MENOLAK DIGAULI AKU DIDEPORTASI

'"Pagi sekitar pukul 07.10, samar aku mendengar bisikan dan terasa ada tangan lembut menyentuh pipiku. Mulanya kuabaikan, tetapi lama-lama kesadaranku pulih. Seketika aku berteriak saking kagetnya. Benar saja, kakek berdiri di depanku dengan wajah cengengesan. Aku pun mengumpat memarahi kakek. Tak lama, seluruh anggota keluarga datang ke kamarku.
Kalau saja aku mau melayani kemauan bapak majikan, mungkin nasibku tak sampai seperti ini. Dipaksa, difitnah, sampai akhirnya kontak kerja diputus majikan. Parahnya, majikan langsung mengantarkan aku ke bandara."

Baru setahun aku bekerja di Flat 5/ F Blok A, Homantin. Aku bekerja pada sebuah keluarga dengan lima anggota. Mereka adalah sepasang suami-istri, satu orang anak, dan orangtua majikan. Mereka sangat baik dan perhatian kepadaku, yang sebelum ini pernah bekerja di Singapura. Apalagi pada musim dingin seperti sekarang, nenek suka memanjakan aku dengan membelikan baju-baju hangat di pasar. Meski baju-baju tersebut tidak baru alias bekas pakai, dan tentu saja harganya relatif murah, aku sangat berterima kasih kepada nenek.
Ups, tentu saja tidak hanya nenek. Nyonyaku juga suka membelikan aku baju atau krim tangan, supaya tanganku tidak membengkak akibat ”serangan” musim dingin. Ya, musim dingin tahun lalu, kali pertama aku bekerja di rumah itu. Mereka tampak masih cuek terhadap kehadiranku. Berbeda dengan tahun ini, perhatian mereka jauh lebih besar. Mungkin mereka mulai merasa cocok melihat aku sudah bisa beradaptasi dengan anggota keluarga.

Anak asuhku seorang remaja pria berusia 16 tahun. Ia penurut dan tidak suka mengadu pada majikan, meskipun aku sering berbuat kesalahan. Misal, keliru menyiapkan seragam sekolah maupun telat membangunkan. Begitu juga dengan nenek, yang sehari-hari lebih banyak diisi dengan duduk di atas kursi roda. Ia tak banyak omong, bicara ala kadarnya. Mungkin karena itulah, kedua majikan menilaiku baik. Suasana kekeluargaan yang sungguh menentramkan hati.

Namun seiring guliran waktu, keharmonisan keluarga majikan yang pernah kunikmati tiba-tiba lenyap ketika masa kerjaku menginjak satu tahun. Tidak tanggung-tanggung, aku dipulangkan majikan tanpa pemberitahuan. Hal ini sama sekali di luar dugaan. Bahkan, tak pernah sekalipun terlintas dalam benak, aku bakal dideportasi majikan secara mendadak. Itu semua jika mengingat kedekatanku dengan majikan selama ini.

Toh, aku tidak bisa mengelak dari keharusan pergi meninggalkan Hong Kong, Januari 2008. Jujur, tiga hari sebelum majikan menyuruhku pulang, aku memang sempat bertengkar hebat dengan kakek. Pertengkaran itu sempat dilerai oleh nenek, yang notabene mulai berkurang pendengarannya.

Meskipun melerai, nenak sejatinya tidak tahu ada persoalan apa antara aku dengan kakek – suaminya. Sepengetahuan nenek, aku telah membantah omongan kakek, yang akhirnya menyuruhku pergi dari rumah itu. Aku tidak bisa menyalahkan nenek, kalau pada akhirnya nenek mengadukan apa yang ia lihat kepada nyonya dan tuan.

Celaka... Kakek sungguh keterlaluan telah memberikan cerita palsu. Kepada anaknya, kakek bilang aku telah melawan. Tidak mau diperintah dan suka marah-marah. Harus kuakui, saat itu aku memang melawan, membantah, dan menolak perintah kakek. Lha, bagaimana mau kuturuti? Wong, kakek menyuruhku membuka baju dan meminta dilayani layaknya pasangan suami istri.

Kakek asuhku memang sudah lanjut tua, meski aku tak tahu persis berapa umurnya. Sekalipun sudah uzur, kakek tak pernah pakai tongkat. Barangkali karena setiap pagi dan sore ia rutin pergi jogging, sehingga badannya jadi kelihatan sehat.

Gelagat kalau si kakek ada ”maksud-maksud tertentu”, sebenarnya sudah kutangkap sejak jauh-jauh hari. Kalau tak salah, menginjak bulan kedua aku bekerja di rumah itu. Masih kuingat, hari itu kakek menyuruhku mencari mokan cai di lemari bajunya. Tetapi kucari-cari di lipatan baju-bajunya, handuk kecil itu tak juga ketemu. Kemudian, kakek menyuruh aku mencari di kardus baju yang ditaruh di bawah kolong tempat tidur. Nah, ketika lagi membungkuk inilah, kakek memeluk aku dari belakang. Aku spontan berteriak, meski hanya didengar oleh bising kendaraan jalan raya. Sejak itu, aku diburu rasa ketakutan.

Sikap ”genit” kakek sempat agak berkurang dari waktu ke waktu. Paling banter, sekadar memandang dengan tatapan nakal. Selain itu, setiap kali mau tidur, selalu bilang codhao sambil bilang: mou so mun di dekat telingaku. Kuabaikan saja permintaan itu, karena kedua majikanku yang tidur di lantai atas selalu berpesan untuk mengunci pintu.

Kesan di mata keluarga majikan, kakek orang yang baik. Sebab, kepadaku ia tak pernah bicara kasar, keras, apalagi membentak. Meminta tolong sesuatu ia selalu bilang: emkoi, emkoi sae, toche, toche sae. Tetapi, mana keluarganya tahu kalau sikap kakek sebenarnya untuk menutupi hidungnya yang belang.

Terus-terusan dikasih perhatian oleh kakek sungguh risih. Bagaimana tidak, ke manapun aku pergi, selalu diikuti. Aku ke dapur, ia ikutan masuk dapur dengan berbagai alasan. Entah itu mau buat kopi-lah, minum air-lah, atau alasan membantuku memasak. Ketika aku punya jatah menyapu atau mengepel, kakek juga menggunakan berbagai dalih untuk menarik simpatiku. Terkadang, ia malah yang mengambil alih tugas membersihkan rumah. Keluarga majikan senang, tetapi aku yang senep. Soalnya di antara kedekatan itu, tak jarang ia berbuat yang ”menjurus” dan cenderung tak senonoh.

Hampir satu tahun, perselisihan dengan kakek tak diketahui keluarga yang lain. Kami berdua selalu berusaha menyimpannya rapat-rapat. Sebab, aku tak ingin dipulangkan majikan gara-gara itu. Tetapi sial, pertengkaran yang tersimpan rapat itu akhirnya meledak tiga hari sebelum aku resmi di-PHK.

Malam itu, aku kecapean setelah seharian menemani nenek tamaciok di rumah temannya yang sedang berulangtahun. Ngerti sendiri tugas seorang pembantu. Diajak ke rumah temannya, kebagian membantu tuan rumah memasak dan cuci piring. Saking capeknya, sesampai di rumah aku langsung tidur, lagian juga sudah tengah malam. Tuan dan nyonya serta anaknya ada di kamar atas, yang aku sendiri tak tahu apakah mereka sudah tidur. Dari dulu, majikan memang tak mau tahu dengan urusanku di bawah. Nah, waktu itu aku lupa mengunci pintu dan menghidupkan alarm.

Pagi sekitar pukul 07.10, samar aku mendengar bisikan dan terasa ada tangan lembut menyentuh pipiku. Mulanya kuabaikan, tetapi lama-lama kesadaranku pulih. Seketika aku berteriak saking kagetnya. Benar saja, kakek berdiri di depanku dengan wajah cengengesan. Aku pun mengumpat memarahi kakek. Tak lama, seluruh anggota keluarga datang ke kamarku.

Belum sempat aku memberi penjelasan, kakek langsung bilang kalau aku marah gara-gara dibangunkan. Ya, ampun…kakek kok begitu. Kepada mereka aku cuma bilang tuemchi, karena terlambat bangun. Setelah itu aku ke kamar mandi seperti perintah majikan. Sebenarnya sih majikan tidak marah, mereka memaklumi kondisiku yang kurang tidur.

Pukul 09.30, ketika kedua majikan dan anak asuhku sudah pergi dengan aktivitasnya masing-masing, kakek ”kumat” lagi. Ke dapur, ruang tamu, kamar mandi, pokoknya ke mana aku bekerja selalu diikutinya. Hatiku sudah mulai kesel dan jengkel setengah mati. Tetapi apalah daya, melawan kakek bisa-bisa berakibat fatal. Di rumah ini dia ibarat majikan kedua. Namun, karena kakek sudah berani mendorong badanku ke ranjang – ketika aku membersihkan kamar majikan – kemarahanku tak bisa lagi dibendung.

Kudorong badan kakek sampai tersandar di meja tata rias nyonya. Saat itu…rasanya aku sudah begitu berani, tentu saja melawan kakek. Dia mukul, balik kupukul. Dia nendang kakiku, kutendang balik kakinya. Sampai kemudian, kakek mendorong tubuhku keluar dari kamar dan lantai dua itu. Sesampai di lantai bawah pun kakek bersikeras mengusirku keluar dari rumah. Pertengkaran inilah yang kemudian ditangkap nenek dan diceritakan kepada majikanku.

Malam itu, kedua majikan mempertanyakan keributan itu padaku secara langsung, di hadapan kakek dan nenek. Dengan bahasa Kanton campur Inggris, kuceritakan jujur sesuai kenyataan yang ada. Kakek berusaha membela diri, ketika kedua majikanku tampak marah-marah sama kakek. Sampai akhirnya, kakek ngambek masuk kamar dan tak jadi ikut makan bareng. Sikap kedua majikan yang tidak menelan mentah-mentah cerita kakek, wajib kusyukuri. Sesuatu yang kupikir tidak dimiliki oleh majikan lain.

Keesokan harinya, suasana kembali seperti semula, seolah tidak terjadi apa-apa. Hatiku sudah mulai lega, tidak terbelenggu oleh rasa ketakutan yang selama ini setia melingkari hari-hari. Tetapi, apa yang terjadi pada esok lusa? ”Benahi bajumu dan kita ke bandara,” perintah majikanku pada Minggu siang – liburku dua bulan dua kali. Aku masih bingung, belum paham apa maksud majikan. Mau bertanya, aku tak punya keberanian. Aku hanya menurut.

Sesampai di bandara, sesaat setelah dokumen, tiket dan pesangon serta gaji terakhir diberikan majikan, baru aku tahu: aku telah di-PHK. Karena belum ingin pulang ke tanah air, aku memutuskan meninggalkan bandara untuk kembali ke pusat kota Hong Kong, hanya selisih 30 menit dari majikan yang sengaja meninggalkan aku sendirian di bandara. Entah bagaimana caranya, aku tetap hendak merajut impian yang nyaris kandas gara-gara ulah si kakek genit itu. (Dituturkan ”M” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

74 komentar di "MENOLAK DIGAULI AKU DIDEPORTASI"

Posting Komentar