Merasa tidak dibekali pendidikan hak oleh jasa penyalur, membuat hak Diana Wati terampas: libur tidak tetap dan gaji di bawah standar. Agar memperoleh libur, ia harus rela dipotong gaji. Untuk itu, anak buah Hing Yi Agency ini pun berusaha keras mencari informasi tentang haknya.
Bekal hukum yang amat penting sebelum memutuskan kabur dari rumah majikan. Berikut penuturannya pada Apakabar.
Usai dua tahun bekerja di Malaysia, aku (23 tahun) kembali masuk penampungan untuk memproses keberangkatan ke Taiwan. Jujur, aku tergiur ke Taiwan lantaran tawaran gajinya jauh lebih besar jika dibandingkan Malaysia, Singapura, bahkan Hong Kong sekalipun. Namun, lantaran saat itu tujuan penempatan TKI ke Taiwan ditutup, aku pindah proses ke Hong Kong. Tak mengapa. Toh, gajinya masih lebih tinggi jika dibandingkan Malaysia. Lagi pula, di Hong Kong aku punya saudara keponakan.
Aku menumpang proses ke Hong Kong di PT Tritama Bina Mandiri, Jakarta. Di tempat itu aku memperoleh pendidikan layaknya calon BMI lain. Sampai akhirnya, aku mendapat kabar ada majikan yang menginginkan tenagaku. Sebelum menandatangani lembaran kontrak kerja, seorang petugas PT antara lain menyampaikan perihal gajiku di Hong Kong. Mungkin karena desakan ingin segera bekerja, kutandatangani saja kontrak itu.
Benar saja, tak berselang lama, aku – sulung dari empat bersaudara – diberangkatkan ke Hong Kong. Sebenarnya, aku tidak pernah tahu model gaji yang dimaksud pihak PT. Gaji biasa itu yang bagaimana, dan gaji luar biasa itu yang bagaimana. Saat itu aku belum tahu dan tidak ada yang memberi tahu perihal standar gaji BMI Hong Kong. Kupikir semua sama rata, sesuai dengan yang tertulis di lembaran kertas kontrak kerja. Itu sebabnya, aku tak banyak tanya.
Begitu mulai bekerja di rumah majikan, baru aku tahu yang dimaksud gaji biasa adalah underpay. Gaji yang dibayarkan di bawah standar upah resmi. Gaji yang tidak sesuai dengan peraturan ketenagakerjaan atau yang tertera dalam kontrak kerja. Pasalnya, dalam kenyataan, aku hanya digaji HK$ 2.000 per bulan. Hak libur juga ditetapkan tidak boleh lebih dua kali dalam sebulan. Itupun aku harus dikenai potongan HK$ 100 per satu hari libur. Sama artinya aku tidak pernah menerima gaji utuh, dipotong untuk membayar hari libur.
Menyadari ada yang tidak beres, sengaja aku mengambil libur satu bulan satu kali. Aku tertarik untuk mencari informasi detail seputar hak-hak BMI. Hal itu kuanggap sangat penting, karena nasibku memang tak beruntung. Hak tak didapat, majikan pun cerewet. Beberapa bulan kemudian, informasi sudah banyak terkumpul. Aku semakin sadar, selama ini telah dikadali majikan, agen di Hong Kong dan di Indonesia.
Kedok majikan juga semakin terkuak. Rupanya, aku bukan satu-satunya BMI yang bekerja di rumah majikan dan diperlakukan menyalahi aturan. Aku adalah korban ketujuh. Fakta itu membuat aku semakin bersemangat mencari informasi tentang majikan maupun hakku sebanyak-banyaknya. Jika majikan ”nakal” seperti itu tidak dikasih pelajaran, bisa keterusan merampas hak pekerjanya.
Tetapi, walaupun bekal untuk menuntut majikan telah aku dapatkan, aku belum memiliki keberanian untuk mengambil tindakan, apalagi langsung menuntut majikan. Selain takut gagal menjadi BMI – masih harus menyelesaikan kontrak – aku belum hapal seluk-beluk Hong Kong. Ingin lari, hendak ke mana aku mencari perlindungan? Salah-salah, nasibku malah semakin terkatung-katung. Untuk sementara, terpaksa kutangguhkan rencana itu.
Karena masih belum tahu tujuan mencari tempat perlindungan jika kelak aku memutuskan kabur, kembali aku mencari info. Dan, sungguh aku tak menyangka, ternyata begitu banyak organisasi BMI di Hong Kong yang mendirikan tempat penampungan sementara (shelter). Bukan hanya ATKI tempat aku bernaung kini. Masih ada Kotkiho, Majelis Taqlim, FKMPU, dan banyak lagi lainnya.
Setelah yakin mendapat sasaran perlindungan, aku rutin melakukan konseling dengan pihak shelter yang hendak kutuju. Dari konseling tersebut, aku semakin paham bahwa majikan memang telah melakukan pelanggaran. Dari situ, aku tidak ragu lagi memutuskan kabur dari rumah majikan. Sebuah flat kecil yang sebenarnya tidak membuatku sengsara dalam bekerja.
Sesungguhnya memang sangat disayangkan, tindakan itu aku lakukan hanya sebulan menjelang finish contract. Tetapi yang namanya sudah tidak tahan, tetap saja tak bisa dipaksa. Lebih dari itu, tindakan ini juga kuanggap sebagai sebuah kesempatan. Menuntut hak pada majikan di akhir masa kontrak, kuanggap tabungan. Harapanku, ke depan, majikan juga tidak lagi mengupah rendah kaum pekerja seperti aku.
Pada meeting pertama yang berlangsung Juli lalu, majikan keberatan datang. Alasannya repot. Aku tik tahu, entah majikan takut membayar denda – tuntutanku HK$ 50,000 – ataukah murni tak bisa datang karena kesibukan. Yang pasti, aku nekat melanjutkan kasus menuntut hak yang dirampas majikan selama ini. Kini, aku berharap-harap cemas menanti sidang tribunal di Prince Edward pada 21 Agustus nanti. Akankah aku kalah, atau menang? Lancar, ataukah ditunda lagi? Aku belum tahu.
Yang aku tahu, tinggal di shelter telah membuatku meraih banyak pengalaman berharga. Selain pendidikan hak yang jelas sudah kuperoleh, aku juga bisa mendampingi teman yang baru datang ke shelter. Misal, jika ia dipukul majikan, kuantar melapor dan mengurus masalahnya di polisi. Jika ada teman yang sakit, kuantar ke dokter. Atau, jika ada teman yang dokumennya ditahan agen.
Swear, berhadapan dengan mereka-mereka membuatku semakin banyak pengalaman. Hatiku sedikit terhibur, meskipun masalahku sendiri belum tuntas teratasi. (Kristina Dian S)
KABUR JELANG FINISH KONTRAK
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar di "KABUR JELANG FINISH KONTRAK"
Posting Komentar