MAJIKAN SAKIT, PEMBANTU JADI SASARAN

Baru 16 bulan bekerja, Kartini – BMI asal Cilacap – sudah kenyang menerima siksa majikan. Karena keluhan ke agen tak kunjung ditanggapi, ia akhirnya melapor ke polisi usai kembali disiksa. Saat itu, tetes darah dari salah satu anggota badannya masih tercecer di kamar mandi dan belum sempat dibersihkan.

Kartini yang satu ini sungguh mengenaskan nasibnya. Bekerja di Flat C 3 Blok 6 Wampo Garden-Hung Hom, sejak 21 Januari 2006, BMI eks-Malaysia ini benar-benar sudah kenyang beroleh siksa fisik dari majikan perempuan. Pemicunya: BMI yang bertugas merawat sepasang anak – kelas 2 SMP dan 5 SD – ini kurang paham dengan perintah majikan maupun anak asuh. ”Misal, jika saya salah mengambil barang yang diperintahkan,” aku Kartini kepada Apakabar. Berawal dari seringnya ”salah dengar” itulah, lambat laun, nyonya melakukan tindak kesewenang-wenangan.

Kendati majikan laki-laki dan anak asuh sulungnya sangat baik kepadanya, Kartini mengaku sudah lama tak betah bekerja di tempat itu. Ia mencoba bertahan, terutama dengan mengingat tujuannya berangkat ke Hong Kong. Selain itu, keluhan atas perlakuan sang nyonya telah ia sampaikan ke agen. Tak kurang tiga kali ia melapor ke agen yang berkantor di Mong Kok. ”Tapi agen nggak percaya. Terkesan menyepelekan masalah yang saya hadapi.” Dari situ, Kartini berpikir untuk tidak lagi berkeluh kesah ke agen. Sampai suatu kali, ia mengalami penganiayaan fisik terberat, yang kini kasusnya ditangani kepolisian Hong Kong.

Peristiwa hebat itu terjadi Rabu, 16 Mei lalu. Saat itu, nyonya majikan tidak pergi mengajar karena demam. Pagi, setelah mengantar si bungsu berangkat ke sekolah, Kartini buru-buru pulang. Harapannya, ia bisa segera memasak buat nyonya yang sedang berbaring di kamar. Namun, sang majikan rupanya bukan tergolong orang yang mau di-”istimewakan”. Perhatian dan niat baik Kartini dianggap berlebihan. Ujung-ujungnya, justru memicu kemarahan. Pagi itu, kemarahan tidak dibarengi dengan pemukulan. ”Saya sendiri tidak tahu, kenapa nyonya tiba-tiba marah. Tapi saya maklum, karena nyonya sedang sakit,” tuturnya.

Setelah diomeli, Kartini pergi belanja ke pasar. Ini sudah menjadi rutinitas Kartini selama bekerja di rumah dengan empat anggota keluarga itu. Bangun pagi menyiapkan kebutuhan seluruh penghuni rumah. Berlanjut dengan mengantar si bungsu sekolah. Di rumah sebentar, ia langsung belanja, lalu memasak untuk dikirim ke sekolah anak. Ia kemudian membereskan rumah hingga pukul 3, lalu menjemput anak pulang sekolah. Tumpukan pekerjaan baru berakhir pada tengah malam.

”Awalnya memang berat, tapi lama-lama terbiasa juga,” ungkap Kartini. Baginya, mengatur waktu bukan hal yang sulit. Seperti juga pada Rabu itu, yang ternyata memicu amarah nyonya. Siang itu, sebelum menanak nasi, ia membersihkan dan memotong sayur yang hendak dimasak. Di tengah kesibukan, nyonya menghampiri. Melihat nasi belum matang, nyonya menuding Kartini tak becus mengatur waktu. Nyonya naik darah. Diraihnya handuk kecil, lalu dilemparkan ke muka Kartini. Tak puas, nyonya juga mengambil sendok kuah dan kembali dilemparkan ke pembantunya. Kartini menghindar. Akibatnya, alat dapur itu mengenai tempat lain dan patah.

Khawatir terlambat mengantar makanan ke sekolah, nyonya melarang Kartini masak nasi. Disuruhnya si pembantu mampir membeli nasi di Jusco Supermarket sebelum berangkat ke sekolah. Karena tempat nasi terlalu besar dan tak cukup dimasukkan ke dalam tas yang berisi lauk-pauk, oleh Kartini nasi tersebut dimasukkan ke dalam gelas yang terbuat dari karton. Pembungkusnya dibuang.

Dari sekolah, Kartini langsung pulang untuk melanjutkan pekerjaan. Sementara, nyonya masuk ke kamar setelah bertanya ke Kartini soal kiriman makanan untuk anaknya. Sesuai jadwal, pukul 3 sore ia kembali ke sekolah untuk menjemput Siuce. Tak sampai sejam ia telah kembali. Wajar, mami menanyakan perihal makanan yang dikirimkan pembantu kepada anaknya. Wajar juga jika akhirnya nyonya marah-marah kepada si pengirim makanan.

Apa pasal? Rupanya, si anak dengan polos mengeluh, ”Nasinya kok ditaruh dalam gelas? Nasinya juga dingin. Perutku jadi sakit.” Mendengar keluhan anaknya, nyonya langsung beraksi. Kali ini bukan bibir saja yang bicara, tangan pun ikut mencakar. Apalagi saat mengetahui si anak masuk kamar mandi, buang air besar.

Kartini berusaha meluruskan. ”Jam segini memang biasanya dia masuk WC, Nyah. Setiap hari nyonya kan kerja, jadi nyonya ndak tahu. Kalau perutnya sakit, kenapa dia ndak nangis dan minta obat?” jawab Kartini. Mendengar kilah tersebut, nyonya makin tak bisa menahan hati. Dicakar-cakarnya leher pembantunya. Kartini tak mau kalah. Ia layani omelan nyonya. Karena terus-terusan dibantah, nyonya bertambah marah. Lengan Kartini dipukul dan dicakar, hingga darah segar menetes ke lantai kamar mandi.

Sekitar pukul 5 sore, nyonya keluar rumah bersama si bungsu. Kartini masuk kamar mandi dan melihat bercak darahnya masih tercecer di sana. Kartini pun langsung menghubungi kepolisian. Tentu melalui telepon genggam yang dimiliki tanpa sepengetahuan majikan. Awalnya, ia berniat menghubungi agen. ”Tapi saya urungkan, karena sudah tiga kali melapor tak pernah dapat tanggapan positif,” terangnya.

Tak lama, polisi dan mobil ambulans datang. Setelah menunjukkan darah di kamar mandi dan sedikit memberikan keterangan, Kartini dilarikan ke RSU Queen Elizabeth guna menjalani pemeriksaan kesehatan. Sementara, pihak kepolisian baru menghubungi majikan setelah si pembantu ditangani polisi.

Karena masih harus memberikan keterangan, usai menerima obat dari dokter, Kartini dibawa ke kantor polisi Hung Hom. Kendala sempat ditemui, lantaran dokumen Kartini dipegang agen. Pasalnya, Kartini kurang paham berbahasa Kanton dan Inggris. Alhasil, interogasi baru kelar pukul 3 dini hari. Itupun setelah polisi menghubungi penerjemah. Karena tak tahu mana-mana, si penerjemah ”mengungsikan” Kartini ke Bathune House, Jordan, menunggu kasusnya diproses.

Dalam sidang Labour yang digelar Juni lalu, Kartini mendapatkan haknya dari majikan sebesar HK$ 10.000. Tetapi dalam sidang polisi (kriminal) pada 18/7, masih belum diperoleh keputusan. Pasalnya, majikan tidak terima dituntut pembantunya dalam kasus penganiayaan. Ini karena nyonya bekerja sebagai guru, yang seharusnya memberikan contoh dan teladan yang baik. Bukan saja kepada anak didik dan masyarakat, tapi juga kepada pekerjanya. ”Sidang kedua digelar Agustus ini,” ujar Kartini, yang menunggu kasusnya kelar sembari berusaha mencari majikan baru. (Kristina Dian S)

2 komentar di "MAJIKAN SAKIT, PEMBANTU JADI SASARAN"

Posting Komentar