KARENA CINTA AKU TAK BISA MENOLAK

Dua tahun pacaran lewat telepon, cintaku kian tumbuh bersemi setelah bertemu. Tidak ada yang mampu mengusir keinginanku untuk selalu berduaan dengan dia, pria idaman teman kakakku. Aku bangga dan tersanjung memiliki calon suami yang tampan lahir dan kepribadian, sampai kuserahkan hati dan cintaku. Namun, jarak dan waktu mengubah segalanya. Aku ditinggalkan setelah hidupku berantakan.

Di sebuah dusun di wilayah Jawa Timur, aku lahir dan dibesarkan dalam sebuah keluarga yang kurang mampu. Suatu keadaan yang membuatku enggan bergaul dengan teman-teman se-kampung. Aku selalu menahan diri untuk tidak berkumpul dengan mereka yang mayoritas usia sebaya. Apalagi jika malam Minggu tiba. Terpaksa kutolak semua ajakan teman. Aku selalu kasihan setiap kali melihat orangtuaku. Aku tidak marah ketika teman-teman mengatakan aku ”kuper” alias kurang pergaulan. Itu juga sebabnya, aku tak pernah punya pacar hingga aku berangkat ke Hong Kong.

Oh ya, aku punya kakak yang bekerja di sebuah pabrik di kota. Setiap libur, ia pulang ke rumah. Tidak jarang kakak pulang bersama kawan baiknya, sebut saja namanya A. Ia pemuda kelahiran 1978, berasal dari kota lain. A sudah lama berteman dengan kakak, tetapi ia tidak pernah tahu jika kakak memiliki adik perempuan. Maklum, ketika aku masih belum bekerja di Hong Kong, tidak sekalipun A main ke rumah.

Nah, begitu tahu kakak punya adik perempuan, A minta kepada keluargaku – termasuk lewat kakak – untuk dikenalin sama aku. Sudah pasti, perkenalan lewat telepon. Keluargaku tak keberatan. Maklum, usiaku sudah akil baligh alias telah tiba waktunya untuk memasuki kehidupan rumah tangga.

Keluargaku bilang, A memiliki kepribadian baik. Shalat lima waktu tak pernah telat. Ia juga tak banyak tingkah seperti cowok-cowok luaran yang suka mabuk-mabukan. Kata mereka, pemuda teman kakakku itu sungguh cakep. Ramah, alim, dan tidak merokok seperti kakak. Dorongan keluarga yang selalu mengkhawatirkan keadaanku jika tidak lekas menikah, membuatku membuka hati. Aku menerima salam perkenalan dari A.

Kubuka lembaran baru dalam hidupku. Lembaran yang selama ini tak pernah dihiasi kata cinta, selain hanya disesaki oleh pikiran untuk bekerja dan bekerja – menggapai masa depan. Jujur saja, hatiku bergetar saat mula pertama mendengar suaranya. Empuk, merdu...ah, kepribadian A seakan dapat kutangkap dari situ. Aku bertambah mengaguminya.

Di telepon kami sering bicara serius. Utamanya membahas masa depan hidup bersama. Kami sama-sama meyakinkan diri, jarak dan waktu bukanlah penghalang untuk membina hubungan asmara. Meski pada mulanya kami sempat meragukan hal itu. Pacaran lewat udara, bagiku tak jauh berbeda dengan pacaran face to face. Walaupun hanya dengan kata-kata dan berusaha saling meraba bayangan. Hingga tanpa kusadari, pacaran jarak jauhku dengan A telah berjalan dua tahun. Tiba waktunya aku cuti pulang ke tanah air.

Wow, sungguh suatu anugerah! Kali pertama bertatap muka dengannya, A benar-benar seperti dalam bayanganku semula. Kesannya sama seperti suaranya di telepon, juga sama seperti cerita keluargaku selama ini. Ganteng, tampan, ramah, baik... Aku juga menangkap adanya keseriusan dari sinar mata dan nada bicaranya. Aku bangga. Tersanjung punya pacar macam dia. Bukan hanya kepribadian, fisiknya pun oke punya.

Selama di kampung halaman, A tinggal di rumah kami. Kalau pun pulang ke rumahnya, tak pernah lama. Dan kalau ia datang, selalu membawa oleh-oleh dari orangtuanya untukku dan keluargaku. Kuanggap, hal itu salah satu indikasi orangtuanya merestui hubungan kami.

Sayangnya, ketika lebaran tiba, aku tak sempat datang ke rumah orangtuanya. Bukan apa-apa, orangtuaku melarang dengan alasan aku belum dipinang dan masih lebaran pertama dan kedua. Rencana kami memang akan bertandang ke sono pada lebaran keempat. Tetapi, ”kerikil kecil” membuatku mengurungkan niat. Akhirnya, A pulang sendirian setelah hari-hari lebaran full dihabiskan di rumahku.

Seiring dengan kerapnya datang dan tinggal di rumah, membuat para tetangga tahu: A adalah calon suamiku. Sering aku tersipu mendengar gurauan tetangga. Kuakui, betapa bahagia hatiku saat itu. Di mana-mana orang memuji ketampanannya. Tidak sedikit pula yang bilang, kami pasangan serasi. Duh, beginilah rasanya terhanyut dalam napas cinta. Sungguh, karena cinta, aku tak bisa menolak arus hati, juga kemauannya. Lambang seorang perawan, kuserahkan saat kami hanya berduaan di suatu tempat. Ketika itu aku tak bisa mikir, selain yakin dialah pendampingku kelak.

Setelah mengisap manisnya cinta, aku kembali ke Hong Kong. Seperti rencana kami semula, aku mengirimkan uang untuk memodalinya membuka usaha. Ya, aku sangat mencintainya. Aku rela melakukan apa saja tanpa sepengetahuan orangtuaku. Bahkan, sejak itu aku lebih mementingkan dia ketimbang keluargaku. Aku tidak rela ia menderita dan sengsara. Mendengarnya sakit saja, aku kebingungan. Aku tak mau kehilangan A. Ia segala-galanya bagiku. Cintaku teramat tulus kepadanya. Kujaga kesetiaan dan ketulusan hati untuk selamanya.

Kendati aku tak lagi di rumah, A tetap setia bertandang ke rumahku. Keluargaku sudah menganggapnya keluarga sendiri. Bahkan, orangtuaku sangat sayang kepadanya. Sampai-sampai mereka rela ngutang di warung hanya untuk menjamu A. Ibuku selalu memasak makanan enak kesukaannya. Ketika A hendak kembali ke kota atau pulang ke rumahnya, tidak sekali-dua orangtuaku meminjam uang ke tetangga untuk diberikan kepada ”calon menantu” sebagai uang saku. Aku makin yakin dan sadar telah memiliki tujuan hidup. Aku harus bisa memikirkan, bagaimana kehidupan kami kelak setelah aku tak lagi merantau.

Tetapi, manusia hanya bisa berencana. Kenyataannya, waktu dan jarak telah mengubah segalanya. Tanpa jelas asal muasalnya, sikap A tiba-tiba berubah drastis. Awalnya, ia tak pernah lagi datang ke rumah. Otomatis orangtuaku menerka-nerka, ada apa gerangan. Sampai kemudian, karena A tetap tak pernah nongol sementara aku sendiri kebingungan tak tahu alasannya, bapak dan ibuku nekat pergi ke rumah A – yang notabene cukup jauh dari kota kami. Bagaimanapun tetangga sudah tahu. Kalau hubunganku dengan A berakhir, jelas merupakan aib bagi keluarga. Begitu orangtuaku beralasan.

Beberapa jam orangtuaku rela duduk penat dan berpindah-pindah kendaraan umum. Sekadar untuk ”mengejar” penjelasan dari A, agar permasalahan tidak semakin berlarut-larut. Sebelum orangtuaku berangkat, A sudah mengirim SMS kepadaku, mengaku sedang tidak ada di rumah. Namun setelah itu, nomor HP baru yang dipakainya itu tak bisa lagi kuhubungi. Mungkin ia takut orangtuaku benar-benar datang, atau takut kutelepon.

Setiba di rumah A, ternyata pria yang kusanjung itu ada di sana. Cuma, penampilannya sudah tak secakep dulu. Dekil. Orangtuaku, yang diantar paman, disambut dengan baik oleh keluarga A. Orangtuaku menyampaikan tujuan kedatangan, juga mewakili aku meminta maaf kepada mereka. Orangtuaku tidak ingin membuatku terganggu, memikirkan masalah yang – bagiku – cukup rumit ini. Kata orangtuaku, putus hubungan sama artinya dengan membuat malu keluarga. Dan, rasa malu tak dapat ditebus dengan uang. Orangtua A berkilah, ingin mencari menantu yang se-daerah. Tak mau menantu jauh. Akhirnya, mereka minta waktu untuk berpikir, setelah orangtuaku bilang: aku bisa tinggal di rumah paman yang se-daerah dengan A.

Sesampai di rumah dan beberapa hari menunggu jawaban, A kemudian menelepon, menyatakan bahwa hubungan tak bisa dilanjutkan. Orangtuaku yang mati-matian berniat membahagiakan aku, merasa terpukul. Terlebih ibuku, yang selama ini begitu dekat denganku. Jauh-jauh datang mencari keputusan, eh, beroleh jawaban yang tidak memuaskan.

Ketika orangtua mengirimkan SMS, aku baru pulang menghadiri pertemuan dengan teman-teman yang menggeluti bisnis denganku. Akhirnya kutelepon mereka, dan langsung berbagi kesedihan mendengar cerita mereka. Bapak dan ibu memintaku agar aku ikhlas menerima kenyataan ini. Hubunganku dengan A sudah tak bisa lagi diperbaiki. Kutangisi diriku. Kutangisi orangtuaku yang sudah renta, tetapi rela datang ke rumah A.

Aku benar-benar gila menerima kabar itu. Setelah mematikan telepon, saat itu juga aku berlari ke mushala KJRI. Aku memohon agar diberi ketabahan, juga berdoa meminta kepada-Nya agar A juga merasakan sakit seperti yang kurasakan. Bagaimana tidak sakit hati, A meninggalkan aku tanpa alasan yang jelas. Baru di kemudian hari aku tahu, A telah dijodohkan dengan gadis lain.

Saat itu, rasa putus asa sempat melanda hidupku. Yang ada dalam pikiranku hanya mengakhiri hidup. Aku terpuruk dan tak yakin masih bisa bangkit melewati masa-masa menyakitkan itu. Untungnya, wajah orangtuaku selalu bermain di pelupuk mata. Aku masih ingat pada saat aku pulang cuti, wajah mereka sudah keriput. Rasanya sangat berdosa jika aku mengambil jalan pintas untuk bunuh diri lompat jendela atau minum racun.

Komunikasi dengan orangtuaku semakin lancar. Hampir setiap hari aku menghubungi mereka. Meminta kekuatan dan mencari semangat hidup. Tanpa mereka, tentu, aku tak punya pegangan hidup. Ya, merekalah yang selalu memotivasi aku untuk bangkit dan bangkit dari keterpurukan. Sungguh rugi menyia-nyiakan hidup.

Sejujurnya, air mataku sering menetes tiba-tiba ketika berbicara dengan bapak dan ibu. Sepertinya mereka masih sangat terpukul. Untuk itu, aku mencoba menghibur dan membesarkan hati mereka, meski kulakukan di atas dusta. Terpaksa aku berbohong, mengaku sudah punya calon pendamping pengganti A. Ketampanan dan kebaikan hatinya melebihi A. Ia juga sudah punya pekerjaan tetap. Aku berharap, orangtuaku tenang dan tidak banyak memikirkan aku lagi. Swear, dalam relung kalbuku sebenarnya menjerit mengatakan kebohongan itu. Maklum, sama sekali aku belum punya bayangan tentang sosok pengganti A. (Penuturan anggota TTM kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

5 komentar di "KARENA CINTA AKU TAK BISA MENOLAK"

Posting Komentar