun hati dan perasaanku dibuat waswas dan khawatir yang luar biasa. Gejala ada ”sesuatu yang diinginkan” Pak Doni mulai tertangkap pada minggu kedua aku dikenai hukuman itu.

Malam itu, seperti malam sebelumnya. Setelah melepaskan baju dan mengganti dengan kain sarung, Pak Doni telentang di ranjang. Dadaku bergemuruh tak menentu. Ketakutan mulai menerjang pikiranku. Biasanya tengkurap, kali ini malah telentang. Suatu hal yang membuatku jadi kikuk dan merasa serba salah. Belum sampai tanganku memijat tangan kanannya, dengan secepat kilat Pak Doni menyambar tubuhku naik ke ranjang.

Untungnya, pada saat seperti itu, bayangan suamiku hadir. Aku seakan memiliki kekuatan untuk melakukan perlawanan. Meskipun tubuhnya tinggi tegap, tapi aku bisa melepaskan diri dari pelukannya. Bahkan, aku masih ingat jeritan Pak Doni karena gigitanku di pundaknya.

Sesampai di ruanganku, ruangan khusus calon BMI, aku masih gemetaran. Aku ingin menjerit, tapi takut didengar teman. Ingin menangis, aku juga takut ketahuan teman. Akhirnya aku pura-pura menata baju-bajuku di loker, sambil berpikir mencari jalan keluar dari penampungan biadab itu. Tetapi, bagaimana caranya? Tembok-tembok itu sangat tinggi. Pintu selalu terkunci dan dijaga satpam. Merayu seorang satpam bukan keahlianku. Kembali minta bantuan Pak Doni, sama artinya dengan bunuh diri.

Pukul 2 dini hari, aku minta izin kepada penanggung jawab ruangan, hendak tahajud di mushala. Calon BMI yang sudah cukup lama tinggal di PT itu mengizinkan aku pergi seorang diri. Mungkin, ia sudah percaya padaku yang memang sering keluar masuk ruangan. Padahal kalau orang lain, pasti dikawal oleh dia atau oleh calon BMI piket malam.

Sesampai di kamar mandi, aku berusaha membuka jendela kawat dan memanjat tembok yang juga diberi kawat dan pecahan kaca. Kaki dan tanganku berdarah, tetapi tidak terasakan olehku. Sampai akhirnya tubuhku meluncur ke bawah di antara semak-semak basah. Tak lama, aku sudah berlari menuju keramaian, sampai aku bertemu dengan seorang penjual sayur yang hendak berangkat ke pasar. Kepada ibu itu, sebut saja Ibu Dwi, aku menanyakan beberapa nama penampungan. Alhamdulillah, ia bisa menyebutkan nama-nama PT, termasuk salah satu PT yang ada di Kota Surabaya. Ia bercerita, pernah bekerja sebagai sponsor.

Lewat perempuan berusia 45 tahun inilah – setelah dua hari aku menginap di rumahnya – aku berangkat ke PT yang berkantor di daerah Jawa Timur. Entah apa yang dikatakan Ibu Dwi kepada pihak PT, meskipun tanpa surat dan dokumen apa pun, aku bisa diterima masuk PT dan proses ke negara Hong Kong. Empat bulan kemudian, aku diberangkatkan ke negara tujuan dengan gaji di bawah standar dan tanpa hari libur.

Di Negeri Jacky Chan ini aku ditempatkan di apartemen yang berlokasi di Diamont Hill, bekerja merawat sepasang suami istri yang sudah renta. Si nenek sudah lumpuh total, sedangkan kakek – umurnya 93 tahun – masih mampu berjalan, meski terkadang dibantu dengan tongkat. Tiap pagi dan sore aku rutin mengajak momonganku ini jalan-jalan di taman yang tak jauh dari area perumahan.

Tak terbayangkan, betapa lelahnya aku menjalani hari-hari. Menuntun si kakek sambil mendorong kursi roda sang nenek. Untungnya, kedua orangtua keturunan Cina daratan ini sudah mulai pikun dan pandangannya agak kabur. Namun yang lebih melelahkan lagi, kakekku kini mulai berulah.

Suatu hari, sepulang mengajak mereka jalan-jalan ke taman, aku memandikan mereka satu persatu. Lha dalah, kok ya hari itu kakek bertingkah. Memang bukan sekali dua, ia suka memperhatikan aku lebih dari porsinya. Tetapi kali itu, hampir saja kesetiaanku terhadap suami ternoda. Pasalnya, tiba-tiba ia menggerayangi lekuk tubuhku di kamar mandi. Jelas, aku marah. Sampai ada niat untuk menamparnya.

Malam harinya, aku langsung menghubungi anak majikan. Tanpa kujelaskan apa masalahnya, saat itu juga aku meminta break contract, memutuskan kontrak kerja. Biarlah segala risiko kutanggung, asalkan tidak membuat aib yang mungkin harus kutanggung sampai di akhirat nanti.

(Dituturkan N kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

5 komentar di "SEBELUM KESETIAAN ITU TERNODA"

Posting Komentar