WANITA DIUJUNG SENJA

Oleh: Kristina Dian S

Selayang pandang, perempuan berusia 44 tahun di depanku itu mirip ibuku. Tinggi kurus, rambutnya keriting sebahu, kulitnya agak gelap. Nafasnya tersengal, matanya berkaca, saat menyapaku disimpang Sai Yeung Choi Street. '' Adik dari Indo, ya?'' aku yang baru pulang belanja mengangguk. Seketika bulu kudukku merinding melihat keadaannya. Kedua lenganya lebam, darah segar mengalir dari sela-sela bibirnya. "Sampeyan kenapa?"buru-buru kuletakkan barang belanjaan di tepi jalan.
Tiba-tiba aku ingat ibuku yang bekerja di Malaysia sebagai pembantu rumah tangga sejak tiga tahun lalu. Setelah bapak meninggal dunia direngut penyakit asma. Apa yang bisa kulakukan jika ibuku mengalami nasib seperti BMI di depanku? berlari dari rumah majikan tanpa uang ditangan, tanpa alas kaki. Dulu, aku sempat menyesali keputusan Ibu. Tapi ibuku memang keras kepala, tak mau peduli betapa aku dan adik adik sangat membutuhkan kasih sayangnya. Di larang berangkat keluar negeri, masih saja nekat. Katanya mencari duit untuk menyekolahkan anak anaknya. Atas kepergian ibu penderitaan yang kualami malah lebih parah dari tidak makan nasi seminggu. Aku dan ketiga adikku jadi terlantar.

Terdorong ingin mengantikan posisi ibu, aku berangkat ke Hong Kong. Harapanku, setelah kelar membayar potongan jasa penyalur, aku meminta ibu kembali ketanah air. Mengurusi dan melimpahi kasih sayang pada adik-adik. Akankah keinginanku kesampaian? Berkali kali ibu mengontak, sejak aku mulai bekerja di rumah majikan, ibu selalu bilang belum ingin pulang. Katanya keluarga majikannya sunguh baik dan teramat perhatian. Tapi benarkah demikian? atau jangan jangan ibu sengaja menutupi penderitaanya dari anak. Karena menginjak bulan kedua aku bekerja di Mong Kok, tak ada lagi komunikasi. Terputus begitu saja. Ibu tak pernah lagi menghubungi anak-anaknya. Ingin menelepon tak tahu nomornya.

''apa yang harus ku lakukan?'tersentak diriku mendengar pertanyaan Bu Minah, seorang BMI yang barusan kabur dari rumah majikan. Melihat genangan air matanya membuatku ingin menangis. Kegugupannya, membuatku ingin memeluknya. Aku tak tega, orang seperti Bu Minah masih ingin bertahan mencari kerjaan di luar negeri. Entah sampai kapan ia akan berhenti merantau, yang katanya telah 14 tahun ia jalani. Dari majikan satu kemajikan yang lain. Dari negara satu kenegara yang lain. Sedikitpun tak ada gurat lelah terpancar dari wajahnya pada saat itu. Tapi kali ini, begitu tenaganya ingin mengecap nikmat dollar Hong Kong, ia kesandung batu masalah. '' Menenangkan diri langkah terbaik sebelum Bu Minah mengambil tindakan lain. Setelah agak tenang, barulah ke kantor polisi''saranku sambil menatap wajah dan lagaknya yang mirip ibuku. "Makasih ya, dik''

Belum sempat kakiku beranjak, Bu Minah yang rambutnya masih acak-acakan, memegang lenganku. "Setelah itu aku harus pergi kemana?'' Kuanggap pertanyaan konyol. Bagaimana mungkin Bu Minah yang katanya sudah malang melintang menjual jasa di luar negeri belum tahu ''jalan''. "Ke agen, dong'' jawabku sekenanya saja. Bola matanya berputar, keningnya berkerut.
"Aku tak yakin agen mau membantuku. Sedikitpun mereka tak mau mendengar penjelasanku. Bagaimana mungkin aku tertarik kembali ke agen?'' Ku garuk kepalaku yang tidak gatal.
"Bagaimana kalau Bu Minah langsung ke Konsulat?''mendengar pertanyaanku, lagi, lagi Bu Minah menunduk.
" Aku ragu lari kesana, aku ragu, apakah konsulat akan membantu ku dengan seadil adilnya?'' matanya kembali menerawang. Aku jadi jengkel, kedua saran yang ku sodorkan semua di sambut dengan keraguan. Aku tidak mengerti apa yang di inginkan. Aku tak tahu apa yang dimaui Bu Minah. Dan aku jadi lesu mendengar keraguannya. Sementara, aku mulai resah sudah waktunya pulang kerumah. Bagaimanapun, aku lebih memberatkan pekerjaanku ketimbang menemani BMI yang butuh pertolongan itu.
'' Kira- kira Bu Minah mau kemana nih?'' Aku yang masih potongan 5 bulan terpaksa mengulang pertanyaan.
" Belum tahu, dik"
"Saya sudah harus pulang, Bu. Sejam lagi waktunya menjemput anak''. Di simpan jalan itu ku tinggalkan Bu Minah dalam keadaan terombang-ambing.

Pukul 3 sore, aku turun dari rumah menuju gerbang Fortune Building. Sesampai di halaman apartemen kulihat Bu Minah duduk dikursi pos satpam sambil memainkan pikiranya. '' Bu Minah ngapain disini?'' ia tersenyum memamerkan gowangnya. '' Aku mengikuti dan menunggu dik Lina disini. Sambil mikir hendak kemana mencari perlindungan''. Sebel aku jadinya. Menghadapi masalah bukanya cepat di urus malah dibiarkan berlarut-larut. Dengan berat hati aku mengajaknya mencari tempat duduk didekat penurunan bus sekolah.
'' Guruku di PT emang benar. Bahasa kantonish salah satu modal utama bekerja di Hong Kong. Tak bisa bahasa, sama saja gak bisa bekerja. Waktu itu, aku menganggap enteng soal bahasa. Bukanya sombong, aku bisa bahasa mandarin, arab dan bahasa ingris meski just litlle bite. Aku isa ngomonge tapi ora isa nulise. Kupikir itu sudah bisa menjadi modal komunikasi dengan majikanku yang asli Chino Hong Kong. Eh, ndak tahunya....''baru mulai berkisah anak asuhku keburu datang. "kalau ada apa-apa bisa kontak saya'' kuberikan nomor telepon majikan.
'' Saya gak rela kalau Bu Minah pergi ketempat lain selain ke agen atau konsulat. Percayalah! mereka pasti membantu dan mengatasi masalah yang sedang Ibu hadapi'' sambungku sebelum berlari meninggalkanya.

Meski bahasa kantonisku pas-pasan dan baru pertama kali bekerja keluar negeri, tapi aku sangat disayangi majikan. Cuma sayangnya aku belum dikasih libur selama aku masih membayar potongan agen yang kurang dua kali pembayaran. Ada rasa tertekan memang tanpa ada celah melepas lelah bersama teman teman. Apalagi jika hari minggu bertepatan dengan tugasku mengelap jendela kamar majikan. Bisaku hanya berangan, berandai -andai, bertanya dalam hati: kapan aku bisa seperti mereka?
"Ling....... ada telepon mencarimu.....''teriakan nyonya dari kamar sebelah pada pukul 10 malam, ketika aku arep mapan turu.
'' Terima kasih, Nyah''aku beranjak keruang tamu, mengambil telepon yang juga tersambung di kamar majikan.
" Lina,ya?''aku diam sejenak mencoba mengingat-ingat suara asing di telingga. Tapi tetap saja, suara itu bukan suara Meli teman PT, bukan Wina tetangga apartemen yang sering meneleponku.
" Iya. Siapa ya?''
" Anu Lin. Aku I'is temanya Bu Minah.''suara kecil melengking itu terdengar gugup. Hampir mirip dengan kegugupan Bu Minah tiga hari lalu.
" Ada apa, ce?''
" Saya diminta Bu Minah menyampaikan pesan ke sampeyan. Bu Minah minta di bezuk, ia masuk rumah sakit tadi sore."
" Kenapa? Bu Minah sakit?''tak bisa lagi ku kekang perasaanku yang tiba tiba kalut dan binggung.
"Anu, Lin..."menyebalkan! setiap kali memulai bicara memakai kata anu. Pertanda ia ragu menyampaikan sesuatu.
''Saya gak tahu bagaimana awal kejadianya. Kata teman-teman sewaktu saya si kung, Bu Minah didatangi polisi dikantor agen. Bu Minah di tuduh membunuh nenek asuhnya. Karena nenek tua itu meninggal bertepatan dengan Bu Minah minggat dari rumah majikan''
" Astaga!. Lho katanya masuk rumah sakit. Apa ditembak polisi?''suara diseberang sana tertawa.
'' Bukan. Agen melemparkan kursi kayu ke badan Bu Binah. Kepalanya berdarah, dan katanya ia pusing melulu. Sama agen di antar langsung ke Rumah sakit terdekat''antara percaya dan tidak aku mendengar cerita tentang Bu Minah.
'' Masalahnya apa, ce?''
" Sepulang dari kantor polisi, Bu Minah gak mau ngaku telah membunuh neneknya. Ia memang ngaku sebelum kabur, Bu Minah sempat memberi lima buah kelengkeng ke nenek asuhnya. Tapi ia gak sempat mengupas dan membuang biji buah kesukaan nenek asuhnya itu. Katanya sih, neneknya meninggal karena kesedak biji buah itu''
'' Ya ampun sampai segitunya. Tindakan agen apa sudah dilaporin kepolisi?''
" Belum. Soale sama agen langsung dibawa ke rumah sakit. Tolong ya, Lina temuin Bu Minah di rumah sakit. Bu Minah ingin bertemu sampeyan"
"Akan ku usahakan''. Aku memang baru sekali bertemu dengan wanita kurus itu. Tapi wajah dan gayanya takkan pernah ku lupa. Seolah telah bertahun - tahun aku bersamanya. Medengarnya masuk rumah sakit, aku jadi tak tenang. Aku binggung bagaimana cara minta izin pada majikan. Karena aku tahu pasti, majikanku tak kan megizinkan. Wong cuma ngambil KTP ke imigrasi, atau ke agen saja aku dikawal nyonya.

Ku lirik jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kiriku. Jarum pendek menunjuk angka 11.00. Sambil membawa keranjang belanjaan, aku hanya keliling pasar. Ingin mencari ikan dan sayur hanya muter muter doang. aku binggung, antara menemui Bu Minah ataukah aku belanja dan langsung pulang ke rumah. Akhirnya kuputuskan menemui Bu Minah. Rambut cepakku terasa dingin oleh hembusan angin. Setelah menyetop bus mini aku naik ke jurusan Rumah sakit dimana Bu Minah di rawat. Cuma bodohnya aku, setelah turun di terminal bus, aku tidak tahu jalan menuju rumah sakit. Nomor telepon agenya tak ku bawa. Bertanya kesana kemari, aku malah nyasar. Ketika bertemu dengan sesama BMI, aku minta ditunjukan RSU yang akan ku tuju. Parahnya, aku tak tahu di ruangan mana ia di rawat. Bertanya pada fihak RSU pakai bahasa ingris, mereka malah tak faham dengan yang aku katakan. Pakai bahasa kanton, rupanya bahasaku masih belepotan. Mereka tak mengerti dan aku kecewa. Akhirnya aku pulang kerumah.

Sehari dua hari kusimpan rasa kecewa di dada. Perasaanku semakin kalut jadinya. Aku ingin bertemu Bu Minah. Di telepon ke agennya, si agen berusaha tutup mulut meski aku sudah mengaku satu satunya keluarga Bu Minah. Aku semakin yakin ada apa apa dibalik ini semua. Bahkan keberadaan Bu Minah juga di sembunyikan dariku. Seminggu sudah aku tak lagi mendeng kabar soal Bu Minah. Namun tiba-tiba di siang hari bolong aku mendapat informasi dari seorang laki-laki yang mengaku dari badan bantuan hukum ketenaga kerjaan. '' Saya tidak bisa mengatakan banyak, lebih baik anda datang kemari karena cuma nama anda yang dipanggil panggil''aku terkesiap. Kenapa aku yang dicari cari Bu Minah? bukankah ia memiliki keluarga, atau barangkali teman se- PT?. Rasa penasaran ingin menguak siapa sebenarnya Bu Minah semakin menjadi-jadi. Dari awal aku sudah menduga, di gerbang senja itu adalah ibuku. Gerak langkahnya, nada bicaranya, juga bodinya. Hanya sedikit yang berubah. Kulit wajahnya!
" Saya segera kesana''aku bergegas pergi setelah meletakkan telepon majikan yang bebas kupakai.

Shalter Yaumatei hanya 200 langkah dari tempat kerjaku. Kebetulan pula tempat itu tak jauh dari pasar besar tempat biasa aku berbelanja. Kutekan tombol 20 dengan perasaan tak menentu. Ada rindu, ada haru, ada khawatir memenuhi rongga dadaku. Aku sampai gemetar sama persis ketika kakak kelasku bilang cinta 2 tahun lalu. Didepan apartemen, ku tarik kembali tangaku yang hampir saja menekan bel. Dari luar, terdengar suara gaduh, pekikan, jeritan bahkan suara alunan ayat-ayat suci. Tak seberapa lama ruangan itu sunyi sepi. Tak terdengar suara apapun dari dalam. "Asu!''aku terkejut bukan alang kepalang. Tiba tiba saja suara itu muncul dari kesunyian disaat telinggaku sedang nempel dipintu. Samar, aku mengenali suara itu. Suara perempuan teraniaya yang belum sempat menuntut kasusnya. "Bu Minah...'' Seketika ku tekan tombol apartemen. Ya Tuhan!

Semerbak bau balsem menusuk hidungku memasuki gedung penampungan sementara. 15 orang berkerudung khusuk membaca Yassin di sudut ruangan. Terbaring lemah tubuh Bu Minah di atas tikar dikelilingi kawan kawanya. Wajahnya seperti kapas. Bibirnya pucat pasi. Tangan dan kakinya sedingin es. Tatapanya nanar memandang kosong langit langit ruangan. Semakin jelas hilang hasratnya bertahan hidup. Ia pasrah tiada daya. Lemah, lemas.
"Bu Minah...''panggilku sambil memegang jari jemarinya. Berkali kali ku panggil di dekat telingganya pun ia seperti orang tuli. Hatiku trenyuh melihat keadaanya. Ku pandagi dari ujung kaki hingga ujung rambutnya yang sebagian memutih. Dan, selimut itu, membuatku semakin takut. Hampir mirip dengan selimut ibuku. Selendang batik peninggalan nenek. Apakah Bu Minah itu ibuku? tapi kenapa tak ada tahi lalat dipipi kirinya. Apakah ibuku operasi plastik? tapi dari mana ibuku dapat uang segitu banyaknya? Dan jika benar, ia ibuku, dimana ketegaran dan ketegasan yang ibu miliki?
"Ibu.....''tanpa sadar kupanggil nama ibuku. Perempuan dihadapanku itu tiba-tiba duduk dan menyibakkan kain selimutnya. Bola matanya lekat menatapku. Matanya teduh yang lama kelamaan berubah merah. Sangar! Seolah ia ingin menerkam dan melumat tubuhku. Aku takut. Entah siapa yang menarik tubuhku dari belakang, yang pasti tubuhku tlah keluar dari kerumunan orang orang yang mengelilingi Bu Minah. "Dasar anak tidak tahu diri. Di suruh sekolah malah menghamili anak orang. Mbok sing ngerti Opo'o Le."makian itu membuat linangan air mata orang orang yang mendengarnya. Ia gusar. Ia marah. Tapi perasaan tertekan itu hanya disimpanya seorang diri. Kerja di luar negeri mendapat penganiayaan dari majikan dan agen. Dapat tuduhan pula. Dalam waktu yang bersamaan anak keduanya mengabarkan si bungsu menghamili teman sekolah.
Aku bernafas lega dengan ratapan Bu Minah. Ya, setidaknya ia bukanlah ibu kandungku. Karena saudaraku semua berjenis kelamin perempuan. Tapi satu penyesalan tiada habisnya mengerogoti jiwaku. Ku salahkan diriku, kenapa memaksa Bu Minah lari ke agennya. Jika lari ketempat lain, barangkali nasib BU Minah tak sampai depresi. Kini mental Bu Minah terlanjur dwon. Apa yang bisa kulakukan untuk menolongnya. Dan bagaiman menebus rasa bersalahku ini?Ku pejamkan mata rapat menahan air mata yang semakin sulit kubendung. Sekilas kulirik keadaan Bu Minah sebelum meninggalkan bouilding house khusus BMI berkasus. Ia mulai teriak menyebut asma allah, semakin lama semakin lirih yang kemudian di susul dengan tawa.
Sekeluar dari gerbang Yau Ma Tei, aku berlari kencang menerobos jalanan. Waktuku sudah mepet, sepuluh menit lagi anakku tiba di halte penjemputan. Tak peduli sendal jepit putus di tengah-tengah jalan, aku berlari dan berlari. Tanpa menuju rumah aku langsung ketempat penjemput. Semenit dua menit, belum juga datang. Di tunggu hampir 30 menit, bus sekolah tak juga nonggol. Akhirnya aku naik ke rumah berencana menelepon majikan memberitahukan soal Ervan yang belum pulang sekolah. Belum sempat membuka pintu apartemen, tuan yang menandatangi kontrak kerjaku telah berdiri di depan pintu. Sial! Aliran darahku seolah tersumbat seketika. Terpucat pasi aku dihadapan tuan dan anak asuh yang memakai baju tebal.
"Maaf tuan''kataku lirih sambil berdiri tegak seperti latihan baris berbaris.
'' Dari mana?''tanya majikan laki lakiku yang masih pakai seragam polisinya. Aku hanya diam seperti duduk di kursi pesakitan. Ku pandang jari jari kaki mencari sebuah alasan, but no reason. " Bereskan bajumu dan silahkan kembali ke agen''. Wajahku memerah ingin menangis, tapi aku tetap mencoba memberi seuntai senyum pada majikan. Tak seberapa lama aku tertawa ngakak seperti Bu Minah! '' Terima kasih aku di PHK''. Gendeng!

Mong Kok, 27 mei 2007



9 komentar di "WANITA DIUJUNG SENJA"

Posting Komentar