KEPINCUT DUDA AKU MENJANDA

Kuserahkan hidup pada seorang duda,meski harus melanggar larangan orang tua. Bahagia sempat kudapat. Namun harapanku hidup bersama selamanya, kandas di tengah jalan. Suami kembali ke haribaan Illahi, di tengah aku berjuang melahirkan buah kasih sayang.
Putih, begitu sapaan orang-orang kepadaku sejak aku masih bocah. Ini karena kondisi fisikku, dari ujung rambut sampai ujung kaki, seluruhnya seragam berwarna putih. Ya, aku memang memiliki ''kelainan''. Bahkan di antara keluarga, hanya aku yang berbeda. Tapi aku bersyukur sebagai bungsu dari empat bersaudara aku sangat disayangi keluarga..

Aku lahir dari keluarga yang harmonis dan bahagia. Ibuku seorang pahlawan tanpa tanda jasa di kota S, kelahiranku. Ayahku bendahara di instansi pemerntah. Kedua kakaku sudah menikah. Kakak satunya lagi kuliah sembari kerja. Ia jarang pulang karena memilih kos dekat dengan kampus.

Sungguh aku tak menyadari, kapan persisnya aku jatuh cinta pada Pak Arif, ayah satu anak murid kelas 5 SD. Pria berusi 37 tahun itu kerja satu bagian dengan ayah. Ia sering main kerumah, membawa serta anaknya. Tak jarang Yolan, anak itu, dititipkan kepada kami jika ayah dan Pak Arif tugas keluar kota. Mungkin karena sering datang, duda cakep berwajah kaeln itu sudah kami anggap seperti keluarga sendiri. Yolan sangat penurut dan patuh. Ia sering kuajak jalan-jalan, kadang bersama Pak Arif. Bagiku Pak Arif sangat baik. Ia perhatian dan enak dijadikan tempat curhat. Pokoknya ia sayang banget sama aku, hingga membawaku-secara perlahan- pada persaan simpati.

Rupanya, orang tuaku mencium aroma lain dari sikapku. Mereka lalu memancing lewat pertanyaan. Dengan malu-malu, kubilang: aku memang suka pada Pak Arif. Mendengar itu mereka langsung marah. Katnya aku tak boleh jatuh cinta pada duda. Boleh pacaran tapi harus dengan pemuda lajang. Aku benar-benar tak memahami jalan pemikiran itu. Apa iya seorang gadis memang harus menikah dengan perjaka? Orang tua sampai bilang, pacaran dengan duda bisa menimbulkan aib keluarga. Mereka khawatir masyarakat menganggapku gadis tak laku yang bisa saja di hubungkan dengan kondisi fisikku. Tapi, bagaimana membujuk hati yang terlanjur sayang?

Seumur-umur tak pernah aku mendapat teguran keras dari orang tua. Selama ini mereka selalu bicara lembut. Tapi mendengar kejujuranku bukan cuma orang tua yang marah, kakak-kakak pun bersikap sama. Aku kecewa berat tak satupun yang berada di fihakku. Aneh, sejak aku kena damprat orang tua, Pak Arif jadi tak pernah ke rumah. Mungkin, juga ditegur ayah. Sepulang kuliah sering aku mampir ke pondokannya, tapi mereka selalu tak ada. Belakangan menurut info tetangga, Pak Arif dan anaknya kembali ke kampung halaman. Ingin menyusul mereka tapi aku tak tahu alamatnya.

Iseng, siang itu aku sengaja mampir ke kantor ayah. Alasanya, minta uang semesteran. Padahal urusan yang begituan sebenarnya tanggung jawab ibu. Kedatanganku kekantor ayah sebenarnya memang lebih untuk memastikan keberadaan Pak Arif. Apakah masih bekerja di sana atau mengundurkan diri. Ups, ternyata orang yang kucari masih ada. Kebetulan saat itu ayah sedang istirahat makan di kantin. Aku seperti menemukan emas segede kerbau. Aku dan Pak Arif hanya mampu saling pandang. Bibirku kelu tak satu kalimat pun terucap. Pak Arif nanpaknya mengerti kegundahanku. Diberinya aku kunci pondakan dan memintaku menunggu.

KABUR, LALU MENIKAH

'' Apakah sudah kamu pikirkan matang-matang?''tanya Pak Arif untuk kali kesekian. Mungkin ia sudah letih menasehatiku panjang lebar dan menyuruhku pulang, sementara pendirianku tetap tak berubah. Aku ingin selalu dekat denganya. Akhirnya malam itu juga kami memutuskan berangkat ke kampung halamn Pak Arif di kota T. Menikah? sebenarnya aku tak berfikir tentang itu. Aku memang sayang dan ingin selalu bersama, tapi bukan berarti harus di akhiri dengan pergi ke penghulu, bukan? Saat itu aku memang tak paham, kenapa aku jadi seperti itu. Seakan tak punya pendirian. Aku menolak menikah tapi ingin selalu bersama.

Ku lihat Pak Arif juga binggung. Di depan keluarganya ia tak banyak bicara. Tak ingin memaksaku juga memaksa keluarganya. Sampai kemudian Pak Arif pergi ke kota tak pulang -pulang. Aku tahu ia butuh waktu untuk menyendiri. Tapi apakah tak pantas ia datang untukku yang sudah tinggal bersama keluarganya di kampung? Keadaan memaksaku menerima keinginan keluarganya: menikah di bawah tangan. Tak satu pun keluargaku hadir. Sejak aku kabur, mereka belum berhasil menemukan keberadaanku. Yang ku dengar Pak Arif, beberapa kali ditanyain keluarga. Ia menjawab tidak tahu. Berhubung Pak Arif tak pernah absen masuk kantor, mereka percaya. Yang pasti sejak menikah tidak ada yang berubah dari Mas Arif-begitu sapaku padanya setelah menikah-. Ia tetap pulang seminggu sekali.

Sampai suatu hari, Mas Arif pulang bersama seorang pria dan wanita. Aku panik mengira mereka orang kantor. Aku langsung lari kerumah mertua. Sembunyi!. Aku kawatir mereka mengenaliku dan melaporkan ke ayahku. Kuperhatikan mereka dari balik kaca nako, tapi tak ada yang mencurigakan. Untungnya Yolan belum pulang sekolah, mertua juga sedang keluar rumah. Ketika aku masih dalam persembunyian, Mas Arif tiba-tiba masuk rumah mertua. Aku kaget. Kuberi salam dan mencium tanganya seperti kebiasaanku sejak menikah. ''Ngapain disini?'' ia bertanya. Kujelaskan ketakutanku. Lantas dari bibir Mas Arif meluncur pengakuan yang membuat hatiku terbakar. Perempuan itu ternyata bekas istrinya. Ia datang bersama adiknya.

Kami langsung bisa akrab, terlebih setelah Yolan pulang sekolah. Kami sempat jala-jalan di pusat kota. Anak tiriku sangat akrab dan dimanjakan oleh Mbak Tina, ibunya. Tapi entah kenapa, hatiku kerasa tak tenteram. Cemburu. Bayangan buruk menghantui pikiran. Aku takut wanita itu merebut itu merebut suami dan anakku. Apalagi aku tengah mengandung delapan bulan. Selama tiga hari Mbak Tina dan adiknya menginap di rumah mertua. Meski hatiku sakit, kucoba bertahan. Kami selalu makan bersama tiap malam dan merelakan Yolan tidur dengan ibu kandungnya. Sejak mereka di rumah suamiku mengambil cuti tahunan.

Mertua dan keluarga Mas Arif teramat sayang pada Mbak Tina, meski sudah ceria dengan suaminya. Baru aku tahu Mbak Tina masih ada hubungan darah dengan Mas Arif, sehingga di tentang oleh keluarganya. Ia di asingkan ke Australia, melanjutkan sekolah dan tinggal dengan familinya di sana. Keadaanku makin runyam mendengar mantan istrinya suamiku itu tak berniat balik ke Australi. Sementara Yolan juga semakin lengket pada ibunya. Sampai-sampai ketika Mbak Tina pamit pulang ke Semarang, Yolang nangis ingin ikut. Aku dan Mas Arif kehabisan akal membujuk dia. Terpaksa kami yang mengalah, membiarkan Yolan di bawa ibu yang sudah enam tahun meninggalkannya. Mbak Tina berjanji, seminggu lagi Yolan akan diantar pulang.

Tetapi baru sehari Yolan pergi suasana rumah terasa sepi. Tak terdengar tawa dan candanya. Semalaman kami tak bisa tidur memikirkan Yolan. Aku begitu kawatir terjadi apa-apa terhadap anak tiriku itu, meski ia bersama ibu kandungnya. Aku teramat menyayangi dia melebihi segala-galanya. Karena tak bisa menghibur hati, kami menyusul ke Semarang. Namun Mbak Tina tetap tak mengizinkan anak itu kami bawa sebelum genap seminggu. Kembali, kami mengalah dan pulang dengan tangan hampa.
Seminggu berlalu, Yolan belum juga diantar. Ketika ditelepon, Mbak Tina bilang belum ada kesempatan untuk mengantar. Yolan sendiri jadi pintar membantah: bilang tak mau pulang jika tidak dijemput bapaknya. Akhirya Mas Arif pergi sendiri ke Semarang. Dan kejadian itu berlanjut pada hari-hari berikutnya. Mbak Tina dan Mas Arif bergantian menjemput Yolan yang kini rutin 3 hari di rumah ibunya dan tiga hari bersama kami. Aku tak pernah ikut karena perutku semakin besar dan siap melahirkan.

Sampai suatu malam, perasaanku was-was. Mas Arif yang pergi ke Semarang menjemput Yolan tak kunjung datang meski hari telah mendekati pagi. Cemburuku pun menjadi-jadi. Jangan,jangan telah terjadi sesuatu pada suami dan ank tiriku. Jangan,jangan Mbak Tina ingin merebut kembali mereka dari tanganku. Paginya aku bolak balik ke wartel, menelepon ke Semarang, tapi tak ada yang menaggkat. Dadaku serasa sesak. Perutku sakit dan badanku gemetar. Oleh ibu mertua yang selalu menemaniku , membawaku ke rumah sakit. Menurut bidan, sudah waktunya aku melahirkan.

Beberapa jam aku berjuang mati-matian, berusaha mengeluarkan bayi dalam rahimku. Tapi terasa begitu sulit. Badanku lemas antara hidup dan mati kehabisan tenaga. Tak sempat lagi aku memikirkan Mas Arif dan Yolan. Yang kusesalkan kenapa mereka tak disampingku? sempat terfikir biarlah Mbak Tina mengambil kembali kedua orang yang kusayangi. Aku harus berbesar hati. Tiba-tiba ditengah perjuanganku melawan maut, ibu mertua yang setia mendampingiku dipanggil keluar ruangan. Sejenak kemudia aku mendengar ibu menangis histeris. Mau tak mau aku memaksa turun dari ranjang, keluar ruangan bersalin, meski bidan melarang. Ku lihat bapak mertua dan saudara-saudara yang lain berusaha menangkan ibu mertua. Lalu dari bibir ibu yang gemetar, ia menyebut nama anak dan cucunya. Katanya Mas Arif dan Yolan tewas karena kecelakaan. Mendengar itu, aku langsung terkulai lemas. Tak ingat apa-apa. Mungkin karena syok, aku tak bisa lagi melahirkan dengan cara normal. Keluarga Mas Arif tak keberatan aku diperkosa caesar.

Anakku perempuan. Ia tumbuh normal dan sehat, wajah mirip Yolan. Hidungnya mirip bapaknya. Matanya, alisnya..duh gusti, rasanya tak sanggup lagi aku berkata. Putriku lahir tanpa sempat menatap wajah bapak dan kakaknya. Ia tak punya siapa-siapa kecuali ibunya yang juga putus kontak dengan keluarga kandung.
Pembaca... kucoba untuk menahan tangis, juga mengekang sebuah kepedihan ketika menuturkan kisah ini. Sebuah kisah yang telah lama kusimpan di dasar hati. Menunggu anakku beranjak besar dan bisa menerima kenyataan. Bahwa ia adalah anak kandungku, bukan ''mbaknya'' seperti keluargaku membahasakan panggilan untukku sejak ia kecil.

Usai melahirkan aku memang sempat kehilangan semangat hidup. Hampir gila menerima cobaan seberat i tu. Bersyukur kedua orang tua kandungku datang mengulurkan tangan dan merengkuhku dengan kasih sayangnya. Menerima diriku yang telah menjanda di usia muda. Putriku diperlakukan bak ratu oleh keluargaku. Sayangnya itu tadi, sejak di asuh orang tua, ia dibiasakan memanggilku mbak.

Kini 12 tahun sudah aku bekerja di Hong Kong. Bukanya aku tak sayang membiarkan anakku di asuh kakek dan neneknya yang telah pensiun. Ini semua kulakukan justru demi kebaikan dan masa depan anakku. Tetapi sungguh batinku menagis, tak sabar mendengar darah dagingku memanggilku ibu.
Dituturkan''In''kepada Kristina Dian S dari Apakabar
Catatan: dipublikasi Tabloid Apakabar kolom ''curhat" edisi #3/THN II..

0 komentar di "KEPINCUT DUDA AKU MENJANDA"

Posting Komentar