KECELAKAAN MENGOYAK KETEGARANKU

Gara-gara keteledorannya sendiri, Yuli – BMI asal Lampung – terperosok ke dalam lobang galian. Gadis 31 tahun itu sempat kehilangan ketegaran, takut kakinya diamputasi.
Kepada Apakabar, Yuli yang kini tinggal di shelter ATKI itu bertutur tentang musibah yang menimpanya.
Tidak ada yang mampu menghentikan rasa syukurku kepada Allah. Dengan cinta-Nya, aku selalu beroleh kemudahan dan peruntungan selama hidup di perantauan. Mungkin, Tuhan tidak menutup mata terhadap niatku yang tulus: mencari uang demi orang tua dan adik-adikku yang berjumlah enam orang. Padahal, ketika berpisah dengan keluarga, usiaku baru 12 tahun. Boro-boro ijazah sekolah, kemampuan baca tulisku pun ala kadarnya. Yang kupikirkan hanya satu: mengangkat derajat keluarga agar hidup sedikit lebih enak dan ”dipandang” oleh warga kampungku di Lampung.
Setelah jenuh mengadu nasib di ranah Jawa, aku mencoba peruntungan dengan masuk penampungan. Melalui PT ACM-Jakarta, aku memproses pekerjaan sebagai TKW di Hong Kong. Karena aku sendiri gagal dalam pendidikan, sedari awal aku berangan, adik-adikku tidak mengikuti jejakku. Mereka harus sekolah lebih tinggi, lebih berhasil dari aku, sehingga bisa lebih cepat membantu mengangkat taraf hidup keluarga.
Sesuai harapan, pada 1999, aku terbang ke Hong Kong. Sebagaimana saat mengadu nasib di tanah air, aku kembali beruntung memperoleh majikan yang baik. Hubunganku dengan majikan dan seisi rumah juga tak ada kendala. Bahkan, sedikit pun tak pernah kualami perlakuan diskriminatif, seperti yang kudengar banyak dialami oleh teman-temanku. Suasana kerja yang kondusif, membuatku sukses menyelesaikan kontrak kerja tanpa masalah.
Tetapi begitulah, kemalangan selalu sulit ditolak. Saat bekerja pada majikanku yang terakhir, Tuhan rupanya memberiku cobaan. Suatu musibah yang, kalau mau jujur, amat berat kuterima. Tentu, ini di luar kesadaranku bahwa setiap manusia pasti mengalami cobaan dalam hidupnya. Masalahnya, mungkin karena tidak ada tanda-tanda sebelumnya, kali ini aku benar-benar kehilangan ketegaran dalam menghadapi dan menyikapi cobaan.
Di Wampo Gardens, aku tinggal dengan majikan yang bekerja sebagai staf Imigrasi. Tugasku merawat anak, juga membersihkan rumah layaknya pekerja buruh migran. Aku memang beruntung memiliki majikan yang sangat perhatian dan sayang padaku. Seluruh hakku sebagai domestic helper diberikan, sesuai perjanjian dalam kontrak kerja. Sampai kemudian, musibah itu datang tak terelakkan.
Sore itu, sekitar pukul 4, aku keluar rumah untuk menjemput anak asuh pulang les, sekalian mampir ke pasar buat belanja. Sepulang berbelanja, aku kembali melintas di jalanan yang sekitar sejam lalu sudah kulalui. Aku ingat, ketika melintas tadi, tak kulihat kesibukan orang-orang yang sedang bekerja memperbaiki jalan. Karenanya, dengan perasaan nyantai, tanpa menoleh kanan-kiri, aku nyelonong begitu saja.
Tiba-tiba, hanya dalam hitungan detik...bles, aku terperosok ke sebuah lobang galian yang cukup dalam. Tempat itu seketika gaduh mendengar aku berteriak kesakitan dan minta tolong. Para pekerja galian berusaha maksimal untuk menolong dan mengeluarkan aku dari lobang sialan itu. Saat itulah aku baru sadar, jalan yang tadi kulalui kini sudah dibongkar untuk perbaikan jalan dan drainase (saluran air). Kulihat, beberapa pekerja sedang sibuk menggali lobang.
Yang kusesalkan, sama sekali tak kulihat rambu-rambu peringatan yang lazim dipasang di area perbaikan. Keteledoran yang setiap saat bisa membuat orang lain celaka. Cuma, haruskah aku menyalahkan para pekerja itu? Tidakkah aku sendiri juga teledor, lantaran memakai kacamata kuda saat melintas di jalan umum?
Ah, sudahlah. Bukan itu yang harus kupikirkan. Rasa sakit yang menjalar di kakiku, membuatku terus mengaduh. Aku benar-benar disergap rasa putus asa. Jangankan melangkah, untuk berdiri tegak saja aku tak mampu. Bersyukur, tak sampai 10 menit, mobil ambulans yang kuhubungi via telepon datang dan langsung membawaku ke rumah sakit terdekat.
Separuh ketegaranku terasa hilang melolosi tulang-tulangku, ketika dokter mengharuskan aku opname. Katanya, berdasarkan hasil rontgen, tulang siku kaki kiriku patah. Saat itu juga aku merasa takut, jangan-jangan kakiku harus diamputasi. Aku tak dapat membayangkan, bagaimana jadinya hidupku nanti? Apakah aku masih bisa bekerja, mencari uang untuk keluargaku? Masihkah pula hidup ini berarti jika hanya dengan satu kaki? Predikat yang kusandang – dari teman-teman – sebagai wanita penyabar, tabah dan tegar, seketika hilang.
Tiap hari aku hanya bisa menangis di atas pembaringan, menyesali nahas yang menimpaku. Ya Allah, kenapa peruntungan yang selama ini kuperoleh, dalam sekejap berbalik menjadi penderitaan? Secara materi, bisa dibilang, aku cukup berhasil. Mampu mengentaskan keluarga dari jerat kemiskinan, juga menjadikan adik-adikku menuai keberhasilan. Aku memang puas secara batin. Namun, entah kenapa, kali ini aku benar-benar merasa terpuruk dan kehilangan kepercayaan diri.
Sahabat, teman, dan majikanku sebenarnya cukup solider dan bersimpati terhadap musibah yang menimpaku. Mereka memberiku kekuatan dan semangat hidup. Bersyukur pula, majikan mau membantu menguruskan asuransiku. Bahkan, mereka juga tetap menggaji dan memberiku uang makan. Masalahnya, itu tadi, bagaimana jika kakiku sampai harus dipotong?
Alhamdulillah. Tuhan rupanya mendengar pintaku dan mengabulkan doa yang tiap malam kupanjatkan. Kata dokter, kakiku tak perlu diamputasi. Bahkan, setelah menginap 1,5 bulan, aku sudah boleh keluar dari rumah sakit.
Sebenarnya, usai kejadian itu, aku langsung menghubungi pihak KJRI. Namun, ketika akhirnya mereka datang, aku sudah terlalu lama menginap di rumah sakit. Itu juga yang membuatku ragu untuk tinggal di KJRI. Tinggal di rumah majikan? Sama tak enaknya. Selain merepotkan, belum tentu ada yang mengontrol kondisiku.
Alhasil, atas persetujuan majikan, aku memilih tinggal di shelter ATKI dengan biaya hidup dan berobat ditanggung asuransi. Di shelter ini aku membaur dengan teman-teman yang mayoritas sedang bermasalah. Di sini pula aku bisa merasakan, ternyata aku tidak hidup sendirian. Aku masih punya teman, saudara, dan keluarga yang mau mengerti. Jadi, untuk apa aku harus putus asa? (Kristina Dian S)

0 komentar di "KECELAKAAN MENGOYAK KETEGARANKU"

Posting Komentar