KARENA NENEK TANGANKU BELANG

Badannya kelihatan segar. Sesegar senyumnya yang terus mengembang saat berjumpa dengan Apakabar di kantor ATKI, beberapa waktu lalu. Menurut Yeti, gadis BMI itu, tinggal di rumah singgah (shelter) bukan berarti harus dilalui dengan mengumbar kesedihan. Toh, ia tak menampik, senyum dan tawa yang kerap menghiasi bibirnya lebih untuk mengurangi beban pikirannya.


Saat berbincang dengan Apakabar, Yeti memang tak banyak berkomentar tentang asal muasal dirinya masuk shelter. Begitu juga ihwal jati dirinya, termasuk soal lengan kirinya yang masih meninggalkan bekas luka bakar. Namun, cerita pedihnya selama bekerja di rumah majikan, mengalir cukup lancar. Berikut curahan hati Yeti:
”Untuk kali pertama, aku datang ke Hong Kong pada tahun 2002. Majikan pertamku tinggal di daerah Kwoolon Tong. Di situlah aku bekerja melayani empat anggota keluarga, dengan tugas utama merawat bocah idiot berusia 13 tahun. Pekerjaanku terasa berat, meski sehari-hari hanya menjaga anak yang tak bisa apa-apa itu. Maklum, ke mana-mana ia harus digendong. Padahal, selain berbadan bongsor, beratnya juga minta ampun. Meski rada keteteran, aku masih bersyukur. Merawat anak idiot relatif tidak banyak komplain. Ia sangat penurut dan patuh kepadaku.

Walaupun kondisi fisiknya seperti itu, sifat anakku tergolong buruk, apalagi ketika sedang marah. Ia suka membanting-banting barang. Tak peduli betapa berharga dan mahalnya barang-barang yang jadi sasaran kemarahannya itu. Untung saja, majikanku tak pernah memarahi aku maupun anak asuhku. Paling-paling memberikan teguran kepada nenek, yang selalu saja memancing kemarahan anakku.

Nenek memang jadi pemicu masalah. Aku sendiri kadang merasa kesulitan menghadapi sikap nenek yang selalu menilaiku tak becus bekerja. Tidak sekali-dua nenek mengadukan aku kepada kedua majikanku. Beruntung, majikanku tak pernah menanggapi pengaduan nenek. Artinya, di benakku, majikanku adalah orang yang baik. Setidaknya, mereka tidak mudah terpengaruh oleh omongan orang lain, kecuali melihat dengan mata kepala sendiri.

Yang pasti, kendati hari-hari yang kujalani di rumah majikan pertamaku ini sangat menyiksa, tetapi aku merasa betah bekerja di tempat itu. Tak mengapa aku keteteran, menggendong anak ke sana kemari, atau selalu dimarahi nenek. Kupikir, ya begitulah risiko bekerja ngikut orang. Harapanku tentu hampir sama dengan harapan buruh migran umumnya: bagaimana bisa bertahan hingga kontrak berakhir.

Namun, harapan tinggallah harapan. Aku yang telanjur disayangi majikan, ternyata harus mengalami nasib dideportasi ke kampung halaman. Sangat menyedihkan. Gara-garanya, tuanku yang bekerja di salah satu perusahaan di Hong Kong ini mendadak terkena musibah: di-PHK atasannya. Tuan yang menandatangani kontrakku pun menganggur. So, tak ada pilihan kecuali memulangkan aku ke tanah air.

Menyadari cita-citaku belum kesampaian, aku memutuskan kembali bekerja di Hong Kong – setelah beberapa bulan masuk dan menunggu di PT. Kali ini aku bekerja di daerah Kwun Tong, di sebuah apartemen yang tak seberapa besar. Pada majikan kedua ini, kembali aku beroleh tugas merawat anak. Usianya sembilan tahun. Sama seperti pada majikan pertama, jumlah anggota keluarganya pun empat orang, termasuk seorang nenek.

Lagi-lagi, persis sama dengan pengalamanku dulu, aku berhadapan dengan nenek yang tak sayang dan ramah pada pembantu. Segala pekerjaan yang kukerjakan selalu dinilai tidak benar. Pendeknya, plek jiplek dengan nenekku di majikan pertama. Ada saja alasan nenek untuk memarahi aku, dan selalu berujung ke pengaduan pada majikan. Beruntungnya, majikanku yang ini pun tidak serta merta menelan pengaduan orang tuanya.

Tetapi, mungkin justru karena anaknya ”tak berpihak” kepada dirinya, sikap nenek terhadapku semakin tidak ramah dan kebablasan. Tak bisa lagi ditolerir oleh akal sehat. Puncaknya adalah ketika nenek menyiram lengan kiriku dengan air panas bekas cing minpao. Peristiwa pada pagi hari itu bermula saat nenek menyuruhku mencuci cangkir. Entah mengapa, air kran tiba-tiba berhenti mengalir. Berkali-kali kuputar dan kuutak-atik, air tak juga keluar.

Lantaran aku tak selesai-selesai mencuci cangkir, nenek langsung mendampratku. Apalagi saat mendengar penjelasanku bahwa ada masalah dengan kran air. Nenek bertambah marah. Aku dituduh sebagai biang dari kerusakan itu. Sembari mencak-mencak tanpa juntrungan, tak kuduga, nenek menyiramkan air panas ke lenganku. Saat itu juga, kesabaranku sebagai pekerja – yang sebelumnya selalu mengalah – tak bisa lagi kupertahankan. Tanpa menunggu majikan pulang kerja, aku memutuskan lari ke agenku di Central. Aku berharap, sang agen mau membantuku menangani kasusku tadi.

Sial, agenku ternyata tak serius membantu. Malahan, mereka seperti membiarkan masalahku berlarut-larut. Agen berpendapat, kesalahan tetap ada pada diriku. Karena tak mau masalah terus menggantung, akhirnya kuputuskan meninggalkan rumah agen, lalu pergi meminta bantuan ke shelter ATKI. Kepalang tanggung, tindakan nenek langsung kulaporkan ke Labour Department Hong Kong. Ya, karena ulahnya, tanganku kini menjadi belang. (Kristina Dian S.)

0 komentar di "KARENA NENEK TANGANKU BELANG"

Posting Komentar