NASIB HESTI PRIANITA TIANA

Sampai sekarang, Hesti Prianita Tiana masih tak percaya bisa terlepas dari kekerasan fisik majikannya. Senyum manisnya pun masih terkesan dipaksakan saat berbincang dengan penulis di shelter KotkihoBerikut penuturan gadis 22 tahun asal Banyuwangi itu seputar kenyataan pahit yang ia alami sebagai BMI di Hong Kong..
Sungguh tak terbayangkan, betapa sulitnya kerja ikut orang, apalagi di luar negeri. Untuk ukuran usiaku ketika itu (18 tahun), meninggalkan keluarga di tanah air adalah cobaan yang amat berat. Tetapi, bekerja di luar negeri memang sudah menjadi pilihan, lantaran pengalamanku bekerja di tanah air sama sekali ”tidak menjanjikan”. Dengan membawa cita-cita memperluas usaha ibu di bidang konveksi (jahit menjahit) di desa asalku: Celuring, Banyuwangi, aku pun berangkat ke Singapura.

Di negeri tetangga itu, aku bekerja di bukit timah Green View Creasen No. 9, dengan gaji hanya Rp 1,5 juta per bulan. Soal gajiku, tak apalah... Toh, aku memang belum pernah bekerja ke luar negeri. Gaji segitu pun sudah kuanggap cukup besar. Namun, aku langsung terpikat ketika mendengar gaji di Hong Kong ternyata lebih besar. Sehingga, usai menjalani kontrak kerja dua tahun di Singapura, aku pun langsung memilih Hong Kong.

Melalui PT Bangun Sari - Pasuruan, aku pun diberangkatkan ke Hong Kong dan ditempatkan di daerah Savana Garden, Taipo, NT. Tugasku merawat tiga anak, enam kucing, dan membersihkan tiga apartemen sekaligus. Setiap ruang apartemen berukuran 1475 square. Dapat dibayangkan, betapa lelah dan capeknya.... Belum lagi, pekerjaan rutin mencuci tiga mobil setiap hari.

Agenda harianku dengan sendirinya amat-sangat padat. Tidak masalah. Seberat apa pun pekerjaan, pasti kulakukan dengan suka cita manakala majikanku bersikap baik. Tidak suka main tangan dan memaki tanpa aturan. Namun, dambaanku itu ternyata tidak menjadi kenyataan. Selama sebulan di rumah itu, praktis tiada hari bagiku tanpa pontang-panting mengurus kerjaan – agar selalu tepat waktu – dengan pengawasan ketat dari majikan.

Majikanku kejam

Karena hanya tuanku yang bekerja, nyonyaku – usianya 35 tahun – tiap hari di rumah. Tiap hari kumpul dengan nyonya, membuat setiap pekerjaanku selalu dinilai kurang benar. Padahal, aku sudah berusaha dengan seluruh kemampuan agar hasil kerjaku tak mengecewakan. Namun, tak sedikit pun nyonya memberi kebebasan kepadaku. Bayangkan, untuk urusan ke kamar mandi saja aku harus minta izin terlebih dahulu. Istirahat barang sejenak, juga dilarang. Praktis, aku hanya bisa duduk ketika sedang makan.

Terkadang, aku merasa tak sanggup bekerja di tempat itu. Aku pun kadang iri dengan teman-temanku yang masih bisa duduk, tidur-tiduran, dan telepon-teleponan. Ya, mungkin memang begitulah takdir yang harus aku terima. Caci-maki selalu kudengar, hingga terkadang membobol kesabaranku untuk memahami kemauan majikan.

Masih kuingat, saat itu 26 November 2005...aku mengalami perlakuan yang menyakitkan, melebihi hari-hari yang sudah lewat. Saat itu, usai makan siang, aku mencuci piring di dapur. Tiba-tiba, nyonya masuk ke dapur, menegurku soal kerjaan yang dianggap kurang benar. Karena sedang mencuci piring, aku hanya merespon dengan permintaan maaf. Bukankah, seperti pesan agen, hanya itu yang bisa kulakukan? Salah atau benar, pekerja seperti aku tetap dianggap salah.

Itu juga yang kualami. Hanya karena waktu itu aku menjawab tidak dengan memandang wajahnya, nyonya seketika marah-marah. Aku dikatakan orang dungu, bego, dan tidak mengerti aturan. Toh, sampai sejauh itu, aku masih diam, mendengarkan amarahnya sampai ia merasa puas. Kupikir, itu sudah cukup. Ternyata tidak. Aku diam, nyonya bertambah marah. Aku jawab, nyonya semakin brutal. Mengataiku macam-macam.

Saat itu aku bingung, bagaimana cara meredakan amarah majikan. Kuakui, aku kehabisan cara. Aku memilih diam, sebatas mendengarkan apa pun perkataan majikan. Amarah nyonya pun memuncak. Ia menonjoki dadaku beberapa kali, hingga aku sulit bernapas. Majikan tak mau tahu, dan tetap menyuruhku terus bekerja hingga larut malam. Esok paginya, dadaku masih sakit, tapi aku biarkan dan kembali bergelut dengan tugas-tugas rutin.

Kali lain, aku membersihkan toilet yang lumayan luas. Selama di kamar mandi, aku tak berpikir akan mengalami nasib mengenaskan di sini. Seperti kemarin, saat aku mencuci bak mandi, nyonya masuk dan mengingatkan pekerjaan lain yang harus kukerjakan. Aku hanya mengangguk, tanpa memandang wajah nyonya.

Lha dalah…cuma karena masalah kecil itu, aku dianggap tak punya sopan santun dan etika berbicara dengan orang. Kejadian kemarin pun kembali terulang. Nyonya menonjok dada dan memukuliku. Karena tak tahan, sekitar pukul 3 sore (29/11/05), aku nekat melarikan diri dari ”neraka” itu. Terus terang, saat itu dadaku benar-benar panas luar biasa. Untuk bernapas saja sulitnya bukan main.

Mencari pertolongan

Untuk menyelamatkan diri dari tekanan, aku langsung menuju rumah sakit di Taipo Kao. Di situlah aku sedikit beroleh pertolongan, meski aku sempat terperanjat melihat hasil ronsen yang menyatakan: dadaku memar. Aku tak tahu apa yang akan atau sudah dilakukan majikanku, mengetahui aku lari. Aku juga tak peduli, dia melaporkan aku ke polisi atau ke agen. Yang kupikirkan, aku tidak akan pernah kembali ke apartemen itu.

Setelah keluar dari rumah sakit, aku langsung ke agen. Namun, nasibku ternyata lebih apes lagi. Pasalnya, agen justru lepas tangan dan tak mau tahu. Agen bahkan memaksaku untuk kembali ke rumah majikan. Ketika itu, aku benar-benar kalut dan tak tahu ke mana mesti pergi. Aku baru sebulan di Hong Kong, tak tahu arah dan tak tahu mana-mana. Mencari perlindungan pun aku tak tahu.

Beruntung, aku masih ingat obrolan dengan teman beberapa hari sebelum pelarianku dari rumah majikan. Yakni: mencari perlindungan hukum. Kebetulan, teman tadi pernah mengalami nasib yang hampir sama denganku. Singkat cerita, aku akhirnya mendapat saran dari domestic helper untuk melapor ke kantor polisi. Selanjutnya, aku mengungsi ke shelter yang didirikan oleh teman-teman BMI. Tentang bantuan hukum, aku tetap dibantu domestic helper.

Jujur, sampai detik ini, aku tak pernah menceritakan masalahku kepada orang tua. Jangankan itu, aku sendiri masih sulit percaya telah menerima mimpi buruk seperti ini. Aku hanya percaya, Tuhan menguji kita sesuai dengan kemampuan umat-Nya. Ini yang menebalkan keyakinanku, bahwa jalan keluar pasti ada dan bisa kuperoleh. Semoga, nasib yang kualami tak menimpa teman-teman BMI yang lain *** (Kris DS)

2 komentar di "NASIB HESTI PRIANITA TIANA"

Posting Komentar