KETEGUHAN HATI SI GADIS TOMBOI

Entah siapa yang harus kusalahkan. Kedua orang tua, takdir, ataukah diriku sendiri? Rasanya, penyesalan ini tak ada habisnya kuratapi. Ya, gara-gara tampangku yang konon mirip laki-laki, seringkali aku terjebak dalam jurang dosa yang tak terampuni.

Umurku masih 19 tahun ketika mengadu nasib sambil kuliah di kota M. Di asrama putri yang tak seberapa jauh dari kampus, aku membaur dengan teman-teman wanita lainnya. Dari situlah awal mula aku menyadari, ada yang salah dalam diriku.


Asrama tersebut tak cuma dihuni oleh mahasiswi, tetapi juga karyawati perusahaan maupun instansi pemerintah. Pada awal mula aku datang, penghuni asrama – baru maupun lama – seolah berlomba-lomba menunjukkan kasih sayangnya padaku. Mulai dari makanan, pakaian, bahkan pulsa HP, sangat jarang aku beli sendiri karena mereka berebut membelikan.

Tiap malam atau setiap aku ada di kamar, mereka lebih senang ngumpul di kamarku yang hanya beralaskan karpet beludru warna biru. Tak jarang, kami tidur ramai-ramai sembari nonton televisi atau sekadar ngerumpi. Biasanya, kalau mataku sudah terlalu berat, aku naik ke ranjangku yang berukuran satu orang. Entah bagaimana, seperti sudah terkoordinir rapi, sesaat setelah aku tidur, ada saja yang menyusup dan tidur seranjang denganku. Tentu harus berdesak-desakan, lantaran ranjang kecil dipakai berdua.

Kebetulan, aku termasuk orang yang gampang tidur. Dan kalau sudah tidur, biasanya aku tak ingat apa-apa. Tidur, ya tidur. Meski kurasakan ada tangan memeluk atau membelai rambutku, tak pernah kuhiraukan. Kuanggap biasa dan wajar. Kupikir, itu salah satu cara teman-teman menunjukkan kasih sayangnya kepadaku sebagai sesama perantau.

Aku positive thinking saja. Menyadari sama-sama kaum hawa, tidak sedikit pun terbersit olehku pikiran yang macam-macam. Ya, saat itu aku memang masih sangat polos. Tak pernah mendengar, apalagi mengerti, yang namanya cinta sesama atau hubungan sesama. Bisa dipahami, karena aku lahir dan besar di tengah-tengah keluarga yang taat beragama.

Waktu berlalu. Menginjak semester empat, aku berkenalan dengan salah seorang teman pria di kampusku, sebut saja namanya Andi. Saban kali ketemu, ia mengaku menyukai gadis tomboi macam aku. Orangnya smart dan menyenangkan. Ngobrol apa saja nyambung.

Suatu kali, tepatnya pada Sabtu malam minggu, Andi – yang akhirnya resmi menjadi cowokku – main ke asrama. Apel. Meski kami hanya duduk dan ngobrol di ruang tamu tak lebih dari pukul tujuh malam, hal itu ternyata membuat kecewa teman-teman se-asrama. Sebegitu jauh, aku masih tak mengerti di mana letak salahku. Aku sebatas berpikir, mungkin di asrama ini ada larangan tidak boleh bawa pacar.

Ternyata aku keliru. Belakangan baru aku tahu, mereka rupanya sangat kecewa karena aku punya pacar lelaki tulen. Sebelum pacaran dengan Andi, sebenarnya aku sudah sering membawa teman-teman kampus bertandang ke asrama, bahkan masuk kamar. Cuma, seluruhnya cewek. Warga asrama cuek, mungkin karena mereka mengira teman-teman kampus itu ”pacar-pacarku”.

Aku juga terlambat tahu, teman seasrama yang suka ngeceng di kamarku rupanya sedang berlomba untuk ”mendapatkan” diriku. Katanya, wajahku mirip cowok. Gaya dan caraku bercanda pun mereka maknai layaknya gurauan seorang ”pejantan tangguh”. Kebetulan, rambutku memang dipotong cepak. Bukan apa-apa. Selain praktis, aku menyukai potongan rambut yang saat itu lagi ngetrend.

Sejak kunjungan Andi ke asrama, keanehan demi keanehan mulai kurasakan. Teman-teman tetangga kamar diam-diam mulai menjauhiku. Bahkan, bertegur sapa pun tidak, meski kami berpapasan. Situasi yang tidak nyaman ini, tentu saja, membuatku merasa tidak betah. Siapa sih yang tahan didiamkan teman-teman tanpa alasan?

Akhirnya, di puncak kejengkelan, aku putuskan untuk mengalah. Bukan mencoba berbaik-baik atau mengakrabi mereka, melainkan mencari dan pindah ke kos-kosan baru. Kupikir, ini lebih baik ketimbang dianggap mengemis perhatian kawan se-asrama.

Aku masih ingat betul, kala itu jam dinding sudah menunjuk angka 01.45 WIB. Kuedarkan pandangan ke sudut-sudut ruangan, setelah seluruh barang kukemas rapi dan siap diangkut. Rencananya, esok pagi aku mau pindah asrama, yang letaknya tak seberapa jauh dari asrama lama. Di tempat baru itu, aku sudah membayar kontrakan separo.

Di tengah permenungan, samar-samar kudengar pintu kamar diketuk dari luar.

”Siapa?” tanya itu meluncur dari bibirku.

”Aku, Meta...!” jawab suara itu, dari balik pintu.

Tanpa ragu, kubuka pintu dan menyuruhnya masuk. Kutatap dalam-dalam wajah sahabatku yang bekerja sebagai sekretaris perusahaan kelapa sawit itu, penuh tanda tanya. Tiba-tiba, aku melihat sebutir air mata menetes di pipinya. Pikirku saat itu, Meta lagi ada masalah dengan keluarga atau mungkin dengan atasannya.

Setelah kuajak ngobrol dan kupancing-pancing, aku benar-benar dibuatnya kaget. Sama sekali aku tak menduga, kesedihan Meta – yang usianya lima tahun di atasku – ternyata berpangkal pada perasaannya yang mengagumi diriku.

Seperti yang sudah-sudah, kuhapus air mata itu dan membiarkan Meta menangis dalam pelukanku. Kupikir, ini masih wajar.

”Kamu lagi ada masalah, Met?” aku membuka pembicaraan.

Meta menggeleng. Namun akhirnya mau buka suara juga.

”Sampai kapan sih kamu bisa mengerti? Aku ini sayang kamu,” ujarnya, setengah berbisik.

Jujur saja, aku memang tak mengerti apa maksud Meta. Sampai-sampai, tanpa kusadari, mataku tajam menatap matanya yang merah. Ada apakah gerangan?

Tak butuh waktu lama untuk beroleh jawaban. Karena, tiba-tiba saja, Meta mendorong tubuhku hingga telentang di atas tempat tidur.

”Apa-apaan, sih?”

Aku kebingungan melihat sikap Meta yang mendadak berubah dan liar. Aku berusaha menghindar terkaman bibir Meta, tapi gadis itu seolah memiliki kekuatan yang berlipat-lipat.

”Met, sadarlah! Kamu kenapa? Kamu abis minum, ya?”

Aku berusaha mengalihkan perhatian Meta. Tetapi sia-sia. Akhirnya, kubiarkan saja ia berbuat semaunya.

”Sungguh sakit hatiku. Kamu tega, kejam, dan tak punya perasaan! Apakah pengorbananku selama ini masih kurang?”

Suara Meta mulai meninggi, yang membuatku ikut terbakar emosi.

”Pengorbanan?! Pengorbanan yang mana, sih? Apakah pemberianmu itu yang kau anggap pengorbanan?” Emosiku benar-benar sudah di ubun-ubun. Namun, mendengar isak tangisnya, pelan-pelan hatiku mulai luluh. Pikirku, toh, esok aku akan pindah dari tempat itu. Tak elok jika aku meninggalkan kesan kurang menyenangkan.

”Boleh aku sayang kamu?” kata Meta lagi.

Deg. Beberapa jenak aku terpaku mendengar pertanyaan sensitif itu.

”Hmm...boleh,” akhirnya terceplos juga kata itu dari bibirku.

Kami pun berpelukan sesaat. Namun, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Rupanya, Andi – yang bekerja sebagai sekuriti – datang dengan pakaian preman. Katanya, barusan pulang jaga. Aku tersentak kaget saat mengetahui Andi datang dan melihatku sedang memeluk Meta, sahabatku.

”Sorry, aku mau mandi dulu,” kataku sambil meraih handuk. Sementara, Meta sudah buru-buru kembali ke kamarnya.

”Tunggu!” kata Andi, sambil menarik tanganku.

”Pantas, kamu selalu menghindar tiap kali aku bicara tentang pernikahan. Rupanya kelakuanmu begini. Menunda-nunda waktu hanya untuk memuaskan diri dengan sesamamu. Tak kusangka….” ucapnya dengan nada penuh emosi.

Plaak... !!! Tangan kananku melayang menampar pipinya. Andi tak membalas. Ia memilih berlalu pergi. Tak lama, ia mengirim SMS ke HP-ku. ”Maafkan aku bila mengganggu kesibukanmu dalam memadu kasih. Tidak seharusnya aku berkata kasar, apalagi membuatmu marah. Aku sungguh kecewa dan sangat kecewa. Mulai saat ini, kita akhiri impian membangun rumah tangga.”

Belum sempat SMS itu kubalas, satu lagi SMS masuk.

”Meski sejak semula aku tahu kamu gadis tomboi, aku tidak memprotes. Namun kini…? Bukan hanya penampilanmu, tapi jiwamu pun jiwa seorang laki-laki. Sorry.”

Air mataku langsung mengalir dengan deras. Aku tak tahu harus berbuat apa. Hatiku hancur, jiwaku lebur dan sungguh aku tak berdaya dengan tuduhan itu.

Dalam keadaan limbung, esoknya aku langsung pergi dari tempat itu. Bukan pindah kos seperti rencana semula, tetapi pulang ke rumah orang tuaku. Tidak cukup itu. Aku bahkan sudah sampai pada keputusan untuk memilih droup out dari bangku kuliah.

Sudah pasti, keputusan itu membuat kedua orang tuaku marah habis-habisan. Terlebih ketika aku ceritakan duduk soal yang sebenarnya. Tapi ya begitulah, bukannya pengertian yang aku dapatkan. Malahan, aku ikutan didiamkan orang tua dan saudara hingga berhari-hari.

Dalam keadaan putus asa, aku mencoba mengirim lamaran pekerjaan ke mana-mana. Tapi aku tak pernah memperoleh pekerjaan yang cocok. Yang sering terjadi, gaji yang kuterima tak sepadan dengan tenaga dan keringat yang kukeluarkan. Sampai kemudian, aku memutuskan ikut training di sebuah PJTKI, bersiap mencari peruntungan ke luar negeri. Empat bulan training, aku diberangkatkan ke Hong Kong, negeri-kota yang membuatku sibuk merenda impian.

Sebenarnya, sebelum terbang ke Hong Kong, cobaan lebih berat pernah kualami selama tinggal di penampungan. Inti kisahnya hampir sama dengan kisahku di asrama dulu. Di penampungan, kejadiannya bahkan lebih parah dan ”mengerikan”. Untuk mengambil hatiku, tak jarang di antara mereka bertengkar terang-terangan. Akibatnya, aku sering dipanggil staf yang menangani masalah-masalah siswi BLKLN. Bersyukur, aku selalu mampu melaluinya dengan baik.

Godaan di Hong Kong – yang berpeluang menjerumuskan seseorang ke cinta sesama – sejatinya jauh lebih besar. Tahu sendiri, komunitas pekerja migran di tempat ini mayoritas perempuan. Saban kali jalan keluar rumah, sepertinya, yang ada hanya perempuan Indonesia.

Bolak-balik nyaris terjebak (saking banyaknya ajakan ”kencan” dari teman-teman wanita), aku berusaha mengubah penampilan yang selama ini tomboi. Kubiarkan rambutku memanjang hingga sebatas pinggang, lalu berpakaian stret yang belakangan ini lebih sering aku pakai. Ya, selain dengan doa, aku memang sungguh-sungguh berusaha untuk kembali ke jalur yang benar. Jalur yang tidak sekadar membuatku sukses menjemput impian, namun sekaligus mampu membuatku ”sukses” menjadi seorang gadis tulen.

(Seperti dituturkan ”Y” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)

4 komentar di "KETEGUHAN HATI SI GADIS TOMBOI"

  • salut banget ari, sugoi, ya Allah ari harus gimana neh, kak blh dipajang diblog ari kah??

    Selasa, Desember 16, 2008 10:20:00 PM

  • boleh non, boleh boleh. silahkan..

    Selasa, Desember 16, 2008 10:38:00 PM

  • salut banget neh ama perjuangan yang kamu lakukan tuk mengubah penampilanmu ,,,,,dan bagaimana cara kamu untuk berubah ,,,,,,

    Selasa, Februari 24, 2009 5:29:00 PM

  • Assalamu alaikum warohmatullahi wabarakatu.
    Saya ingin berbagi cerita siapa tau bermanfaat kepada anda bahwa saya ini seorang TKI dari johor bahru (malaysia) dan secara tidak sengaja saya buka internet dan saya melihat komentar bpk hilary joseph yg dari hongkong tentan MBAH WIRANG yg telah membantu dia melalui jalan togel menjadi sukses dan akhirnya saya juga mencoba menghubungi beliau dan alhamdulillah beliau mau membantu saya untuk memberikan nomer toto 6D dr hasil ritual beliau. dan alhamdulillah itu betul-betul terbukti tembus dan menang RM.457.000 Ringgit selama 3X putaran beliau membantu saya, saya tidak menyanka kalau saya sudah bisa sesukses ini dan ini semua berkat bantuan MBAH WIRANG,saya yang dulunya bukan siapa-siapa bahkan saya juga selalu dihina orang dan alhamdulillah kini sekaran saya sudah punya segalanya,itu semua atas bantuan beliau.Saya sangat berterimakasih banyak kepada MBAH WIRANG atas bantuan nomer togel Nya. Bagi anda yg butuh nomer togel mulai (3D/4D/5D/6D) jangan ragu atau maluh segera hubungi MBAH WIRANG di hendpone (+6282346667564) & (082346667564) insya allah beliau akan membantu anda seperti saya...






    Rabu, Desember 07, 2016 8:04:00 PM

Posting Komentar