SKANDAL KU DENGAN PAK LURAH

Perselingkuhanku dengan Pak Lurah terjadi begitu saja. Bahkan, sebelum perjumpaan pertama, aku malah takut bertemu dengannya. Takut diusir dari kampung sahabatku, terkait isu di masyarakat yang menilaiku negatif. Namun, Pak Lurah rupanya mau menjadi pelangganku. Siapa sangka, ngobrol dengan orang yang enak diajak bicara membuatku terlena.

Aku seorang pendatang baru di K, kota kabupaten di Jawa Tengah. Di salah satu wilayah kecamatan di kabupaten itu, aku – panggil saja Novi – tinggal bersama teman, setelah kabur dari rumah orangtua yang memaksaku menikah dengan orang yang tidak kucintai. Aku dan Lilik, temanku itu, bekerja sebagai sales barang-barang elektronik yang membuka cabang di kota tersebut.


Sebelum tinggal bersamaku, Lilik cenderung menawarkan produk secara langsung ke instansi atau tempat-tempat yang menjadi target perusahaan. Jadwal kunjungan ke tempat-tempat yang ditentukan perusahaan memang menjadi tugas kami. Namun, perusahaan juga tidak melarang kami menawarkan produk kepada orang-orang yang tidak atau belum masuk dalam daftar perusahaan.

Selain untuk mengembangkan klien yang potensial diprospek, konon, hal itu juga menjadi tugas tambahan bagi sales baru seperti aku. Bukan kebetulan, prestasiku bersama Lilik dan ketiga temanku yang lain sudah tergolong cukup baik. Sehingga, aku mendapat tugas mendidik ”anak-anak” baru.

Suatu hari, setelah mendengar dari Lilik bahwa banyak warga masyarakat dan kantor-kantor di sekitar dusun itu belum diprospek, aku menawarkan diri mencari pelanggan. Sempat aku disepelekan Lilik. Katanya, masyarakat di situ susah diprospek. Selain kurang mampu, juga tak tertarik pada pembelian barang dengan sistem kredit.

Aku hanya tersenyum. Kepada Lilik kukatakan, justru dengan sistem kredit-lah masyarakat akan tertarik untuk membeli barang-barang elektronik. Bukan dengan pembelian tunai. Kelak, perkiraanku terbukti tidak meleset, meskipun ada warga yang harus kudatangi hingga dua-tiga kali. Dalam waktu tiga minggu, 19 pelanggan (kredit dan tunai) mampu kukumpulkan.

Siapa sangka, awal kesuksesanku sebagai seorang sales ternyata jadi omongan. Aku mulai menjadi sorotan warga masyarakat, terlebih para pemudanya. Awalnya aku masih berpikir wajar saja. Tetapi belakangan, aku semakin tertekan. Selentingan kabar negatif – dipicu oleh keseharianku yang sering pulang malam – mulai terdengar di telingaku. Dari keterangan Lilik, akhirnya aku mengerti mengapa ia, yang notabene penduduk asli di dusun itu, justru tak mau memrospek warganya. Itulah alasan pasti dari Lilik: cara pandang masyarakat masih jauh dari harapan.

Kamis malam itu, setelah pulang dari rapat di kantor, aku dibikin kaget setengah mati. Lilik menyampaikan pesan dari kantor kelurahan. Katanya, Jumat pagi besok aku ditunggu Pak Lurah di kantor kelurahan. Jujur saja, aku belum kenal dengan Pak Lurah, meski sudah hampir tiga bulan aku tinggal di rumah Lilik. Untuk laporan sebagai tamu, Lilik hanya mengajakku ke Pak RT. Praktis, aparat-aparat di atasnya tak pernah kukenal. Lagian, kantor kelurahan jaraknya cukup jauh dari rumah Lilik.

Malam itu mataku tak bisa terpejam. Aku resah. Pikiranku membayangkan yang tidak-tidak, jika esok hari aku pergi ke kantor lurah. Jika tak datang, rasanya kok tidak sopan. Kalau saja aku tahu, ada apa gerangan, mungkin malam itu aku tidak mengejar-ngejar Lilik untuk ngasih jawaban. Menjengkelkan, sohibku itu mengaku tidak tahu. Ia malahan menakut-nakuti aku dengan cerita seputar isu di masyarakat. Isu negatif yang sebenarnya tak terbukti kebenarannya.

Sesampai di kelurahan, aku bersyukur bertemu dengan pegawai kelurahan yang beberapa hari lalu memesan kulkas dan sepeda motor untuk anaknya. Dari dia pula aku diberitahu bahwa aku sudah ditunggu Pak Lurah di ruang kerjanya. Hatiku dag-dig-dug tak menentu saat saling memperkenalkan diri, bahkan sampai aku dipersilakan duduk. Laki-laki itu kuperkirakan berusia 42 tahun. Wajahnya sangat teduh dan suka bercanda. Selera humornya yang tinggi lambat laun membuat kegugupanku berkurang. Bahkan, ada niat mengelus dada.

Rupanya, pokok masalah yang beliau sampaikan sama sekali tidak terkait dengan ramainya isu di masyarakat seperti yang kubayangkan sebelumnya. Pak Lurah mengaku tertarik ingin tahu produk-produk dari perusahaanku dan, katanya, ia berminat memesan mobil. Meski perusahaanku juga menawarkan kendaraan roda empat (kerja sama dengan dealer), tetapi prosesnya sudah pasti tidaklah mudah seperti membeli barang-barang lain. Ringkas kisah, sejak hari itu aku jadi sering kontak dan jalan bareng dengan Pak Lurah. Eh, lambat laun, aku menjadi seperti yang diisukan masyarakat daerah itu.

Urusan mobil sudah kelar. Pak Lurah jadi membeli mobil dengan sistem potong gaji bulanan. Namun, urusan pribadiku dengan Pak Lurah tak juga berakhir, malahan semakin menggila. Sebenarnya, aku tak menginginkan hal ini terjadi. Apalagi, aku belum menikah meski usiaku sudah 29 tahun. Tetapi simpatiku pada Pak Lurah cakep itu tak juga berkurang. Jujur, sejak awal bertemu, aku sudah mengagumi Pak Lurah. Aku bersimpati pada orang yang enak diajak bicara. Namun, apa iya aku harus membiarkan diriku terlingkari oleh sesuatu yang tidak kumengerti?

Setiap pulang kerja, yang hanya berjarak 30 menit dari rumah, Pak Lurah selalu menawariku jemputan dengan canda khasnya. Hatiku akan selalu bergembira mendengar nada-nadanya yang indah, meski hanya lewat SMS. Dan entahlah, aku selalu saja tak bisa menolak dan berkata tidak, sekalipun sering aku diajak berlabuh di kamar hotel.

Serapat-rapatnya menyimpan skandal, pasti akan ketahuan, walau kami sudah berusaha menyembunyikan rapat-rapat agar tak diketahui oleh siapa pun. Hubunganku dengan Pak Lurah, yang masih seumur jagung, akhirnya ketahui oleh Bu Lurah. Aku sendiri tak tahu, siapa sumber yang membocorkan informasi itu. Untungnya, Bu Lurah tak sampai mengamuk membabi buta.

Ketika Bu Lurah menemuiku ke kantor, aku dan Lilik sedang membahas jadwal prospek untuk sales baru. Tentu saja Lilik langsung menyambutnya dengan ramah. Berbeda dengan aku yang seolah tak mau tahu, karena memang belum mengenalnya. Tak lama, Lilik dan Bu Lurah mengajakku makan siang di kantin yang tak jauh dari kantor. Aku mengangguk setuju.

Sesampai di rumah makan, di sela-sela menikmati masakan Padang, Bu Lurah mengeluarkan foto-foto adegan mesraku dengan Pak Lurah. Seketika itu juga aku tercekat. Makanan yang telanjur nyangkut di tenggorokan, rasanya tak bisa lagi kutelan. Aku kaget luar biasa. Bagaimana mungkin kemesraanku dengan Pak Lurah dipotret orang tanpa kami tahu siapa yang memotret. Dari mana pula Bu Lurah bisa mendapatkan foto-foto tersebut...

Saat itu, aku tidak bisa lagi mencari jawaban dari pertanyaan hatiku. Wajahku bersemu malu. Aku malu pada diriku, malu pada Lilik, juga pada Bu Lurah yang (untungnya) tidak marah. Perempuan paro baya itu hanya mengingatkan aku dengan kata-kata lembut, meski aku dapat merasakan gejolak perasaannya yang amat terpukul.

Aku tak bisa mengelak. Termasuk ketika Lilik memarahiku habis-habisan, bahkan kemudian menyuruhku pulang ke dusunku sendiri. Aku tak bisa berbuat apa-apa selain minta maaf pada mereka. Aku merasa amat berdosa. Sampai-sampai, hingga saat ini, aku masih sulit memaafkan diriku sendiri.

Kesalahanku memang harus kubayar mahal. Aku telah kehilangan seorang teman baik, juga peluang untuk berkarier sebagai tenaga penjual (sales). Setiba di kampung halaman, aku memutuskan berhenti bekerja. Sampai kemudian, aku memutuskan menjadi buruh migran Indonesia di Hong Kong, sebelum kelak aku menikmati kehidupan berumahtangga.

(Dikisahkan ”N” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

6 komentar di "SKANDAL KU DENGAN PAK LURAH"

Posting Komentar