MAJIKAN MARAH SETIAP BERI PERINTAH


Cerita tentang majikan yang ringan tangan sudah sering kita dengar. Namun, apa yang dialami Sugeng Wahyu Ningsih, BMI asal Banjarsari Wetan, Dagangan-Madiun, ini sedikit berbeda. Hampir tiap hari ia mengaku dianiaya majikan. Anehnya, tindak kekerasan justru dilakukan di awal, saat majikan hendak memberinya perintah.
”Selama tinggal di Bathune House, saya jadi tahu, cukup banyak BMI yang mengalami nasib kurang mujur. Saya bukan satu-satunya. Walaupun sudah nurut, patuh pada perintah majikan, tetap saja saya mendapat perlakuan yang kurang bagus. Sebagai pekerja rendahan, saya merasa makin direndahkan. Lalu, apakah keadilan hukum berlaku buat saya?

Seperti banyak teman yang lain, saya pergi ke Hong Kong dengan tujuan berjuang. Ya, memperjuangkan hidup dan kehidupan seperti kedua orang tua saya yang pernah mengadu nasib ke Malaysia. Usai lulus dari SMAN Wungu, Madiun (2004), saya bertekad mengambilalih tanggung jawab. Sebagai sulung dari dua bersaudara (adik masih kecil), saya merasa, sayalah yang harus bekerja. Saya ingin membahagiakan orang tua. Biarlah saya yang ke luar negeri, sementara mereka ”diam” di rumah.

Dari situlah, saya mencoba peruntungan dengan mendaftar ke salah satu PJTKI di Jakarta Timur. Pihak PT menolak, dengan alasan: usia saya masih terlalu muda. Sebenarnya, bisa saja saya berangkat ke Malaysia atau Singapura. Tapi saya tidak mau. Karena saya tahu, dua negeri jiran itu bukan negara yang nyaman bagi buruh migran.

Info yang saya dengar, perlindungan terhadap TKW begitu lemah di sana. Bahkan, mungkin malah tidak ada perlindungan sama sekali. Berbeda dengan Hong Kong. Semua urusan diatur dalam undang-undang ketenagakerjaan, sekaligus diberi perlindungan secara baik.

Pengalaman ditolak tidak membuat saya patah arang. Bulan berikutnya, masih tahun 2006, saya mendaftar ke PT Menara Teras Bahari. Diterima. Bahkan, hanya tiga bulan berselang, saya sudah langsung diberangkatkan ke Hong Kong. Melalui agen Wan Fulco, saya ditempatkan di Flat 1/F Kai King Building, 12 Yuet Wah, Kwun Tong. Tugas saya merawat tiga anak dengan gaji underpay (HK$ 1.800).

Lima hari sejak masuk rumah majikan, saya langsung disambut dengan perlakuan kasar. Majikan saya memang ”aneh”. Setiap kali memberi perintah, pasti didahului dengan kekerasan. Pernah suatu kali, majikan menarik dan menjewer telinga saya hingga berdarah. Padahal cuma mau menyuruh menjemur baju. Sangat aneh, karena tidak dijewer pun pasti saya kerjakan.

Pernah juga saya disuruh mencuci gelas sambil merebus air. Saya kerjakan. Tapi majikan menuduh saya tidak mencuci gelas-gelas itu, karena katanya masih kotor. Anehnya, majikan tak mau menunjukkan pada saya kalau gelas tersebut memang masih kotor. Perlakuan kasar pun saya terima.

Yang paling parah adalah kejadian pada minggu ketiga sejak saya mulai bekerja. Saat itu saya dan tuan memasak di dapur. Tuan berpesan: kalau ada bekas wadah bahan masak yang kotor, langsung saja dicuci. Biar ada tempat untuk menaruh masakan yang sudah matang. Saya menuruti permintaan tuan. Begitu ada mangkok kotor, langsung saya cuci.

Melihat saya mencuci mangkok, nyonya langsung marah. Katanya, tidak boleh mencuci satu persatu seperti itu. Kalau mau mencuci barang kotor, tunggu banyak sekalian, setelah makan. Masuk akal. Setidaknya untuk mengirit air dan tenaga. Cuma, bagaimana dengan perintah tuan? Haruskah saya membangkang?

Saya katakan terus terang, saya sekadar menjalankan perintah tuan. Nyonyaku seharusnya paham. Lagi pula, kalau marah kenapa harus pada saya? Kenapa tidak pada suaminya? Serba salah. Eh, nyonya menghardik dan memukul saya. Di depan suaminya pula. Yang kusesalkan, tuan hanya diam. Tidak berusaha memberi penjelasan atau sedikit berbaik hati dengan membela saya.

Karena nyonya suka melakukan kekerasan, sebagian tubuh saya penuh dengan bilur bekas penganiayaan. Meski saya baru bekerja satu bulan dua minggu, bekas luka sangat banyak. Inilah yang membuat teman-teman, yang saya jumpai di pasar, tidak terima. Mereka menyuruh saya melaporkan tindakan majikan kepada pemerintah.

Saya sempat dilanda kebingungan. Antara melaporkan atau mendiamkan perlakuan majikan. Jika saya melapor, konsekuensinya saya tidak bekerja lagi. Dan, itu berarti saya tak punya uang. Tapi jika saya tidak melapor, bisa saja perlakuan majikan makin semena-mena.

Karena tak mau terprovokasi omongan teman, saya berusaha mengontak agen. Bagaimana pun, agen ikut bertanggung jawab terhadap nasib saya. Namun, agen menyuruh saya bertahan hingga satu bulan lagi. Katanya, lumrah majikan sering marah, karena saya masih baru. Sekali lagi, saya mencoba bertahan seperti arahan agen.

Nyatanya, tindakan majikan justru kian menjadi-jadi. Perlakuan kasarnya tak jua berhenti, meski saya sudah berusaha sebaik dan sesabar mungkin. Tak tahan, akhirnya saya putuskan untuk kabur dan melapor ke polisi. Saya tunjukkan bilur-bilur bekas penganiayaan dan jeweran di telinga. Ini saya lakukan juga dengan pertimbangan: menuntut majikan pun bisa dapat duit. Jadi, tak perlu saya memaksakan diri untuk bertahan bukan?

Namun, hukum di Hong Kong ternyata tak seperti bayangan saya. Saya pikir, cukup dengan melapor ke polisi, lalu ke Labour Department, sidang, dan saya dapat uang. Ternyata tidak begitu. Meskipun menurut saya keterangan dan bukti sudah cukup kuat dan akurat, polisi tidak serta merta menganggap demikian.

Belakangan, saya malah dituduh memberikan keterangan palsu kepada polisi yang menginvestigasi kasus saya. Ini karena majikan punya bukti alibi dari tempatnya bekerja. Keterangan yang saya berikan ke polisi berkaitan dengan hari, tanggal dan jam penganiayaan, dibantah majikan dengan menunjukkan bukti bahwa pada hari, tanggal dan jam itu ia berada di kantor.

Ujung-ujungnya, majikan justru menuntut balik saya. Kepada hakim, majikan juga membantah telah memukul atau melakukan kekerasan kepada saya. Itu sebabnya, ia menolak mentah-mentah gugatan saya.

Kini, saya ibarat hidup di ujung tanduk. Jika hakim kelak menyatakan saya yang benar, majikan masuk penjara. Tapi jika saya terbukti memberi keterangan palsu, sayalah yang dipenjara. Sampai hari ini, saya masih menunggu keputusan sidang akhir. Saya belum tahu, bagaimana nasib saya selanjutnya. Kadang timbul penyesalan, kenapa saya memilih kabur, sementara saya miskin pengetahuan soal hukum.” (Kristina Dian S

1 komentar:

Posting Komentar