DUA MAJIKAN SATU PERLAKUAN

Dua kali memperoleh majikan, selalu berakhir mengenaskan. Itulah yang dialami Katmi, ibu satu anak asal Ponorogo. Di majikan pertama, baru juga bekerja 10 hari, ia sudah mendapat penganiayaan dan berakhir di persidangan. Urusan hukum kelar, berlanjut bekerja di majikan kedua. Entah kenapa, tanpa sebab musabab yang jelas, di tempat ini ia di-terminate setelah bekerja sepuluh bulan. Perempuan ini pun dua kali masuk Bathune House, shelter ATKI. Kepada Apakabar, Katmi menuturkan pengalaman buruknya:

”Pada Mei 2006, kali pertama aku berangkat dan bekerja di Hong Kong. Majikanku tinggal di daerah New Teritorries (NT). Di tempat ini, aku bertugas merawat bayi yang baru lahir dan balita berusia 2,5 tahun. Saat itu, majikan cuti melahirkan. Bersama nyonya, bergantian kami merawat anak. Namun ada yang membuatku kurang sreg terhadap sikap nyonya, yang kelihatannya tak suka kepadaku. Ia ringan tangan. Suka memukul. Sampai aku menganggap majikanku depresi, karena mudah marah tanpa kendali.

Ya, aku memang masih baru di rumah itu. Wajar jika masih belum paham dan hapal segala tugas dan isi rumah. Setiap diperintah mengambil sesuatu, aku pasti kebingungan karena tak tahu tempatnya. Jika aku bertanya, nyonya menganggapku bodoh. Bukannya menjawab, malahan mendamprat. Jika aku kelamaan mencari barang yang dimaksud, tak jarang nyonya mengambil sapu dan memukul. Kalau bukan sapu, gantungan baju pun sering nyasar ke badanku.

Sedikit pun ia tak mau toleran, apalagi mengerti. Majikan enggan memahamiku, mungkin karena sedari awal ia sudah tidak suka. Cuma, kenapa ia mau ”bekerjasama” denganku, menandatangani kontrak kerja? Sejak awal sikap nyonya memang begitu, ingin aku selalu sempurna. Tidak boleh melakukan kesalahan.

Pada hari kesembilan, perlakuan nyonya makin kelewatan. Leherku dicekik. Badanku dipukul sampai babak belur. Badanku membiru dan memar, hanya karena salah pasang sprei. Ceritanya, hari itu aku disuruh nyonya mengganti sprei. Kukerjakan perintah itu dengan senang hati. Ndak tahunya, aku keliru memasang sprei bergambar Micky Mouse itu. Seharusnya, bagian kepala terbalik bagian kaki. Pukulan yang cukup keras membuat telingaku tak berfungsi.

Saat memutuskan keluar dari rumah majikan, mulanya aku tak tahu harus berbuat apa. Di jalan aku seperi orang goblok. Celingak-celinguk mencari pertolongan. Beruntung, aku bertemu sesama BMI, yang kemudian memberi saran untuk melapor ke pemerintah setempat. Kondisi badanku yang masih sangat membutuhkan perawatan, tidak menyulitkan aku memberi laporan ke pihak berwajib. Tidak terlalu berbelit, karena ada bukti nyata.

Di sidang Labour Department, sebulan sesudah aku memasukkan laporan, majikan memberikan hakku melalui officer Labour. Sementara kasus penganiayaannya (sidang polisi), digelar sebulan setelah sidang hari itu. Namun, di sidang kriminal, ada sedikit kendala. Aku sempat cemas ketika majikan tiba-tiba menolak disidang satu ruangan denganku.

Permohonan majikan dikabulkan hakim. Saat itu, aku berpikir, majikan tidak mau membayar tuntutanku atas kasus penganiayaan. Sebab, pada hari-H itu, aku malah disuruh menunggu di luar ruangan. Ya, sama artinya aku tidak disidang.

Keluar dari ruang sidang – masih melalaui officer – majikan membayar tuntutanku. Dari officer yang selama ini begitu baik memihak BMI, aku beroleh informasi: majikan dikenai denda HK$ 5.000 plus tidak boleh mengambil pembantu asing (black list). Kata officer, majikanku selama ini sering gonta-ganti pembantu, tapi selalu berakhir dengan pemutusan kontrak kerja.

Tak jelas, apakah majikan yang meng-interminate duluan, atau pembantu yang minta putus kontrak. Namun sampai sejauh itu, pihak Labour tak bisa bertindak hanya berdasarkan anilisis. Meski demikian, pihaknya terus ”mengawasi” gerak-gerik majikan, terkait hobinya yang suka gonta-ganti pembantu. Denda dan warning baru ditetapkan setelah aku – satu-satunya BMI yang pernah bekerja di rumah yang berani melapor ke Labour.

Sebelum persidangan, aku menunggu berakhirnya kasus sambil mencari majikan baru. Sehingga, tak lama setelah urusan kelar, aku langsung bekerja di rumah majikan kedua. Berbekal sertifikat kemenangan, aku berharap, kejadian pertama tidak terulang lagi. Bersyukur pula, telingaku yang sering tak berfungsi mulai normal kembali.

Namun, tiada hujan tiada angin, oleh majikan kedua, aku malah di-PHK dengan cara yang tidak mengenakkan. Majikan bilang: mereka tidak puas dengan hasil kerjaku. Mereka juga bilang, aku lebih banyak nganggur, serta dicurigai mencuri barangnya. Jujur, selama bekerja di rumah itu aku memang merasa tidak punya pekerjaan berat. Aku hanya membersihkan rumah yang tidak butuh waktu lama dibereskan. Kedua anak asuhku sudah gede. Itu pun yang satu sudah berangkat dan sekolah di luar negeri.

Sudah begitu, kedua majikanku jarang makan di rumah. Anak asuhku sering makan di luar. Otomatis, aku tidak pernah masak. Di rumah itu aku dikasih kamar tidur dan kamar mandi sendiri. Soal fasilititas, sudah kurasa cukup layak. Meski kadang aku jenuh, karena tidak ada pekerjaan yang berarti. Karena itu majikan merasa rugi memberi gaji tinggi.

Sebelum mem-PHK, siang itu majikan terlebih dulu mencari-cari alasan, mengaku sering kehilangan barang. Padahal, ia tahu, tiap kali aku libur tak pernah bawa apa-apa. Saat itu, aku belum menyadari tujuan majikan yang berencana meng-interminate. Ketika hendak angkat kaki dari tempat itu, baru aku tahu. Nyonya bersama anaknya menjagaku membereskan barang, sembari nyerocos yang bikin panas telinga.

Sebelum aku pergi, majikan memberi cek gaji bulan terakhir. Soal tiket, katanya, sudah dikasih ke agen. Kenyataannya? Agen bilang, ia tidak menerima apa pun dari majikan. Apa boleh buat, cek kosong itu menjadi salah satu tambahan laporanku menuntut majikan lewat Labour Department. Satu hal yang kusyukuri, aku bisa langsung menuju shelter, karena dokumen aku pegang sendiri. (Kristina Dian S)

4 komentar di "DUA MAJIKAN SATU PERLAKUAN"

Posting Komentar