Korban Pemutusan Sepihak

Memahami bahasa Cantonese sangat penting buat BMI. Tak bisa berbahasa, bisa saja jadi petaka. Apalagi, jika sampai majikan menuduh hal-hal yang tidak kita lakukan. Bekal untuk membela diri pun tak ada.

BMI asal Lampung Utara ini bernama Erniawati. Awalnya, demi membantu perekonomian keluarga, ia mengikuti jejak kakak perempuannya berangkat ke ke luar negeri. Melalui PT Bama Bogor, Erni diberangkatkan ke Singapura. Namun, baru setahun bekerja di rumah bule di negeri jiran itu, Erni sudah mengalami pemutusan kerja. Bukan apa-apa, sang majikan harus kembali ke Australia, negara asalnya. ”Barangkali belum rezekiku,” pikirnya. Dengan berat hati, gadis berkulit hitam manis ini pun kembali ke tanah air.

Tak betah berlama-lama tinggal di dusun, gadis kelahiran 1984 ini masuk ke PT Antar Tenaga Mandiri, Jakarta Barat. Selama setahun di PT, memproses keberangkatan ke Hong Kong, ia pun terbang pada 6 Juli 2005. Seusai tanda tangan gaji sebesar HK$ 3.320/bulan dan tanda tangan public holiday di agen, gadis ini dipekerjakan di Mongkok Road, Yuet Yuen BLDG 19.

Majikannya terdiri atas empat anggota. Erni diberi kepercayaan penuh untuk mengurus rumah dan merawat dua anak. Namun, selama beberapa bulan bekerja, gaji yang diterima ternyata cuma HK$ 1.800/bulan dan tanpa libur. Nyata sekali, agen dan majikan sudah memonopoli soal gaji. ”Pasrah sajalah, mungkin hanya segitu rezeki yang Tuhan beri untukku,” pikirnya. Makanya, Erni tak protes soal upah yang tidak semestinya itu. Lagian, ia berpikir, orang tuanya hanya buruh tani, yang dari hari ke hari kian sulit mencari kerja dengan menyempitnya lahan pertanian. Tak mungkin ia merepotkan orang tua.

Erniawati lahir sebagai anak keempat dari enam bersaudara. Seluruhnya perempuan. Kakak kandungnya yang pertama sudah empat tahun bekerja di daerah Yuenlong. Karena sama-sama tinggal di Hong Kong, setiap ada permasalahan, Erni pasti mengadu pada kakaknya. Seperti petaka besar yang ia alami pada Oktober 2005.

Ceritanya berawal ketika, pada 29 Oktober, sang majikan menuduhnya mencuri uang sekitar HK$ 1.000. Konon, uang tersebut ditaruh di laci dalam kamar. Karena di rumah berukuran 900 square itu tak ada orang lain, kecuali Erni, majikan sangat yakin: pencurinya adalah Erni. Begitu yakinnya, pemilik toko bangunan ini kemudian melaporkan Erni ke kantor polisi. Akibatnya, hari itu juga, gadis yang baru empat bulan bekerja itu digelandang ke kantor polisi. Ia dipenjara dua hari dua malam. Itu pun karena sang kakak memberikan jaminan pada kepolisian Prince Edward sebesar HK$ 6.000. Erni dinyatakan bebas bersyarat, di antaranya harus kembali ke agen.

Dapat dibayangkan, bagaimana perasaan kakak beradik ini ketika menyelusuri gedung-gedung megah kota itu, meninggalkan kantor polisi menuju agen. Mereka saling bergandeng tangan, sama-sama memendam perasaan hancur. Tanpa sadar, mata keduanya berkaca-kaca. Tak tahu mesti berkata apa, agar keduanya sama-sama kuat menghadapi cobaan hidup.

Namun, cobaan tak berhenti di situ. Sesampai di agen, yang berkantor di daerah Mong Kok, mereka justru dipaksa menandatangani surat pengakuan. Intinya, Erni harus mau mengakui telah mencuri uang Wong Yuet Line, majikan perempuannya, dan bersedia mengganti kerugian sebesar HK$ 4.000. Juga, diharuskan pula meminta maaf pada majikan.

Agen yang semestinya melindungi anak buah, malahan lepas tangan. Akibatnya, kedua perempuan desa ini hanya mampu berpandang-pandangan. Sesekali, mereka menunduk mempermainkan jari jemarinya untuk membuang keresahan. Si adik maunya menandatangani saja, meskipun tidak salah, agar urusan cepat selesai. Sementara sang kakak, tidak ingin adiknya kelewat dibodohi oleh agen dan majikan yang kurang ajar.

Begitulah. Sang kakak akhirnya pontang-panting mencari perlindungan hukum buat adiknya, yang kini berada di tangan agen. Baik ke KJRI, maupun ke organisasi-organisasi yang bergerak di bidang advokasi hukum. Sayangnya, belum lagi informasi lengkap didapat, si adik sudah dipaksa untuk Praktek Kerja Lapangan (PKL) di daerah terdekat oleh agennya. Sementara, nasibnya dibiarkan terkatung-katung tanpa penjelasan.

Nasib baik memang belum berpihak pada Erni. Keronto-ronto sekali mengadu nasib ke luar negeri, justru menemui masalah seperti ini. Harapan untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik, ternyata hanya mimpi. Merasa tidak ada jalan lain, Erni – atas dukungan sang kakak – akhirnya memilih kabur dari tempat PKL dan melaporkan masalahnya pada pemerintahan Hong Kong (Labour Department). Di sinilah nasib Erni mulai ada kejelasan. Ia misalnya, dinyatakan tidak terbukti melakukan pencurian. Bahkan, pemerintah juga menuntut rakyatnya yang sudah melanggar UU Ketenagakerjaan.

Selain Erniawati, yang ditemui penulis di shelter Kotkiho, Suprapti – BMI lain – juga mengalami kasus yang hampir sama. Suprapti lahir sebagai anak tunggal dari orang tua petani. Selepas menyelesaikan sekolahnya di SMA 2 Caruban, Jawa Timur, ia berangkat ke Hong Kong, sebagaimana teman-teman sekampungnya di Dusun Sukorejo RT 18/5 Saradan Madiun.

Ternyata, harapan dan tujuannya untuk mencari pengalaman dan hidup mandiri, kandas juga. Ketika menginjak tahun pertama bekerja, majikannya yang pemilik Villa Verwv Park Yuenlong, menuduhnya mencuri uang HK$ 3.200. Padahal, selama ini, gadis berpotongan rambut cepak ini sudah berusaha mengalah digaji HK$ 2.000 dengan masa potongan tujuh bulan dan tanpa hak libur. Ini mengingat, ia harus merawat dua anak. Di samping itu, membersihkan rumah juga bukanlah pekerjaan berat.

Atas tuduhan sang majikan, suatu hari, ia ditangkap dan dibawa ke kantor polisi. Tangannya diborgol. Lebih parah lagi, saat itu, gadis lugu ini sama sekali belum tahu dirinya dituduh mencuri uang majikan. Karena memang tak tahu-menahu atas hilangnya uang majikan, Prapti tetap bersikeras dan menolak tuduhan mencuri. Ia bersedia diperiksa sebagaimana mestinya.

Untunglah, Prapti akhirnya dibebaskan dan diizinkan kembali bekerja. Hasil pemeriksaan polisi sendiri menyatakan: Prapti tidak terbukti mencuri. Namun, karena masih sakit hati atas ulah majikan, ia memilih mengadukan perihal gaji dan menuntut balik atas tuduhan majikannya ke Labour Department. ”Kalau majikan tidak menuduhku, barangkali aku tidak akan melaporkan soal gaji pada pemerintahan Hong Kong,” ujar Prapti, mengakhiri perbincangan dengan penulis.

Menurut Mbak Mia, yang selama ini aktif menangani kasus-kasus di shelter, kedua BMI tersebut masih dalam proses menyelesaikan tuntutan. ”Tidak lama lagi, urusan mereka sudah kelar,” katanya. Mia menambahkan, untuk kasus-kasus berat, biasanya memerlukan waktu yang agak lama. ”Biasanya, sang majikan memakai pengacara yang andal,” kata Mia. (K.D.S.)

0 komentar di "Korban Pemutusan Sepihak"

Posting Komentar