LELAH AKU BERPIKIR

Langkahku semakin berat. Seberat beban yang ada di pundak. Ingin ku hempaskan diatas rerumputan, tapi tak mampu. Empat tahun, tanganku mengumpulkan kepingan dan serpihan-serpihan itu. Membangun, serta menyusunnya satu persatu. Tak peduli kejamnya matahari, juga pekatnya alam. Tak peduli ditertawai mulut-mulut nyinyir di simpang jembatan layang. Tak peduli senyum bangga keluarga menari-nari di telingga. Yang kupeduli, membangun impian membebaskan sekelompok ratu keluarga dirumah ratapan.

Tapi kenapa disaat cita tersembul indah, aku malah tertindih. Semakin hari terasa semakin menghimpit pernafasan. Teror demi teror mengganggu malam-malamku. Malam, yang semestinya terbui mimpi, atau melepas penat otakku. Haruskah kuhancurkan begitu saja? Ah, hilang hasratku untuk berpikir.

Mengapa dulu hatiku tergoda untuk menyusun bangunan demi banggunan. Kenapa tidak membiarkan waktuku bergulir begitu saja. Bercengkrama dengan rekan-rekan di sepanjang viktoria. Tertawa dan bercanda di lapangan sepak bola. Kenapa aku harus bersusah payah? Turun jalanan, menapaki waktu, membiarkan nadi menggigil mencengkeram pena. Tapi apakah aku salah, jika menumbuhkan asa di dalam sisi-sisi hati? Menyuarakan aspirasi kaum- kaum tertindih? Bukankah rembulan masih menuntun gerak kakiku? Menyinari lorong-lorong sempit yang hendak ku lalui.

Hanya sehari aku memiliki waktu. Separuh hari terisi kecaman, separuhnya lagi, untuk merenung, atau diam mendengarkan kidung daun nyiur. Samar, aku mendengar: siapakah gadis itu? Bibir mungil bergerak cepat, sahut bersahutan antara satu sama yang lainya. Bila saja sang waktu memberi masa lebih panjang, niatku berhenti sejenak. Menjawab tanya itu, atau sekedar unjuk muka. Tapi apakah aku puas? Tentunya tidak! Telah ku coba selangkah lebih maju. Tapi apa yang ku dapatkan? Bukan bunga, bukan hamparan permadani, bukan pula senyum ramah untuku. Apakah seenggok baju lusuh ini, mampu menjadi farfum bagi baju-baju lusuh lainnya? Mou houlan!

Kaum tertindas memang tersenyum gembira, bertepuk tangan memberi semangat kepadaku. Tapi orang-orang di atas kursi cendana, beramai-ramai membawa kayu. Wajah-wajah beringgas dengan taring-taring tajam ingin melumat seluruh tubuhku. Di vonis, dinyatakan bersalah telah melanggar hukum rimba. Di tekan, harus tutup mulut jika ingin selamat dunia akhirat. Masih tak kumengerti, dimana letak kesalahanku. Apakah semua orang tidak berhak memiliki impian? Apakah semua orang tidak boleh membangun masa depan? Apakah selamanya harus berdiri di sini, mengintari dunia orang lain? Membiarkan raga-raga layu semakin lemah? Aktifitas bercabang, aku terbuang. Ragaku terasa sakit. Aku di tampar dengan hembusan angin kencang. Dan tubuhku dilemparkan pada sudut ruang gelap.

Beri aku kesempatan, jika aku bersalah. Tunjukan padaku, dimana kesalahan itu. Beri penjelasan, jika melanggar peraturan. Duduk di depanku, dan adili diri ini. Jangan bunuh aku dengan cara menggerogoti pikiranku. Karena semua ini demi saudara-saudara yang pernah ku jumpai di rumah-rumah penyiksaan. Disana, aku melihat genangan air mata diwajah-wajah lugu. Aku melihat sosok-sosok letih di samping dipan usang. Sayup, terdengar tangisan disisi ruang, tak jauh dari tempat aku berdiri menahan perih. Akankah aku diam? Akankah aku menatap dalam keterpakuan? Akankah aku membiarkan hatiku semakin teriris? Aku punya tangan, suara dan punya akal pikiran. Aku ingin, sungguh, aku sangat ingin, tangisan itu, berubah menjadi tawa. Ratapan itu, menjadi senyum bahagia. Tidakkah aku termotifasi melepaskan borgol-borgol itu? Membuka tali temali yang mengikat tubuh teman-temanku, meski dengan goresan kata. Karena hanya itulah yang bisa kulakukan.

Bukankah mereka ingin bebas seperti burung gereja di samping rumahku. Bukankah mereka ingin berkicau seperti nuri di dalam sangkar apartemenku. Apapun alasannya, aku tak ingin membiarkan mereka menjadi mangsa penguasa yang tidak punya perasaan. Tidak dengan alat pembayaran. Cukup dengan membiarkan kepalaku menari. Aku semakin berani. Melupakan harga diri dan keluargaku. Pohon-pohon bagai gamelan tertabuh merdu, mengiringi gerak lincah pikiranku. Seperti kupu-kupu, aku menari dan terus menari. Empat tahun aku belajar. Meski hanya seorang penari latar, tapi kenyataan pahit di rumah penyiksaan itu telah mengema. Drama pembantaian yang di lakukan oleh penjaga gapura, terdengar dimana-mana. Harapku tercapai, bukan hanya mata dan telinga, yang menjadi saksi dari kekejaman itu. Dunia tercenggang!

Tubuh-tubuh yang terbebas, tersenyum lebar, bagai bunga matahari. Seketika awan pun cerah, membias di wajah-wajah itu. Bibir mungil mengucap syukur kepada yang maha kuasa. Mata berkaca-kaca, membiarkan tubuhnya bersimpuh di atas tanah basah, dibawah rintik hujan. Sisa baju yang masih melekat di badan dibiarkan berangkulan dengan lumpur. Senandung doa, yang membuat aku terkesima. Hingga aku melupakan kurus tubuhku, yang masih menari di depan rumah biadab itu.

Aku tertangkap, mulutku di bekap dengan ancaman, bukan lagi terror via phone. Lembaran dolar melayang di depan mata. Aku semakin nek, dan ludahku terjatuh ketanah. Penjaga tak punya perasaan. Dengan gagang-gagang sapu mencambuki tulang tubuhku. Pisau-pisau tajam mengores jari jemariku. Air merah menitik deras, dan aku semakin lemas. Di bawah alam sadar, tubuhku terlempar di sudut kegelapan. Dikelilingi jeruji-jeruji yang melingkar dengan kokoh. Akankah aku pasrah, membiarkan hak ku terampas? Besi itu, mematikan niatku, terbebas seperti tubuh-tubuh yang terbebas. Aku terpuruk berhiaskan mimpi buruk. Sendi-sendiku terasa ngilu.

Lalu, dimana sekelompok perempuan yang terbebas itu? Tidak ada hatikah untuk menolongku. Kenapa menghilang, membiarkan aku merasakan hidup di rumah derita? Segalanya harus ku tebus dengan mahal. Seperti pepatah jawa: nolong kepentung. Tak satupun dari mereka menoleh, mengulurkan tangan, meraih tubuhku yang lunglai tiada daya. Aku semakin resah. Sementara besi-besi semakin tinggi, tembok-tembok semakin menyempit, empu rumah dan para penjaga, telah siapkan kain kafan untuku. Kini, kursi pesakitan menungguku di gedung megah itu. Masih adakah secerah harapan untuk menatap rembulan? Ah, hilang inginku untuk berpikir. Aku letih…. Memilih menutup mata, menyebut nama DIA yang di atas sana, sebelum para penguasa menelan tubuh dan perasaanku. Bukankah masih ada masa untuk aku bangkit? Dimasa itulah, aku kan datang dengan tarian erotis. Untuk membungkam, sekaligus untuk meyakinkan: segepok uang lebih berharga dari sebuh kebebasan.Intimidasi, 13 /02/07 00:55

7 komentar di "LELAH AKU BERPIKIR"

Posting Komentar