Gadis 21 tahun asal Madiun ini berusaha tersenyum saat ditemui Apakabar di shelter Kotkiho. Sesekali, keningnya berkerut mengisahkan pengalamannya bekerja yang selalu dianggap tak benar oleh majikan. Bahkan, majikan punya ”hobi”: menjepret atau memotret setiap kesalahan Erna.
Seberat-beratnya bekerja di Hong Kong, masih lebih berat bekerja di negeri sendiri. Setidaknya, itulah kalimat yang sering terngiang dan kudengar dari teman-temanku yang lebih dulu pergi bekerja ke Hong Kong. Berbekal keyakinan itu pula, aku – bungsu dari dua bersaudara – akhirnya melabuhkan pilihan: mengikuti jejak teman-temanku pergi mengadu nasib ke Hong Kong.
Saat itu aku memang baru lulus sekolah. Sehingga, pengalaman kerjaku praktis masih pas-pasan saat mulai menjual jasa di rumah majikanku yang seorang polisi Hong Kong. Seperti kebanyakan new migrant worker lainnya, aku digaji bawah standar. Tetapi, itu bukan masalah, terlebih jika mengingat kemampuanku berbahasa Kanton yang masih ala kadarnya. Dasar nasib, meski sudah rela tak beroleh libur dan menerima gaji tak layak, aku – tanpa alasan yang jelas – dipulangkan majikan saat baru kerja empat bulan.
Beruntung, meski agen memarahiku habis-habisan, mereka tetap bertanggung jawab dengan memproses dan mencarikan aku majikan baru. Berhasil. Seperti sebelumnya, di majikan baru yang tinggal berempat di apartemen Siu Sai Wan, aku tetap digaji bawah standar dengan masa potongan lima bulan. Soal pekerjaan, bagiku tak terlalu berat, karena semuanya mengandalkan alat elektronik. Mulai dari menanak nasi, mencuci baju atau membersihkan ruangan. Siapa pun, walau miskin pengalaman, pasti bisa melakukan pekerjaan itu dengan mudah.
Tetapi, bekerja ikut orang memang tidak selalu lempang. Ada saja masalah yang timbul. Kalau bukan soal pekerjaan, ya soal-soal lain. Itu pula yang terjadi padaku. Majikanku sangat cerewet dan suka berlaku kasar. Bahkan, jika aku lalai ketika bekerja atau menjalankan perintahnya, nyonya kerap mengancam hendak memulangkan aku ke agen.
Jujur saja, aku sering ketakutan jika majikan sudah mengancam seperti itu. Kerja jadi tak tenang, lantaran takut berbuat kesalahan. Lebih tidak tenang lagi saat majikan mulai menyukai ”hobi” barunya: memotret setiap kesalahanku dengan kamera, lalu mengadu ke agen dengan membawa foto-foto tersebut. Sialnya, meski sudah berhati-hati, tetap saja ada masalah yang menimpa. Misalnya, kejadian beberapa hari lalu.
Aku masih ingat betul, saat itu majikan mendapati sprei di kamar tidurnya kotor, padahal baru saja kuganti. Meski tidak mutlak akibat kesalahanku, aku langsung meminta maaf. Eh, bukannya menyuruhku membersihkan atau mengganti sprei, majikanku malah mengambil kamera dan memotret ”hasil” kerjaku berikut sprei kotor itu.
Tidak cukup itu. Kedapatan mencuci baju atau menyetrika tidak benar pun selalu dijepret, lalu fotonya dikirimkan ke agen. ”Hobi” majikan yang suka memotret kesalahan inilah yang membuatku sering kena marah agen, kendati hanya disampaikan melalui telepon.
Cuma, terus-terusan diperlakukan seperti itu, membuat kejengkelanku memuncak. Aku yang oleh teman-teman dikenal penurut dan pendiam, belakangan jadi suka membantah. Ditambah lagi dengan tingkah polah anak asuhku yang hiperaktif dan suka mengadu kepada orang tuanya. Ujung-ujungnya, hari Minggu itu, aku terlibat perdebatan yang cukup serius dengan majikan.
Gara-garanya, aku disuruh untuk mengambil libur menjelang tengah hari. Keruan saja aku menolak. Sebab, sesuai aturan, waktu libur dihitung sejak pagi hingga malam. Namun, hari itu, majikan membuat aturan sendiri. Pekerjaan di rumah sudah aku bereskan seluruhnya dan berakhir pada siang hari. Saat hendak mengaso ke kamar, tiba-tiba majikan memanggil, menyuruhku keluar dari rumah dan dihitung sebagai waktu libur.
Perintah yang jelas-jelas tidak fair itu langsung kutolak. Lagian, aku juga sedang tak punya uang. Meski begitu, masih dengan bahasa halus, aku meminta majikan untuk mengizinkan aku tinggal di rumah ketimbang libur. Giliran majikan yang keberatan. Bahkan, omongannya mulai ngelantur ke mana-mana. Karena paham apa yang diucapkan, aku membantah. Akibatnya, sungguh tak kuduga, majikan mulai bertindak kasar, bahkan hampir saja memukulku. Untungnya, hanya sebatas perlakuan kasar. Tak sampai melukai aku.
Komplikasi masalah di rumah majikan, membuatku makin betah. Sudah gaji di bawah standar, diperlakukan kasar, sering diancam hendak dipulangkan ke agen, hingga kenakalan anaknya yang sudah kebangetan.
Rencanaku untuk bertahan di tempat itu – setidaknya sampai kontrak selesai – pun berubah seketika. Aku tidak merasa takut lagi dideportasi. Malahan, aku menunggu majikan memulangkan aku, ketimbang aku yang harus break contract terlebih dahulu. Namun, sekian lama kutunggu, majikan tidak juga mem-PHK aku. Sementara, dari hari ke hari, sikapnya makin semena-mena. Jujur saja, aku makin tidak kuat bekerja di tempat itu. Batinku tersiksa.
Setelah berminggu-minggu tidak juga meng-interminate, akhirnya – setelah tujuh bulan bekerja – aku mengambil inisiatif untuk kabur dari rumah majikan. Pagi itu, sekitar pukul 8, aku lari dari rumah dan langsung menuju shelter Kotkiho, ketimbang kembali ke kantor agen. Terus terang, aku sudah trauma dimaki-maki agen tanpa kenal perasaan, seperti kejadian pemulangan majikan yang pertama dulu.
Selain untuk meminta perlindungan, sudah pasti, kedatanganku ke shelter juga untuk meminta bantuan teman-teman menuntut hak-hakku ke Labour Departement. Saat ini, sembari menunggu proses persidangan, hari-hariku praktis kuisi dengan berdoa. Ya, semoga permasalahanku cepat selesai, bisa memperoleh majikan baru yang baik, dan...ehm, tidak punya ”hobi memotret” seperti majikanku dulu. (KDS)
Kesalahanku ''Dijepret'' Majikan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Said
aduh capeeeekkkk aku uadah menulis berapa komentar ya? hayo tante itung berapa yang udah naza tukis
Said
kenalan dong mbak..............?