Aku Tetap Divonis Bersalah

Mencari majikan baru setelah kontrak finish, acap menimbulkan kebimbangan. Selain harus beradaptasi di tempat baru, juga takut mendapat majikan baru yang belum tentu sebaik majikan lama. Tapi apa boleh buat jika majikan tak butuh tenaga bantuan lagi. Dian Novitasari, 24 tahun, BMI asal Blitar, punya pengalaman tak nyaman. Berikut penuturannya:

”Bekerja di Hong Kong sungguh mengasyikkan. Itu karena hakku sebagai pekerja dapat kunikmati sebagaimana mestinya. Tetapi itu hanya berlaku setelah aku menyelesaikan kontrak pertama. Dulu, selama dua tahun kontrak pertama, aku harus rela menerima nasib tak nyaman seperti kebanyakan imigran baru lainnya. Gaji bulanan hanya HK$ 1.800, libur sekali sebulan, dan harus membayar potongan selama lima bulan.

Meski demikian, saat itu hatiku luar biasa senang. Dengan gaji segitu dan hak libur yang tidak semestinya, tetap kuanggap sebagai berkah. Coba jika aku tetap bekerja di tanah air, apakah aku bisa mendapat gaji senilai itu? Sebagai gadis dusun yang punya segudang impian, itu bukan masalah bagiku. Yang penting aku sabar dan berusaha tidak melawan majikan. Siapa tahu, majikan bisa berubah pikiran.

Kontrak pertama

Menurutku, majikanku ini sangat baik dan perhatian padaku yang tomboi ini. Tetapi bukan berarti aku tidak pernah kena damprat, yang biasanya terjadi karena kesalahanku sendiri. Baik soal bahasaku yang kurang lancar, kurang pahamnya aku pada masakan, atau kadang aku memang melakukan kesalahan. Majikan mana pun pasti bersikap serupa jika kita kurang cakap berbahasa Kanton dan kurang cekatan dalam bekerja. Pokoknya, hampir sama dengan nasib kawan-kawanku yang baru pertama kali bekerja di Hong Kong.

Selama menyelesaikan masa potongan saja, aku hampir-hampir tidak sanggup. Selalu saja aku melakukan kesalahan dalam bekerja. Memang sih tidak fatal. Tetapi tetap saja aku kena marah majikan. Untungnya, semarah-marahnya majikan, tak pernah sekali pun main tangan. Itu yang membuatku masih bersyukur. Menyadari kelemahanku, juga karena aku tak ingin dipulangkan secara konyol, aku berusaha memperbanyak perbendaharaan bahasa Kanton. Juga, belajar bekerja teratur, cekatan, dan rapi. Awalnya memang hausanfu (capek badan dan pikiran), tapi lama-lama terbiasa juga.

Perjuanganku menghadapi masa kritis akhirnya terlampui. Bukan hanya majikan yang puas dengan hasil kerjaku. Aku sendiri puas dan bangga terhadap keberhasilanku. Ringkasnya, menjelang berakhirnya kontrak pertama, aku berhasil membuat majikan ”jatuh hati”. Aktivitas pekerjaan pun tidak lagi menjadi beban. Bahkan, antara aku dan majikan mulai dekat layaknya keluarga sendiri. Dari situlah aku berpikir keras saat majikan memintaku memperpanjang kontrak.

Terus terang, jika pindah majikan baru, aku takut tak mampu beradaptasi dengan benar. Artinya, aku harus belajar dari nol lagi. Takutnya lagi, majikan baru tak sebaik majikan lama. Namun jika aku bertahan di apartemen itu, artinya aku harus rela menerima gaji di bawah standar dan libur sekali sebulan. Kuakui, setelah setahun di Hong Kong, baru aku tahu tentang ketentuan libur dan peraturan gaji. Itu yang membuatku diselimuti kebimbangan.

Setelah mendengar saran teman-teman, agar tidak salah pilih, aku pun ”naik banding” pada majikan. Kukatakan, aku bersedia menyambung kontrak asalkan majikan memberikan seluruh hakku sebagai pekerja migran. Rupanya, majikanku juga berpikir keras sebelum menanggapi permintaanku.

Seperti alasanku, majikan pun agaknya tak ingin mengambil pekerja baru. Sebab, itu berarti mereka harus mengajari lagi pekerjaan dan peraturan lain yang diberlakukan di rumahnya. Belum lagi kepercayaan majikan kepada pekerja baru, serta butuh waktu cukup lama agar pekerja baru dapat diterima oleh seluruh anggota keluarga.

Akhirnya kami sepakat: aku menambah kontrak kerja dua tahun lagi, setelah majikan setuju memberiku libur dan gaji sesuai ketentuan. Masa kontrak kedua pun menjadi terasa singkat dan tanpa kusadari. Jika anak-anak asuhku belum mandiri dan bisa mengurus diri sendiri, mungkin aku akan memohon kepada majikan untuk melanjutkan kontrak. Aku sudah betah bekerja di tempat itu. Tapi apa daya, majikan sudah tidak memerlukan tenaga bantuan. Dengan berat hati, aku meninggalkan rumah majikan setelah menyelesaikan dua kontrak kerja dalam waktu empat tahun.

Penantian sia-sia

Karena belum siap pulang ke tanah air, juga karena masih betah kerja di Hong Kong, aku berusaha kembali ke agen dan mencari majikan baru. Bersyukur, tak lama aku mendapatkan majikan baru yang bekerja sebagai dokter bedah operasi di RSU Queen Elizabeth. Usai menandatangani kontrak, aku diminta menunggu visa di Macau.

Selama masa penantian, aku sebenarnya tidak tenang dan khawatir hanya dipermainkan majikan. Apalagi, hampir tiga bulan menunggu, tak juga aku diambil. Visaku pun tak kunjung turun. Beberapa kali aku menghubungi agen, jawabannya selalu sama. Disuruh bersabar dan bersabar.

Genap empat bulan di Macau, barulah visaku turun. Majikan memintaku bekerja di rumahnya. Merawat tiga anak asuh dan membersihkan dua rumah – rumah baru dan rumah lama. Soal pekerjaan, buatku tak ada masalah. Walau peraturan bekerja jauh berbeda dengan tempat kerja yang lama, tetapi tak mengapa. Setidaknya, nyonyaku sangat baik, begitu juga ketiga anak asuhku.

Masalah justru timbul dari ketidaksukaan tuan terhadap diriku. Tuanku ini sangat cerewet. Sebentar-sebentar marah. Salah sedikit, marah. Aku jadi serba salah dan merasa tidak cocok dengannya. Pernah aku disuruh duduk sambil ”diceramahi” tuan hingga 2-3 jam. Kupikir masih okelah, asal tidak keterlaluan.

Pernah juga, ketika aku sedang masak, tuanku masuk ke dapur. Bodohnya aku… Gara-gara melihat tuan masuk dapur, aku jadi grogi dan takut berbuat salah. Itu membuat aku tidak konsen masak dan tidak sesuai prosedur yang selama ini aku anut. Akibatnya, aku kembali kena amukan.

Sungguh, apa pun perlakuan majikan, aku tetap mencoba bersabar. Seperti ketika pertama kali aku bekerja di Hong Kong, saat usiaku 20 tahun. Tetapi, belakangan terbukti: pengalaman bekerja ternyata bukan jaminan aku dipertahankan. Baru sebulan aku bekerja di tempat itu, aku dideportasi secara sepihak. Sialnya, kepulanganku ke rumah agen langsung disambut dengan amukan staf di sana. Sedikit pun tak memberiku kesempatan untuk menjelaskan. Aku tetap divonis bersalah!

Siapa pun pasti tak betah diperlakukan agen seperti itu. Apalagi, sengaja membiarkan diriku terkatung-katung setelah pendeportasian majikan. Tak ada jalan lain, aku kemudian lari dari agen dan minta bantuan serta naungan di shelter Kotkiho. Atas masukan dan arahan dari mereka, akhirnya aku berani menuntut hakku kepada majikan. Mulai dari uang notis, gaji, dan uang tiket. Langsung, apa yang kuminta dituruti, meski tidak sebesar harapan.

Kini, dengan uang di tangan, aku ingin pulang bertemu keluarga di tanah air. Tapi aku tidak menyerah. Aku masih ingin kembali ke Hong Kong. Mudah-mudahan, aku masih dapat bersenda-gurau dengan teman-temanku di Taman Victory. Ya, cita-citaku belum kesampaian.

1 komentar:

Posting Komentar