Jalan Terjal dari Hong Kong ke Taiwan

Jalan hidupku sungguh berliku. Bekerja di tanah sendiri diupah rendah. Berangkat ke luar negeri untuk kali pertama, malah di-terminate. Mencoba peruntungan di negara tujuan kedua, nasibku jauh lebih buruk. Tak dikasih makan dan istirahat, tetapi dipaksa kerja keras. Aku memutuskan lari, eh, malah terjebak. Aku dijual teman ke pemilik bar terselubung di daerah To Yen, Taiwan.

Aku, panggil saja Ninik, bungsu dari dua bersaudara asal Wonosobo, Jawa Tengah. Kakakku yang usianya selisih empat tahun sudah menikah dan tinggal serumah dengan kedua orangtua. Begitu lulus sekolah, aku berangkat ke Karawachi, Tangerang, bekerja sebagai pembantu rumah tangga di rumah sepasang dokter RSU. Di rumah itu aku digaji Rp 150.000/bulan. Memang segitulah umumnya upah pekerja seperti aku. Minimnya upah yang tidak tertulis dalam undang-undang ini membuatku memilih merantau ke Hong Kong, mengikuti jejak teman-teman se-daerah.
Tetapi di negara pertama tujuanku bekerja, nasibku tidak cukup beruntung..
Majikan memperlakukan aku dengan tidak baik, di luar gaji dan hak libur yang tak sesuai prosedur. Sudah begitu, seusai membayar potongan agen selama empat bulan berturut-turut aku di-terminate dengan alasan: tak bisa bekerja. Agenku lepas tangan, dan aku dikembalikan ke tanah air. Sebenarnya, agen menyuruhku kembali ke PT, tetapi aku memilih pulang ke desa.

Sesampai di kampung halaman, aku berjumpa dengan teman-teman yang bekerja di Taiwan. Mereka sedang cuti. Katanya, di negara itu malah lebih baik. Gajinya juga lebih gede jika dibandingkan dengan upah minimum di Hong Kong. Meski sempat ragu dengan keadaan diriku yang sejatinya belum bisa bekerja dengan baik, namun dengan mengucap basmallah aku masuk PT. Memproses ke Taiwan. Beryukur, lima bulan setelah mendapat tempaan pendidikan dan skill, aku diberangkatkan.

Di Taipe, ibu kota Taiwan, aku – yang berangkat melalui PT di daerah Bekasi – dipekerjakan pada majikan pemilik ruko dua tingkat. Setiap hari aku bangun pukul 5 pagi dan tidur pukul 1 dini hari. Tidak setiap hari aku membantu majikan di toko, karena tugas utamaku – sesuai kontrak – adalah merawat lima anak. Dua anak majikan dan tiga balita anak saudara majikan, yang setiap hari dititipkan di rumah. Jika ada waktu senggang, yakni ketika saudara majikan datang, ia menjaga anak-anak asuhanku itu. Barulah aku berangkat ke toko yang berjarak sekitar 150 meter dari rumahPekerjaanku di toko lebih berat ketimbang menjaga lima anak asuh. Di situ aku diperintah membersihkan toko, vacuum cleaner, mengelap barang-barang, juga mengambil dan memindahkan barang-barang di gudang. Pekerjaan inilah yang paling berat, karena barangnya selalu diangkat dengan kardusnya. Artinya, berdos-dos kupanggul dari lantai dasar ke lantai atas, atau sebaliknya.

Majikan tak pernah mau tahu, apakah perutku sudah terisi atau belum. Sehingga badanku sering terasa lemas, selalu berkeringat dingin, bahkan sampai gemetaran. Pernah suatu kali, karena rasa lapar tak tertahankan, aku mengambil jamur kering yang masih mentah. Kumakan. Hanya jamur kering itulah yang bisa aku ambil tanpa sepengetahuan majikan. Dengan keadaanku yang seperti itu, kadang aku tak cekatan bekerja. So, akibatnya majikan marah dan tak segan melayangkan tangan, main pukul dan tampar.

Peraturan kerja di Taiwan sama persis dengan peraturan Hong Kong. Pekerja asing hanya diperkenankan bekerja sesuai dengan yang tertera dalam kontrak kerja. Itu sebabnya, sudah lebih dari dua kali aku ditangkap polisi, gara-gara ketahuan bekerja di toko. Tetapi aku selalu bisa lepas, lantaran majikan bersedia membayar denda. Meski dendanya cukup besar, majikan tak juga jera. Aku tetap disuruh membantu di toko.

Kali ini, tindakan majikan bahkan lebih parah dari sebelumnya. Untuk menghindari petugas, aku diwajibkan bekerja pada tengah malam, sampai aku tak bisa istirahat lebih dari 30 menit. Itu pun aku harus tidur di atas bentangan kardus kosong yang ada di gudang. Ya, tak ubahnya seorang penjaga toko.

Hari-hari pertama aku menginap sendirian di ruko besar itu, aku sering merasa takut. Wajar, takut hantu dan takut ada maling. Terlebih ketika majikan bilang tak boleh menyalakan lampu. Bulu kudukku sering merinding. Tetapi ketika majikan sudah pulang ke rumah, lampu kembali kunyalakan. Sempat aku berpikir, aku ini bukan seorang pekerja yang patuh pada perintah majikan.

Tak tahan dengan kondisi demikian, aku yang tak pernah beroleh libur selama delapan bulan bekerja, memutuskan kabur dari tempat itu. Kebetulan aku punya teman, sesama BMI yang sering belanja di toko. Dia (panggil saja Anis) yang membantuku merencanakan lari dan memberikan tempat tinggal. Di rumahnya pula aku ditampung.

Mula-mula aku belum tahu, Anis bekerja di bar. Belakangan aku tahu, pemilik barlah yang menandatangani kontrak kerjanya. Atas dasar pengalaman pribadinya, Anis – yang mengaku takut visaku habis – membantuku mencari orang yang mau menandatangani kontrak kerjaku. Orang tersebut tidak lain saudara pemilik bar, yang menandatangani kontrak kerja Anis.

Sebelum perjanjian dibuat, laki-laki itu – sebut saja Au Hin – memintaku bekerja di bar kakaknya, sebagaimana temanku, Anis. Aku setuju, karena kupikir hanya bekerja sebaai waiter yang melayani tamu untuk minum atau makan. Sama sekali aku tak keberatan.

Namun, di luar dugaan, setelah aku mulai bekerja pada Au Hin dan pemilik bar, mereka memaksaku untuk juga melayani tamu. Bukan hanya melayani minum, tetapi juga urusan ranjang. Perintah pemilik bar, juga perintah Au Hin yang bekerja sebagai bar tender, kutolak mentah-mentah. Bagaimana pun, aku keberatan melayani tamu. Bukan saja karena masih perawan, juga karena menjadi pekerja seks bukanlah tujuanku berangkat ke luar negeri. Penolakan itu membuatku dikurung dalam kamar oleh pemilik bar. Selama empat hari aku hanya diizinkan keluar kamar untuk urusan kamar mandi. Sesudah itu, pemilik bar berkata kepada saya: tidak mengapa aku menolak melayani tamu, asalkan aku membayar uang sebesar Rp 45 juta (kalau dirupiahkan). Katanya, itu uang tebusan penandatanganan kontrak kerja.

Hati kecilku meraung. Mataku berkaca-kaca. Temanku tadi sengaja menjualku pada pemilik bar. Dari mana aku, yang kini berusia 22 tahun, bisa dapat uang sebanyak itu? Anis sungguh keterlaluan. Parahnya, setelah aku keluar dari kurungan – sesudah terpaksa bilang setuju melayani tamu – Anis tersenyum penuh kemenangan.

Saat itu aku baru menyadari, Anis sengaja menjebakku. Menjadi dewi penolong dengan maksud tertentu. Ketika aku ribut dengan Anis sebelum dikurung karena hal itu, ia hanya bilang: semua sudah telanjur. Eh, dia malah balik marah kepadaku. Katanya, kalau dia tidak menolongku, bisa-bisa aku mati d irumah majikan. Pendeknya, percuma saja aku marah.

Bar yang selalu ramai dikunjungi tamu itu dimiliki oleh seorang laki-laki berbadan kurus. Ada kumisnya, dan selalu rapi dalam penampilan. Aku tak tahu siapa istrinya, meski belakangan aku tahu: ia hidup membujang. Perempuan-perempuan yang bekerja di tempatnya selalu tak keberatan menemani laki-laki yang konon pandai bercinta itu. Hari berikutnya, sebelum aku diizinkan melayani tamu secara umum, aku digilir – antara pemilik bar dan Au Hin – yang rupanya masih saudara kandung.

Mereka selalu bilang, aku masih lugu dan kelihatan segar. Pasti banyak tamu yang berebut untuk kutemani. Artinya, aku bisa mengumpulkan uang banyak dalam waktu singkat. Aku menunduk menahan air mata. Ingin rasanya aku meludahi mukanya. Tetapi saat itu aku menjadi seorang gadis yang penakut. Jangankan melawan, menatap wajah mereka saja aku tak berani.

Apa yang mereka katakan memang benar. Aku bisa mengumpulkan uang dengan cepat. Meski, untuk urusan kos-kosan kini aku yang membayar sendiri. Kurang lebih dua pekan, utangku pada mereka sudah bisa kulunasi. Sebagai kembang meja, aku menjadi anak kesayangan.

Namun, bekerja di bar terselubung memang tak nyaman. Apalagi aku menjadi primadona di bar itu. Ya, aku ditangkap polisi. Kali pertama, polisi itu mengaku ingin berkencan denganku di sebuah hotel dan tidak di kamar kerjaku di tempat itu. Rupanya, aku malah dibawa ke kantor polisi. Aku diinterogasi dan terancam dipulangkan ke tanah air.

Bosku memang kurang ajar. Entah kongkalikong macam apa yang mereka lakukan terhadap nasibku. Meskipun jelas aku memiliki surat kontrak kerja, saudara bosku malah tidak ditangkap, apalagi didenda. Lebih kurang ajar lagi, pendapatan yang kutitipkan pada mereka tidak diberikan kepadaku. Padahal, setelah tiga hari ditahan di kantor polisi, aku akan diterbangkan ke tanah air. Ketika kusampaikan bahwa ada uangku yang dipegang polisi, bosku mengelak, karena tak ada bukti kuintansi. Alhasil, aku pulang ke tanah air tanpa membawa apa-apa.

Karena tak berani pulang kampung, aku pun terpaksa mencari kehidupan di Jakarta setelah keluar dari bandara. Aku tak punya bekal apa-apa selain badanku yang seolah tak beraga ini. Aku bekerja di dunia malam.

Pembaca… Tak ingin terus berkepanjangan menjadi perempuan penghibur, aku lalu memutuskan masuk PT, kembali memproses keberangkatan ke Hong Kong. Meski prosesnya amat sulit, tetapi setelah mengganti biodata aku dapat menatap Hong Kong untuk kali kedua. Kali ini – dengan mengambil pelajaran yang pernah kualami – aku berusaha bekerja dengan baik dan mengambil hati majikan. Mudah-mudahan diriku tidak lagi mengalami nasib di-terminate majikan.

(Dituturkan ”M” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)


5 komentar di "Jalan Terjal dari Hong Kong ke Taiwan"

Posting Komentar