Senyum Siti Alifah mengembang. Berdasarkan meeting dengan majikan, ia berhasil mengantungi HK$ 25.000. Namun, kekerasan fisik yang diterimanya selama bekerja di Hong Kong, membuatnya trauma. Ia memilih Taiwan jika kelak kembali bekerja ke luar negeri.
Siti Alifah terlahir sebagai anak kedua dari tiga bersaudara. Sebelum akhirnya ”terdampar” di luar negeri, ia pernah empat tahun bekerja di sebuah perusahaan konveksi di Tulungagung, kota kelahirannya. Lantaran gaji tak seberapa, sementara kebutuhan hidup makin menggila, ia pun memutuskan pergi merantau ke luar negeri. Ditinggalkannya anak semata wayang berusia empat tahun dan suami tercinta, berharap dapat modal untuk buka usaha.
Melalui PT Supra Indo Tangerang, Alifah pun diberangkatkan dan ditempatkan di Jalan Angin Laut, Singapura. Selama bekerja di negeri jiran itu, lulusan SMP Negeri 1 Kauman Tulungagung ini diperlakukan dengan baik oleh majikannya. Dua tahun bekerja di tempat itu, praktis tak ada masalah yang berarti. Masa kontrak usai, Alifah pun kembali ke Indonesia.
Merasa modal usaha belum cukup didapat, Alifah memutuskan kembali berangkat ke luar negeri. Kali ini, ia mencoba peruntungan ke Hong Kong. Siti Alifah mengaku terus terang, ia kepincut dengan gaji di Hong Kong yang lebih gede, juga kerjaan yang tak terlalu berat. Bahkan, soal libur pun ada aturannya (sesuai peraturan imigrasi).
Namun, kisah indah di benak Alifah ternyata berujung musibah. Anak buah PT Megah Buana Bekasi ini mengalami nasib yang mengenaskan. Bekerja di daerah North Point, ia dipaksa menerima gaji di bawah standar (HK$ 2.000) dengan masa potongan tujuh bulan. Padahal, biasanya, kasus korban eksploitasi underpayment (gaji di bawah standar) cuma kena potongan tiga sampai lima bulan. Beruntung, soal libur tak ada masalah.
Tugas utama Alifah di apartemen itu hanya memasak dan bersih-bersih rumah. Tiap pagi, ia mesti belanja ke pasar namun ditemani majikan perempuan. ”Nggak tahulah, kenapa majikan tidak percaya 100 persen. Padahal, saya sudah 16 bulan bekerja di tempat itu,” ujarnya. Yang mengenaskan, Alifah kerap mendapat penganiayaan fisik dari majikan dan anak asuhnya.
Sampai kemudian, pada 22 Desember 2005, kesabaran wanita kelahiran 27 Maret 1977 ini memuncak. Pasalnya, sepulang liburan, ia dipukul dan ditendang majikan hanya karena masalah sepele, yang tidak semestinya menjadi masalah besar. Belakangan, amarah sang majikan kian menjadi-jadi setelah mengetahui: sumpah serapahnya ternyata direkam oleh Alifah. Khawatir rekaman tersebut bakal menyulut masalah, sang majikan bergegas menghubungi agen. Ia meminta, malam itu juga si agen merebut kaset hasil rekaman Alifah.
Agen tak mau gegabah. Mungkin juga lantaran malam sudah kelewat larut, agen – menjawab permintaan si majikan – sebatas berjanji akan menjemput anak buahnya di esok hari. Alifah cepat bertindak. Pagi-pagi sekali, sebelum agen datang menjemput, ia melarikan diri ke shelter yang didirikan sebuah organisasi besar di Hong Kong. Kesabaran ada batasnya. Sekitar dua bulan tinggal di shelter, kasus yang ditangani Domestic Helper di daerah Jordan ini pun menemukan titik terang.
Tepatnya pada 24 Februari 2006, Alifah dipertemukan (meeting) dengan majikan. Dalam pertemuan, Alifah terang-terangan menuntut pembayaran dari majikan sebesar HK$ 40.000. Jumlah ini dihitung dari selisih gaji yang dibayarkan di bawah standar, libur, notis dan penganiayaan. Proses negosiasi berlangsung tegang. Sampai kemudian, majikannya bersedia membayar ganti rugi sebesar HK$ 25.000. Alifah tak keberatan.
Lantaran telah dicapai kata sepakat, tuntutan Alifah pun tak sampai dimejahijaukan alias disidangkan. ”Jika majikan tak suka main tangan, barangkali saya bisa bekerja sampai finish contract,” seru Alifah, sebelum pulang ke tanah air. Toh, lantaran kekerasan fisik yang ia alami, Alifah mengaku trauma bekerja di Hong Kong. Karenanya, setelah beberapa waktu kumpul dengan keluarganya di Tulungagung nanti, ia berencana ke Taiwan. ”Cukup sudah Hong Kong menjadi lembaran hitam bagi kehidupan saya,” tuturnya, lirih.
Selain Alifah, BMI asal Trenggalek Rini Wijayanti, 21 tahun, juga memenangkan gugatan (HK$ 14.000) atas kasus penganiayaan, gaji di bawah standar, dan tidak ada libur selama lima bulan bekerja di A.5/F Blk:4 Hongsing Garden-Tseung Kwan O. Tak tahan dianiaya, Rini lari dari rumah majikan pada 13 Desember 2005 dengan tangan kosong alias tidak membawa apa-apa. ”Saya cuma bawa uang 10 dolar untuk ongkos naik bis menuju shelter,” akunya.
Serupa tapi tak sama, Sriayuni, 23 tahun, BMI asal Malang, juga berhasil pulang membawa ”pesangon” hasil tuntutan pada majikan pemilik Room 2100 Blok A West Tlands Garden-Query Bay. Sayangnya, Sri tak mau berbagi cerita ihwal kemenangannya dalam dua kali persidangan dengan majikannya. Pernah 1,5 tahun bekerja di Taiwan, Sriayuni terlahir sebagai anak ketiga dari empat bersaudara. Cita-citanya memperbaiki nasib keluarga, memang harus kandas di tengah jalan karena perlakuan tak layak dari majikan.
Sebagaimana yang lain, soal pekerjaan sebenarnya tidak ada yang berat. Tugas utamanya adalah merawat bayi dan membersihkan rumah. Namun, lantaran 11 bulan bekerja tanpa hak libur, digaji HK$ 2.000 per bulan dan tidak pernah dikasih sarapan, gadis manis ini memilih lari dari rumah majikan pada 15 Desember 2005 lalu. Ia pergi pagi-pagi benar, dengan membawa sebulan gaji.
Menurut Sriayuni, selama tinggal di shelter, dirinya diperlakukan dengan baik. Tak ada masalah dengan sesama teman yang juga terantuk masalah. ”Ternyata, nasibku masih lebih baik jika dibandingkan dengan teman-teman ku yang lain,” ungkap Sri, saat ditanya perihal keadaannya selama tinggal di penampungan Kotkiho. Sri juga menceritakan soal kasusnya yang dibantu oleh Domestic Helper yang berkantor di Jordan. ”Tanpa bantuan mereka, barangkali saya tak bisa berbuat apa apa,” ujarnya,
Sayang, Domestic Helper yang selama ini membantu menangani kasus-kasus BMI bermasalah – termasuk ketiga wanita di atas – enggan berkomentar banyak seputar kasus ini. ”Maaf, kami tidak bisa memberikan keterangan yang Anda butuhkan tanpa seizin dari yang bersangkutan. Yang pasti, memang benar, mereka ditangani Domestic Helper,” ujar aktivis di Domestic Helper, saat dikonfirmasi via telepon. (Kris D.S.)
Dan, Alifahpun Menang
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar di "Dan, Alifahpun Menang"
Posting Komentar