Gajiku Digergaji untuk Bayar Ganti Rugi

Siapa pun pasti mengeluh punya bos seperti majikan Mistinah. Tiap kali ada barang di rumah yang rusak, ia wajib mengganti rugi. Celakanya, lantaran transfer dana ke kampung halaman terus berkurang (karena digergaji majikan), suami di kampung jadi curiga. BMI asal Indramayu ini pun akhirnya mengadu ke shelter Kotkiho.
Berikut penuturan ibu dua anak itu kepada Apakabar.

Sudah lama aku dan suamiku mencari modal untuk buka usaha salon kecantikan di kota kelahiranku, Indramayu. Tetapi, penghasilan suamiku yang cekak membuat ”perburuan modal” tak juga sampai ke ujung. Dorongan kuat untuk mewujudkan cita-cita inilah yang kemudian membawaku pergi ke luar negeri, meninggalkan suami dan dua anakku.

Sama sekali tak pernah terpikirkan olehku, justru setelah menikah dan punya anak, aku beroleh kesempatan bekerja ke luar negeri. Negara pertama yang kujejaki adalah Taiwan. Dan, alhamdulillah, kontrak dua tahunku di sini bisa kujalani tanpa hambatan. Rasa syukurku bertambah, karena keinginan membuka salon pelan-pelan bisa terwujud. Tentu, ini tak lepas dari kesungguhanku dalam bekerja, di samping keseharianku yang super-irit dalam membelanjakan uang, termasuk untuk biaya sekolah anak-anak.

Meski salon kami tidak begitu besar, tapi cukuplah untuk membantu menambal kebutuhan sehari-hari. Berbeda dengan suamiku yang cenderung nrimo terhadap apa yang sudah didapat, aku justru masih penasaran. Ingin cepat melebarkan usaha. Dan, itu berarti, aku mesti kembali meminta izin pada suami dan anak-anak untuk berangkat lagi ke luar negeri. Pikirku, jika salon ini fasilitasnya lengkap, tentu penghasilan akan meningkat.

Sayangnya, tidak semua keluarga setuju. ”Eling (ingat)! Jangan ambisius ngejar materi. Bisa-bisa lupa dengan bekal akhirat,” begitu salah satu alasan suamiku. Bahkan, dalam ”khotbah”-nya ketika makan malam bersama, kejadian bencana tsunami pun sampai dibawa-bawa. ”Sekali tersapu, semua jadi bersih,” katanya. Toh, aku bergeming. Aku tidak kehilangan cara untuk meluluhkan pendirian suamiku. Sampai akhirnya, meski dengan sedikit memaksa, restu berhasil kudapat.

Terbang ke Hong kong

Melalui agen Megasih, aku berangkat ke Hong Kong pada 4 November 2003. Di negara kota ini aku – yang saat ini berusia 31 tahun – dipekerjakan di sebuah apartemen lantai 26, di Tsing Yi. Tugas utamaku membersihkan rumah, memasak, dan merawat tiga anak asuh dengan usia terkecil dua tahun.

Dibilang berat, tentu lumayan juga. Tiap pagi aku mesti menyiapkan sarapan majikan, sebelum mereka berangkat dengan aktivitasnya masing-masing. Setelah mereka pergi, giliran aku yang keluar rumah berbelanja, menyiapkan makan siang untuk anak-anak yang pulang sekolah. Menjelang sore, baru aku punya kesempatan membersihkan rumah dan menyiapkan makan malam.

Untuk urusan makan, majikanku bukanlah orang yang rewel. Makanan apa pun yang aku suguhkan, selalu dilahap tanpa sisa. Siapa tak senang melihat itu. Bersyukur pula, gaji bulanan yang kuterima sesuai prosedur, itu masih ditambah dengan uang ganti libur tiap minggu. Dengan penghasilan segitu, aku bisa mengirim utuh gajiku pada suami. Tidak sampai setahun setengah, salon yang dikelola suamiku makin berkembang dan mendatangkan keuntungan besar.


Oh ya, majikanku adalah seorang dosen di Universitas Tsim Tsa Tsui. Tiap hari ia selalu berangkat pagi dan baru pulang ketika senja menjelang. Sesekali, ia pergi dinner dengan relasinya. Melihat latar belakangnya, kupikir, majikanku yang berpendidikan ini pasti intelek dan pengertian. Namun, belakangan, penilaianku ternyata keliru. Majikan yang kuanggap orang pintar ini ternyata sangat menjengkelkan.

Bagaimana tidak. Saban kali ada barang di rumah yang rusak, aku harus menggantinya sesuai harga pokok. Bahkan, kerap juga aku diharuskan membayar tiga kali lipat dari harga barang. Misal, ketika kulkas yang sudah bertahun-tahun dipakai itu mulai aus. Meski hanya karena freezer-nya tak berfungsi, aku harus mengganti sebesar harga beli. Lalu, ketika keramik mainan yang dipajang di lemari tiba-tiba retak, aku harus mengganti HK$ 500. Padahal, aku tahu betul, keramik itu retak karena ulah seekor kucing.

Saking seringnya aku mengganti rugi, dengan sendirinya gajiku tidak lagi kuterima utuh. Meski demikian, aku pilih mengalah ketimbang berdebat dengan majikan. Padahal, bisa saja aku mendebat pakai bahasa Mandarin atau bahasa Kanton yang dikuasai majikan. Aku pun tahu, sesuai peraturan pemerintah Hong Kong, ganti rugi yang dibebankan kepada pekerja akibat ulah pekerja, tidak boleh lebih dari HK$ 300. Tapi apalah daya. Aku ingin bertahan menyelesaikan kontrak, sehingga aku memilih membayar denda, walau bukan karena kesalahanku.

Di luar dugaan, gara-gara uang kiriman menyusut tiap bulan, suamiku mulai curiga. Maksudnya sih baik, mengingatkan istri agar tak lupa diri semasa tinggal di luar negeri. Ia hanya takut, aku suka foya-foya atau hura-hura. Meski hanya berpesan seperti itu, aku sudah merasa gerah. Sejak itu, perselisihan demi perselisihan pun tak terhindarkan tiap kali kami berkomunikasi.

Sampai saat itu, aku memilih dicurigai suami ketimbang menceritakan apa adanya tentang pemotongan gaji yang dilakukan majikanku. Sebab, suamiku pasti akan marah besar jika aku mengalami nasib tak mengenakkan selama di rantau. Dan, bisa-bisa, aku diminta pulang ke tanah air. Toh, penghasilan dari bisnis salon sudah dapat diandalkan. Sementara, aku jelas masih ingin di sini, mencari modal lebih besar untuk mengembangkan salon sekaligus membiayai pendidikan anak-anak.

Dari masalah kecil, perselisihan pun belakangan semakin melebar. Bukan lagi kecurigaan, tapi sudah mengarah tuduhan. Karena tak ingin terus menerus berselisih paham dengan bapaknya anak-anak, akhirnya kuceritakan apa adanya. Bersyukur, suamiku bisa mengerti, meski awalnya sempat melontarkan sumpah serapah, mengutuki majikanku.

Namun, persoalan tak selsai di situ. Setelah setahun bekerja, tanpa alasan yang jelas, majikanku tiba-tiba tidak lagi memberi uang pengganti libur. Hasil kerjaku pun langsung menurun drastis. Aku jadi tidak serajin dulu. Komunikasi dengan majikan juga semakin jarang. Ujung-ujungnya, aku akhirnya dipulangkan oleh majikan ke agen. Bisa diduga, agenku tak peduli terhadap kekecewaanku.

Kepalang tanggung, daripada nasib terkatung-katung, aku nekat datang ke shelter Kotkiho, yang kemudian mendampingiku membuat laporan ke Labour Departement. Semua masalah kulaporkan. Mulai dari tindakan majikan yang ”hobi” memotong gaji untuk mengganti rugi barang rusak, setahun tidak dikasih libur dan tanpa ganti uang, hingga tuntutan uang tiket dan uang notis. Hasilnya? Duit segepok berhasil kudapat. Dengan uang itulah aku kini bersiap pulang ke tanah air, merenda masa depan bersama suami dana.

1 komentar:

Posting Komentar