KARENA DIA AKU HIDUP MENJANDA


"Berbagai peristiwa itulah yang seolah-olah memaksaku untuk memutuskan tali perkawinan. Meski, aku sendiri sejatinya ingin terus mempertahankan ikatan itu. Tetapi, setelah kupikir-pikir, apalah gunanya kalau sikap suami terus-terusan begitu? Bukankah hanya akan memicu derita berkepanjangan? Dan...Bukankah menjanda bukan akhir dari segalanya?"


Hidup bersama tak cukup hanya bermodalkan cinta. Karena hidup dengan cinta saja tidak bisa membuat perut kenyang, terlebih aku sudah punya dua anak. Celaka, suamiku malah berulah. Kutinggal mencari duit ke Malaysia, dia berpaling dan menikahi perempuan lain. Padahal, aku dan dia belum resmi bercerai. Pemuda tetangga desaku itu bernama Eduardo, bukan nama sebenarnya. Ia seorang pria yang sangat tampan, sampai-sampai banyak cewek yang naksir padanya. Tetapi, cinta Eduardo kepadaku sungguh luar biasa. Meski kedua orangtuanya melarang, bahkan sempat diungsikan ke Jakarta, ia tetap rajin ngapelin aku – yang hanya seorang anak petani.

Mula-mula, sebagaimana gadis desa pada umumnya, aku gembira sekaligus khawatir. Suka tetapi takut dikagumi, oleh cowok secakep Eduardo. Lama-lama aku berpikir, cinta itu tidak memandang kaya atau miskin, cantik atau jelek. Karena, setiap manusia hakikatnya berhak untuk mencintai dan dicintai. Bukankah Tuhan telah menganugerahi hal itu? Segala macam perbedaan bisa terkikis oleh adanya cinta.
Usiaku masih muda, baru 14 tahun, ketika aku bersedia dinikahi Eduardo. Dari pernikahan itu aku dikaruniai dua putri yang sangat manis dan penurut. Jujur, pernikahan yang dibangun atas dasar saling cinta sungguh amat membahagiakan.
Namun, perjalanan hidup anak manusia tak seorang pun tahu, kecuali Dia yang Esa. Begitu juga yang terjadi pada Eduardo. Kekhawatiranku di masa single dulu belakangan terbukti. Sikap Eduardo, suamiku, mendadak berubah setelah anak-anak tumbuh besar. Tanggung jawabnya terhadap keluarga mulai berkurang.

Sampai-sampai, untuk menghidupkan ”asap dapur” aku terpaksa sampai berutang kepada tetangga kiri-kanan. Padahal, ketika itu aku masih punya utang sekitar Rp 90 juta untuk membangun rumah. Untungnya, para tetangga masih percaya padaku. Entahlah, apa jadinya jika mereka tidak lagi percaya.

Suamiku sebenarnya bukan seorang pengangguran. Ia pekerja yang ulet. Cuma, begitulah nasib seorang pekerja di perusahaan kontraktor (pemborong). Tidak selamanya lancar. Sampai kemudian, aku akhirnya memutuskan menjadi TKW di Malaysia. Jalan pintas itu kuambil untuk mengentaskan problem ekonomi, di samping dipicu oleh perasaan kecewa terhadap perubahan sikap pada suamiku.

Tiga tahun bekerja di negeri jiran, aku sudah bisa melunasi utang-utangku di kampung. Itu sebabnya, selepas kontrak, aku memutuskan pulang.

Sebagai seorang perantau, tidak ada yang membuatku bahagia selain ingin segera pulang ke tanah air dan berkumpul dengan keluarga. Saat itu, anganku begitu indah, membayangkan kebahagiaan yang bakal kutemukan setiba di tanah air. Aku sudah tak sabar ingin lekas bertemu dengan anak dan suamiku tersayang. Tetapi, apa yang kudapatkan sesampai di kampung halaman?

Anganku sirna seketika. Tawaku sontak berubah menjadi air mata. Ternyata, Eduardo telah menikah lagi dengan perempuan asal Jakarta, bahkan punya satu anak laki-laki. Aku geram, karena kenyataannya kami belum bercerai. Coba, wanita mana yang tidak ingin marah, tidak sakit hati jika suami telah berpaling hati?

Tetapi segalanya telah terjadi. Membunuh suami dan perempuan itu, rasanya tidaklah mungkin. Mau tidak mau, aku yang harus berusaha membujuk hatiku untuk mengizinkan suamiku menjadi milik perempuan ayu itu. Bukan apa-apa, aku sendiri masih berat untuk bercerai.

Dorongan untuk memaafkan Eduardo semata-mata karena keberadaan kedua anakku. Tak tega rasanya membiarkan mereka hidup tanpa bapak. Mereka adalah permata hati, lentera dalam kegelapan hati. Seberat apa pun rasa sakit hati karena ulah suami, aku rela menerimanya. Di depan anak-anak aku selalu berusaha tersenyum, meski rasanya amat getir dan pahit.

Satu tahun di kampung halaman, aku memutuskan masuk PT Sinar Insani Barokah (SIB). Hanya berselang tiga bulan, tepatnya 4 Juli 1994, aku diberangkatkan ke Hong Kong dan dipekerjakan di daerah Kowloon. Di negeri Andy Lau ini aku bekerja hingga dua kali masa kontrak (4 tahun).

Aku memutuskan pindah majikan, setelah majikanku sebelumnya tak mau membayar long service (bonus). Kali berikut, aku bekerja di daerah Mong Kok, dan masih bertahan sampai saat ini.

Selama enam tahun, dari kejauhan aku menunggu perubahan sikap Eduardo. Aku ingin dia kembali seperti dulu. Nyatanya, sekian lama aku menghitung hari, ia tak kunjung berubah. Malahan, istrinya yang di Jakarta diabaikan begitu saja. Kabarnya, tak lama setelah dicuekin Eduardo, wanita itu meninggal dunia. Sementara, anak laki-lakinya telah beralih menjadi tanggung jawabku sejak aku pulang dari Malaysia. Berbagai peristiwa itulah yang seolah-olah memaksaku untuk memutuskan tali perkawinan. Meski, aku sendiri sejatinya ingin terus mempertahankan ikatan itu. Tetapi, setelah kupikir-pikir, apalah gunanya kalau sikap suami terus-terusan begitu? Bukankah hanya akan memicu derita berkepanjangan?

Melalui bantuan pengacara, aku dan Eduardo akhirnya resmi bercerai. Seiring dengan itu, semangat hidupku tumbuh kembali. Ya, aku harus menghidupi anak-anak, juga mencicil kredit mobil yang pernah kubeli untuknya.(Dituturkan ”S” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

65 komentar di "KARENA DIA AKU HIDUP MENJANDA"

Posting Komentar