Beberapa kali pindah majikan selalu berakhir dengan pengusiran. Akibatnya, ia agak trauma ketika mencari peruntungan baru. Itulah derita Istikomah, BMI asal Lampung Utara, yang ditemui Apakabar di shelter Kotkiho.
Menjadi BMI mungkin sudah suratan. Lama sebelum bekerja di Hong Kong, dua tahun aku ”merintis karier” sebagai pekerja rumah tangga (PRT) di Malaysia. Di ranah Melayu itu, gajiku tak besar, hampir sama dengan upah buruh di Indonesia. Mungkin itu sebabnya, setelah kontrak kerja berakhir, aku memutuskan pulang kampung dan mencari pekerjaan di tanah air. ”Kalau gaji sama, untuk apa kerja jauh-jauh?” pikirku.
Namun, entahlah, Indonesia tampaknya tak cukup bersahabat untuk orang sepertiku. Lahan pekerjaan sulit didapat, sementara uang tabungan menyusut cepat. Ujung-ujungnya, aku tak betah berlama-lama hidup hanya dengan makan tabungan. Beruntung, aku punya gandholan ati, seorang pemuda dusun tetangga. Kepadanyalah aku curhat, sembari merenda masa depan.
Terbersit dalam benak kami untuk segera menikah, agar terlepas dari beban hidup dan mengakhiri kesendirianku. Tapi, apa yang kupikirkan bersama pacarku rupanya tak direspons dengan baik oleh orang tuaku. Kata mereka, boleh saja aku menikah asal dengan biaya sendiri. Setidaknya, tidak terlalu membebani orang tua ketika menggelar resepsi nanti.
Orang tuaku benar. Pasalnya, di kampungku, pernikahan masih identik dengan perhelatan besar-besaran. Dan, itu artinya uang. Setelah kutimbang matang, kami pun berlapang dada menerima keputusan itu. Sejak itu, aku berkeputusan untuk kembali ke luar negeri: mencari biaya nikah.
Setelah empat bulan training di PT Bama - Bogor, aku diberangkatkan ke Hong Kong, negeri pilihanku. Aku ditempatkan di sebuah keluarga yang tinggal di apartemen di Kota Saikung. Tugas utamaku merawat dua anak, meski bukan berarti terbebas dari pekerjaan lain. Pagi-pagi aku sudah harus bersih-bersih rumah, lalu pergi belanja, sebelum mengantar dan menjemput anak sekolah atau pergi les. Malamnya, menjelang tidur, aku masih harus mencuci pakaian dan memakai tangan. Terkadang aku berpikir, jika dibandingkan dengan di Malaysia dulu, pekerjaanku sekarang terasa jauh lebih berat. Sementara, gaji yang kuterima praktis tak mengalami lonjakan berarti.
Sebenarnya, tidak masalah aku bekerja berat, karena memang risiko. Yang sulit kuterima adalah sikap dan perilaku majikan yang kelewatan. Saban kali ada pekerjaan yang kurang beres, mereka langsung naik pitam dan mengusirku. Sudah pasti, aku hanya bisa pasrah. Lagian, kalau aku pergi, hendak pergi ke mana?
Bayangkan, baru empat bulan aku bekerja, majikan sudah memukul dan mengusirku hanya gara-gara ada kecoa masuk rumah. Malam itu juga, majikan menyuruhku mencari dan membunuh kecoa itu. Sekian lama kucari, coro sialan itu tak juga kutemukan. Karena kecapekan, aku ketiduran. Amarah majikan pun memuncak. Katanya, aku tidak patuh pada perintah. Tanpa ampun, ia menamparku beberapa kali. Karena tak mau urusan jadi panjang, aku cuma diam.
Dasar apes. Esok paginya, kekerasan kembali berulang. Saat itu, aku sedang membersihkan kamar mandi ketika kudengar anak asuhku menangis. Seketika, aku bergegas mendatangi anak asuhku, tanpa mempedulikan sikat yang masih tergeletak di kamar mandi. Ndilallah, saat yang sama, majikan masuk kamar mandi. Melihat sikat masih tergeletak, majikan langsung mengambilnya dan melemparkan ke arahku. Tepat mengenai punggung. Majikan juga menghardikku, lalu mengusirku pergi dari rumah.
Tapi, sungguh, aku tak mengerti apa kemauan majikan. Baru saja aku menginjak lantai dasar apartemen, majikan sudah mengejarku dan memintaku kembali. Ia mengaku khilaf, seraya berjanji tidak akan mengulangi tindakannya. Selain itu, ujarnya menambahkan, aku juga masih harus bekerja selama masa potongan belum lunas.
Kali ini aku menolak. Tidakkah sakit hati diperlakukan begitu? Bikin peraturan kok seenak sendiri. Karena sudah tak mungkin lagi bersabar, kuulangi penolakanku. Mendengar jawabanku, majikan – yang sebelumnya berusaha bersikap baik – kembali kalap. Sebuah tinju melayang ke tubuhku di keramaian apartemen. Kebetulan, saat itu banyak penghuni apartemen yang berada di bawah dan melihat kejadian itu.
Seketika itu juga, tekadku semakin bulat untuk pergi dari tempat itu dan...kembali ke agen! Atas bantuan agen, aku melaporkan tindakan majikan ke Labour Departement. Entah, berapa banyak tuntutan yang diajukan agen kepada majikanku. Yang pasti, aku tidak menikmati sepeser pun uang tuntutan itu. Bagiku, jauh lebih penting agen mencarikan aku majikan baru, sesuai janjinya.
Setelah hampir dua bulan menunggu visa di Macau, akhirnya aku bisa kembali bekerja di Hong Kong. Memang, di majikan kedua, tidak ada masalah dengan libur. Tapi, aku harus mau menerima gaji HK$ 1.600 per bulan. Karena tak ada pilihan, kuterima pekerjaan itu dan kuselesaikan kontrak kerjaku. Bersyukur, selama dua tahun itu tidak ada kendala berarti.
Didorong oleh keinginan untuk memperoleh gaji besar, aku kembali mencari majikan baru. Jadilah, selama di Hong Kong, tiga kali sudah aku berpindah majikan. Di rumah majikan terakhir, aku digaji dan diberi hak libur sesuai prosedur. Hanya saja, tuntutan pekerjaan juga lebih berat. Selain harus cekatan, sigap, disiplin, juga tidak boleh korupsi waktu.
Korupsi waktu ini pula yang akhirnya membuatku kembali diusir. Pemicunya, aku terlambat beberapa menit pulang ke rumah sehabis liburan. Hanya karena itu, majikan menyerocos dengan kata-kata kasar, lalu...mengusirku. Apa boleh buat. Mungkin, majikan sudah tak mau memperkerjakan aku lagi. Terlebih, sedari awal aku sendiri sebenarnya kurang sreg kerja di situ. Sudah majikan cerewet, anaknya jorok setengah mati.
Gara-gara diusir, sekarang aku menjadi BMI berkasus yang menghuni shelter Kotkiho. Meski teman-teman di sini amat bersahabat, namun aku tidak mungkin membohongi diri sendiri. Jujur saja, aku agak traumatis bekerja di Hong Kong. Jangan-jangan, majikan baruku nanti sama seperti yang dulu-dulu: ringan tangan dan tidak segan-segan mengusirku. Masalahnya, mustahil aku pulang ke kampung halaman tanpa uang di tangan. Bayangan pelaminan – yang sudah menari-nari di pelupuk mata – mengharuskan aku tegar dan rajin berdoa, memohon ke hadirat-Nya agar bisa menemukan majikan yang sesuai harapan. (Kristina Dian S)
DICARI:MAJIKAN YANG TIDAK SUKA MENGUSIR
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Said
Mbak yang istiqomah aja ya,...biar sesuai namanya
Said
iya. jeli juga mas genx nih.he..he...