TUBUHKU JADI BIANG KEGAGALAN


Peristiwa ini sungguh-sungguh terjadi dan kualami. Lantaran bentuk fisikku yang ”aneh”, dua kali aku dipulangkan majikan sebelum masa kontrak habis. Beruntung, kali ketiga, majikanku mau menerimaku apa adanya. Toh, hatiku kadang bertanya, haruskah bentuk fisik seseorang menjadi penyebab kegagalan?
Panggil saja aku Ani. Sulung dari dua bersaudara, anak buruh tani, asal Dusun Pulung, Ponorogo. Meski saudara kandung, jujur saja, aku dan adik perempuanku memiliki banyak perbedaan fisik. Adikku yang kini duduk di bangku SMU, punya postur yang cukup bagus. Badannya ramping, rambutnya indah bergelombang, dan kulitnya putih bersih, seperti kulit emakku. Sedangkan aku berkulit hitam, badan gemuk pendek, bibir memble, dan – maaf – pantatku agak besar.

Entahlah aku ini ngikut siapa. Soalnya, seluruh keluarga besarku tidak ada yang mirip aku. Emak dulu sering cerita, waktu aku dalam kandungan, emak ngidam buah semangka, tapi tak keturutan. Tiap malam maunya juga nonton lawak Kirun di televisi. Tetapi karena di rumah tidak ada TV, terpaksa numpang ke rumah tetangga. Tentu saja bapakku melarang. Mungkin, karena itu, aku kemudian dilahirkan dengan keadaan seperti ini.

Gara-gara fisikku pula, sejak kecil aku dijuluki ”Tominse” alias Tolong Mingkem Sedikit. Ada juga yang mengolok-olokku dengan panggilan Ateng, menunjuk nama pelawak bertubuh pendek yang dulu kerap tampil di TV. Tapi tak mengapa. Aku tidak marah, karena memang begitu keadaanku.

Seusai menamatkan pendidikan MTS di daerah asal, aku yang kelahiran tahun 1980 ini, mengikuti jejak teman-temanku di kampung masuk penampungan di sebuah PJTKI yang berlokasi di Surabaya. Siapa tahu kelak nasibku mujur: kerja di luar negeri, dapat majikan yang baik, tidak pelit, dan memberiku waktu istirahat cukup. Maklum, aku termasuk gadis yang doyan tidur dan...nglindur.

Namun, peruntunganku rupanya sama gelap dengan kulitku. Sudah hampir setahun di PT besar itu, tidak jua aku diberangkatkan. Padahal, orang tuaku sudah mulai resah dan menyuruhku pulang ketimbang menjadi perawan tua di penampungan. Orang tuaku juga khawatir, aku melupakan kodratku sebagai wanita, lantaran tinggal bersama ribuan calon nakerwan. Syukurlah, aku berhasil meyakinkan orang tuaku yang sangat kucintai. Kukatakan, ajaran agama adalah perisai hidupku.

Keresahan orang tuaku mudah dimaklumi, karena faktanya memang cukup banyak temanku yang tersesat jalan. Tetapi apa peduliku? Wong orang-orang PT anteng-anteng saja, meski tahu ada anak buahnya yang suka bertingkah ”aneh-aneh”.

Teman-teman di PT umumnya sangat baik dan perhatian padaku. Walau terkadang, tiap malam sebelum tidur, aku sering ditanggap layaknya nanggap wayang golek. Kata mereka, aku gadis yang lucu tapi lugu. Lucunya, jika aku sedang berbicara, bibirku monyong kayak moncong senapan. Untuk tersenyum manis pun aku kesulitan. Entah kenapa.

Lalu, dikatakan lugu, karena aku tidak pernah sakit hati meski diolok-olok dan digojloki. Oh ya, banyak juga teman di penampungan yang memanggilku Tominse. Sangat jarang yang tahu nama asliku, karena aku jarang pakai keplek, tanda pengenal yang biasa dipasang di dada. Sudah begitu, banyak teman di PT yang kebetulan tetanggaku di kampung.

Majikan pertama

Akhirnya, pada Juli 2002, aku diberangkatkan juga ke Hong Kong dengan perjanjian: digaji di bawah standar dan tanpa hak libur selama dua tahun. Aku betul-betul tidak tahu kalau gajiku ternyata sangat minim, ditambah lagi tidak kenal libur. Ini bisa terjadi, karena orang-orang PT tidak pernah memberi penjelasan tentang hak-hakku.

Tetapi sudahlah, aku sudah telanjur menyetujui surat kontrak itu. Kupikir, dengan gaji di bawah standar pun tak mengapa, asal bisa bekerja dan menyisihkan sebagian gaji untuk membiayai sekolah adik semata wayangku. Namun, oalah, nasibku ternyata bener-bener tak beruntung. Baru empat bulan bekerja di apartemen lantai 4 Tsuen-Wan, aku sudah dideportasi majikan.

Pembaca… Kenyataan itu tentu membuatku sangat terluka. Hanya karena majikan tidak suka dengan bentuk tubuh dan warna kulitku, mereka memecatku. Lebih menyakitkan lagi, majikan pertamaku ini menuduhku telah menipunya. Memang, dalam foto di biodata, bibirku tidak terlihat memble karena tersenyum. Warna kulitku pun kelihatan putih bersih. Sementara, sejak di PT, badanku bertambah melar karena tiap hari cuma makan, tidur, nonton TV, dan belajar. Sama sekali tidak ada kegiatan, karena siswi BLKLN tidak diizinkan melakukan kegiatan apa pun tanpa instruksi dari instruktur.

Biodata itu tidak salah. Cuma, data dan foto yang tersedia adalah kondisi pada saat aku baru datang ke penampungan. Siapa sangka, biodata itu akhirnya dijadikan alasan untuk memecatrku. Sebagai seorang gadis, seketika, aku merasa kehilangan kepercayaan diri. Aku menjadi malu setiap kali bertemu dengan teman teman lain.

Gara-gara peristiwa itu pula, sekembaliku ke penampungan, aku jadi suka marah-marah kepada siapa saja yang masih memanggilku Ateng atau Tominse. Teman-teman di PT sampai heran melihat perubahan sikapku. Mereka semakin bertambah heran saat mendapati aku jadi lebih suka menyendiri.

Sialnya, staf-staf di penampungan justru bersikap nyinyir padaku. Di setiap kesempatan, aku selalu disindir, bahkan dimarahi yang nggak karuan. Pokoknya, sangat menyakitkan hati. Apalagi, pangkal soalnya tak lepas dari bentuk tubuhku ini. Tapi aku mencoba bersabar dan berharap penuh agar orang tuaku tidak mendengar aku kembali ke penampungan. Sebab, jika orang tuaku sampai tahu, pasti aku sudah disuruh pulang dan kerja di tanah air. Sementara, aku tak bisa membayangkan, dengan apa orang tuaku harus menebusku dari penampungan?

Majikan kedua

Hampir setahun aku menunggu proses ulang untuk kembali ke Hong Kong. Kali ini, aku beroleh majikan yang beralamat di Fillaer Garden- Shatin. Sejak berangkat, aku sangat berharap, kegagalanku di masa lalu tidak terulang lagi. Di rumah majikan kedua, aku diberi tugas merawat dua anak dan empat anjing piaraan.

Ketika pertama kali melihatku, aku sebenarnya sudah menangkap kesan, majikan ini juga kurang sreg melihat keadaanku yang bertinggi badan hanya 150 cm serta berat badan sekitar 55 kg. Kekhawatiran ditolak gara-gara fisik membuatku enjoy saja meski digaji di bawah standar.

Namun, sikap enjoy saja rupanya tidak cukup. Dengan alasan tidak ”nyaman” sering-sering melihatku, majikan memaksaku libur delapan kali dalam sebulan. Keputusan sepihak ini tentu saja sangat menyulitkan. Apakah aku mampu? Sisa potongan gaji hanya cukup untuk makan. Untuk beli apa-apa, aku tak pernah bisa. Sementara, mengisi liburan di rumah tidak diizinkan oleh majikan. Lama-lama aku tidak kuat, dan oke saja ketika mereka memintaku mencari majikan baru setelah empat bulan bekerja. Alhasil, aku gagal lagi dan dideportasi ulang.

Beda dengan yang dulu, kali ini aku tidak kelewat terpuruk meski di-PHK majikan. Setidaknya, aku memang harus kuat menghadapi persaingan kerja di luar negeri. Lagian, apa gunanya aku mengeluh karena keadaan dan kegagalan ini. Sejak kecil, aku memang dilahirkan dengan keadaan fisik yang demikian. Mau menuntut ketidakadilan ini, aku juga tidak tahu harus menuntut kepada siapa. Begitulah, kegagalan demi kegagalan justru membuatku lebih kuat dalam menyikapi hidup.

Sama seperti kepulangan yang pertama, aku lebih memilih tidak memberi kabar pada orang tua, yang diam-diam mulai menganggap aku hilang. Bagaimana tidak? Hampir dua tahun aku tak pernah berkabar, baik lewat telepon atau mengirim surat. Sengaja kulakukan itu, agar orang tua tidak tahu permasalahanku. Suatu saat nanti, pasti aku ceritakan semua kepada mereka. Itulah janji hatiku pada saat itu.

Setelah gagal untuk kedua kali, selama di penampungan aku lebih giat belajar bahasa dan tata cara kerja yang baik. Hari-hariku sibuk untuk ikut praktek memasak dan membaca segala macam buku, di samping mendalami ilmu agama. Setidaknya, hal itu harus kulakukan demi menutupi kekuranganku ini. Begitu banyak pengetahuan yang kudapatkan dari kegiatan-kegiatan itu. Dengan sesama teman di penampungan pun aku mulai terbuka dan tidak minder lagi.

Majikan ketiga

Setelah empat bulan menunggu, aku kembali diberangkatkan untuk kali ketiga. Dengan bekal yang kupunya, aku pun merasa lebih siap daripada sebelumnya. Aku setuju, kegagalan bukan akhir dari segala-galanya.

Kali ini, aku ditempatkan bekerja di daerah Sham Shoi Po, merawat empat orang tua jompo yang rata-rata sudah berusia 80 tahun. Mereka adalah dua pasang suami-istri, orang tua kedua majikanku. Di apartemen itu, mereka hanya tinggal berempat, karena majikanku memiliki rumah sendiri yang tidak jauh dari situ. Menurut jadwal kerja yang kuterima dari agen, tugasku hanya merawat empat lansia itu. Mulai dari mengajak jalan-jalan di taman tiap pagi dan sore, memasak, dan membantu memandikan mereka yang rata-rata sudah berkurang pendengarannya itu.

Pembaca… Betapa terharu dan gelinya aku saat pertama kali menginjakkan kaki di tempat kerja baruku ini. Empat orang tua jompo duduk melingkar di ruang tamu, seperti murid yang sedang menerima pelajaran. Ada yang memakai kacamata berbingkai cokelat agak tebal sambil mengambar. Ada yang sedang melipat-lipat kertas, membuat perahu-perahuan. Dan, ada juga yang asyik makan biskuit.

Melihat aku masuk dengan kedua majikanku, mereka bebarengan menatap ke arahku, lalu tersenyum manis padaku. Entah mengapa, perasaanku saat itu begitu tenang dan damai. Meski keringat membanjiri tubuhku, jiwaku terasa begitu sejuk. Ini tak lain karena sikap mereka yang tampak bersahabat.

Kian hari kian terasa betapa besar perhatian mereka kepadaku. Aku bebas melakukan apa saja asal pekerjaanku sudah beres. Praktis tidak ada yang sulit menghadapi empat orang tua ini. Padahal, biasanya, yang namanya orang tua pasti cerewet dan jahat. Namun hal itu tidak berlaku untuk aku. Justru akulah yang kadang cerewet, meski sebatas untuk hal yang wajar. Misalnya ketika kuminta mandi, mereka bilang sudah mandi. Disuruh makan, katanya tidak lapar. Atau disuruh tidur, katanya tidak perlu ditemani. Siapa yang tidak tertawa atau tidak mangkel menghadapi orang-orang pikun?

Lucunya lagi, jika melihat aku cemberut karena mereka tidak nurut, biasanya mereka akan merayuku. ”Kamu itu manis. Jangan cemberut gitu. Ntar bibirmu tambah memble lho.” Aku pun tertawa lebar. Aku juga tidak memungkiri, mereka menyukai dan menyayangi aku justru karena keadaanku yang dikatakan lucu ini. Oleh mereka, aku terkadang juga dikatakan sebagai ”manusia unik”.

Kini, aku sudah hampir finish kontrak kerja di tempat ini. Gajiku selalu kukirimkan ke kampung halaman. Aku juga tak pernah keluar uang banyak untuk mengisi liburan. Teman-teman yang dulu sering meledeki aku, sekarang sering mentraktir diriku. Bahkan tak jarang memberiku ongkos kendaraan.

Justru sekarang aku yang bingung memutuskan. Empat majikan jompoku terang-terangan memintaku untuk tinggal bersama mereka sampai aku bosan, atau sampai mereka tiada nanti. Memang, rasanya rugi jika aku hanya dua tahun bekerja di tempat ini. Sementara, tahu sendiri, sampai akhirnya memperoleh majikan yang baik, aku sudah melewati serangkaian penderitaan. Namun, kalau aku tidak pulang, kasihan orang tua yang sudah tua. Aku juga takut jika sampai lupa untuk tidak menikah. Kupikir, ini manusiawi. Lha, kalau aku sampai tidak menikah, kapan aku bisa ngrasakke surgane ndonya? Uh...

(Dituturkan Ani kepada Kristina D.S. dari Apakabar)

2 komentar di "TUBUHKU JADI BIANG KEGAGALAN"

Posting Komentar