MERAWAT SI KECIL TANPA HAK LIBUR

Pengalaman bekerja sebagai PRT di Malaysia dan Singapura, membuat Suwarni (29) tak mudah mengeluh dibebani tumpukan pekerjaan. Namun, tugas merawat si kecil tanpa hari libur memaksa BMI asal Jawa Tengah ini kabur dari rumah. Padahal, finish contract sudah menjelang.

Kesedihanku terasa sangat mendalam saat mendengar bapakku meninggal dunia. Itu terjadi beberapa tahun lalau, ketika aku masih bekerja di Bandung. Bukan saja merasa kehilangan sandaran, aku juga memikirkan nasib ibu dan adik semata wayangku. Bagaimana pun, kepergian bapak – sebagai kepala keluarga – merupakan cobaan terberat dalam hidup kami.

Menyadari aku hanya lulusan SD, merantau ke luar negeri rasanya merupakan pilihan tunggal untuk memperbaiki perekonomian rumah tangga. Kebetulan, pada masa itu, sangat mudah untuk bisa bekerja di luar negeri, apalagi ke Malaysia. Beda jauh dengan peraturan sekarang. Untuk bekerja sebagai PRT di luar negeri saja, minimal harus lulus SMP.

Pada 30 Desember 1999, aku berangkat ke Malaysia lewat PT Sanjaya. Finish contract di negara itu, aku pindah ke Singapura melalui PT Nuraini. Selama bekerja di dua negara jiran itu, aku tak pernah mendapat masalah yang berarti. Apalagi sampai berurusan dengan hukum di negara setempat. Masalah dengan agen maupun PT di Indonesia pun tak pernah kutemui.

Itu semua, salah satunya, tentu berkat kesabaran, ketabahan, dan keuletanku selama ikut majikan. Entah kenapa, masalah yang tak kuharapkan justru kutemui saat bekerja di Hong Kong. Sebuah negara yang dikenal memiliki kebijakan cukup apik bagi kaum pekerja asing seperti kami. Bahkan, semua kebijakan itu tercantum dalam undang-undang ketenagakerjaan.

Di Hong Kong, aku bekerja di daerah Yuen Long, Lot 378 L, DD 116, dengan tugas merawat anak, memelihara lima ekor anjing dan membersihkan rumah. Masalah yang kumaksud adalah larangan kepadaku untuk pergi ke luar. Majikan takut aku berbicara atau ngobrol dengan sesama BMI. Kalaupun keluar rumah, praktis hanya sebentar – sekitar pukul 2 atau 3 siang – untuk membeli makan siang. Aku juga tak pernah belanja.

Ya, begitulah... Jangankan libur, untuk urusan mengirim uang ke kampung saja, aku mesti dikawal majikan. Kalau kuhitung-hitung, selama 10 bulan bekerja, aku tidak pernah keluar rumah. Andai saja majikanku tidak jahat, barangkali aku masih bisa bertahan dua tahun di tempat itu. Meskipun, itu tadi, harus rela tidak libur selama dua tahun, sesuai kontrak kerja yang kutandatangani.

Anak asuhku nakalnya minta ampun. Dia suka memukul. Tapi aku bisa memaklumi kenakalan si lincah berusia empat tahun itu. Namanya juga anak-anak. Cuma, ini yang membuatku tak bersimpati pada nyonyaku. Dia tidak mengerti betapa nakal anaknya itu. Setiap kali si bocah tak habis minum susu, aku yang didamprat. Katanya, aku tak bisa membujuk anak atau terlalu memanjakan anak. Sudah sering aku dimarahi habis-habisan karena ulah anak itu. Kemarahan nyonya memuncak ketika anak asuhku itu jatuh sakit. Aku dipukul dhai-dhai.

Meski nyonya menganggap aku tak becus merawat anak, nyatanya, anak itu sangat dekat denganku. Meski bandel, ia sangat penurut sama aku. Hanya ketika ia sakit, nyonya yang mengambil alih merawat anak. Mulai dari memberi makan, minum susu hingga minum obat. Ketika waktunya minum obat inilah, anakku berulah. Ia tak mau minum obat yang disodorkan mamanya.

Entah apa alasan anak kecil itu. Ia mau minum obat hanya jika aku yang meladeni. Kulihat, nyonya cukup kewalahan membujuk anaknya. Kupikir ada baiknya juga agar nyonya mengerti, merawat anak tidaklah mudah. Apalagi jika selama ini si anak merasa kurang diperhatikan orang tua.

Sungguh tak kusangka, gara-gara si kecil tak mau minum obat, nyonya marah-marah kepadaku. Dia bilang, aku tidak mengajarkan bagaimana anak mesti nurut sama orang tua. Katanya lagi, aku tidak pernah mengajari etika, dan segala prasangka buruk lainnya. Saking jengkelnya, nyonya memukulku. Dan, tidak cukup sekali. Aneh, to? Anak ndak nurut sama orang tua dan ndak mau minum obat, aku yang disalahkan. Dasar nasib.

Siang itu, majikan pamit makan di luar. Karena anakku tidur di kamar majikan, aku diminta menjaganya di depan pintu kamar. Soal ini memang sudah merupakan peraturan yang diberlakukan majikan kepadaku. ”Setiap kali anak tidur, harus dijaga di depan pintu kamar,” begitu katanya.

Layaknya satpam, aku selalu mematuhi perintah tersebut. Ndilalah, saat itu aku duduk di depan kamar sambil menyelonjorkan kaki dan menyandarkan tubuh ke dinding. Angin semilir dari jendela pun membelaiku. Aku tertidur. Sekitar pukul 4 sore, majikan pulang dan mendapatiku dalam keadaan terlelap. Bisa ditebak, ia langsung marah dan memukulku.

Jiwaku semakin tertekan. Majikan tak mau ngerti, sudah dibebani banyak pekerjaan, libur pun tak dikasih. Dari situ baru aku menyadari, betapa penting menikmati masa liburan. Akhirnya, dengan sisa-sisa keberanian, aku menghubungi agen. Menanyakan hak libur, walau hanya sekali dalam sebulan. Penting, agar aku tidak bertambah stres.

Agen lalu menghubungi majikan dan meminta agar memberikan off day kepadaku. Tapi majikanku malah marah-marah. Ke agen, juga kepadaku. Dari situ akhirnya aku tahu, ada kesepakatan yang dibuat majikan dan agen tanpa sepengetahuanku. Khususnya menyangkut holiday. Terbukti, agen tak bisa berbuat apa-apa. Aku tetap tak diizinkan libur pada hari Minggu atau tanggal merah, sampai kontrak kerja berakhir. Upaya meminta dengan baik-baik, tetap diabaikan. Akhirnya, kupilih jalur nekat: kabur dari rumah majikan.

Masih kuingat, sekitar pukul 10.30, ketika majikan masih tidur, aku bergegas meninggalkan rumah. Hanya dengan baju tidur dan beberapa stel pakaian di tas kresek hitam. Perencanaan yang sudah kususun sejak lama itu akhirnya berjalan lancar. Penjaga perumahan tak curiga. Barang-barangku yang lain sudah lebih dulu kutitipkan kepada teman. Aku pun melenggang, mencari perlindungan ke shelter dan mengadukan kasusku ke Labour Department Hong Kong. Suka dukaku merawat anak pun tinggal kenangan. (Kristina Dian S)

0 komentar di "MERAWAT SI KECIL TANPA HAK LIBUR"

Posting Komentar