KUMIS PAK RONI

Ini pasti gara-gara kumis Pak Roni, rutukku sambil tersenyum di depan kaca. Sekali lagi, kuusap pipi yang seminggu lalu tersentuh kumis seorang lelaki. Kumis itu nempel tak sengaja. Jika saja bus susun dua yang mengantarkan aku dan Pak Roni ke Tsim Sha Tsui tak direm mendadak, mungkin tabrakan kumis dan pipi tidak kan terjadi.
Itulah susahnya tak beroleh tempat duduk dalam bus KMB. Satu besi dijadikan pegangan beberapa orang.
”Maaf,” kata Pak Roni setelah insiden itu.
”Tidak apa-apa,” jawabku dengan perasaan malu setengah mati.
Pak Roni mana tahu rambutku yang langsung njebrik saking kagetnya. Bulu roma pun berdiri tegak merespon kecelakaan mini itu.
”Gawat!” batinku.
Sebenarnya ingin kuhindari bertemu lelaki asal Surabaya yang sedang menjalankan tugas di Hong Kong itu. Tapi editor menugaskan aku untuk mewancarainya. Mau tak mau, ya harus mau. Lagian, aku tidak punya alasan untuk menolak tugas dari media tempat aku bekerja.

Inilah sulitnya tinggal di negeri orang selama bertahun-tahun. Melihat makhluk Indonesia paling jelek sekalipun, seolah bertemu Arjuna dalam kisah pewayangan. Untungnya,
Pak Roni – lelaki 40 tahun itu –benar-benar penuh karisma. Bukan hanya tutur katanya yang sopan atau postur tubuhnya yang lumayan menjulang. Sikapnya pun sangat pandai memanjakan wanita. Mungkin karena ia berpengalaman sebagai suami dari tiga istri.

Sebelum menikmati pemandangan Kowloon Park, Pak Roni mengajakku mampir ke Starbuck Café di samping masjid terbesar di Hong Kong. Pak Roni membukakan pintu dan mempersilakan aku duduk terlebih dahulu. Sesekali, Pak Roni menatap wajahku yang bersemu merah dilanda malu.

Aku sendiri sangat heran pada diriku. Menatap sorot mata lelaki itu, aku begitu lemah. Dadaku berdetak tak menentu, sementara waktu masih panjang yang harus kulalui bersamanya. Aneh. Bener-bener aneh. Mana bisa gadis remaja kayak aku ini bisa salah tingkah diperhatikan bapak enam anak itu. Lebih salah tingkah lagi ketika Pak Roni menggandeng tanganku sekeluar dari café. Itu terjadi saat kami melintasi zebra cross di depan gapura Kowloon Park.

”Maaf, Pak,” kataku sambil melepas genggam tangannya.

”Ups.. sorry,” sahut Pak Roni, dibuat seolah tersentak kaget.

”Pemandangannya bagus, ya?” ia berkomentar. Sebenarnya aku ingin menjawab. Tapi keringat dingin terus mengalir di keningku. Aku merasa kesulitan menempatkan diri di depan Pak Roni. Haruskah aku bersikap seperti sedang bersama teman, seperti atasan dengan bawahan, atau seperti dua insan yang sedang dimabuk cinta?

Sikap Pak Roni terlalu sulit ditebak. Adakah ini karena kumis Pak Roni yang nyasar ke pipi tadi? Entahlah. Jika kumis itu tidak mendarat di pipiku, tak mungkin aku salah tingkah sebegitu rupa.

”Kamu sakit, Ros?” tanya Pak Roni, manakala melihat langkahku terlihat lemas.

”Tidak Pak.”

Aku mempercepat langkahku mendampingi Pak Roni. Tentu saja, di dalam hati aku mengutuki BMI Post, tempatku bekerja. Jika tahu bakal seperti ini, lebih baik aku protes sejak kemarin.

”Bagaimana pendapat Bapak tentang kebijakan pemerintah Hong Kong soal ketenagakerjaan?”

Eit! Kenapa aku bertanya seperti itu. Pak Roni kan bukan anggota delegasi yang melakukan kunjungan kemari... Pak Roni cuma petugas dari PT Santica, merek sandal dan sepatu anak muda di Indonesia.

Ah, biar saja. Toh, Pak Roni mau menjawab pertanyaan-pertanyaanku. Sesekali, kutatap wajah Pak Roni yang berhias kaca mata putih. Tak ketinggalan, mataku memperhatikan kumis tebal hitam milik Pak Roni. Hii…! Beberapa kali aku bergidik ngeri.

”Ada apa, Ros?” tanya Pak Roni dengan wajah was-was.

”Nggak ada apa-apa kok, Pak. Badan saya rasanya panas dingin. Barangkali mau demam,” alasanku dengan nada sememelas mungkin.

”Kalau gitu, kita pulang sekarang. Wawancara bisa kita lanjutkan lewat telepon,” usul Pak Roni.

Aku jadi kasihan. Cuma karena kumisnya aku tega berbohong. Tapi mau bagaimana lagi. Seumur-umur, pipiku belum pernah tersentuh kumis. Ini karena Anto, cowokku yang masih kuliah di UGM, tidak suka memelihara kumis.

Pak Roni mengantarku sampai pintu kos-kosan. Ketika kubuka pintu, teman-teman asyik menikmati kepiting rebus sambil nonton TV. Hii..! Lagi-lagi aku bergidik melihat jari jemari kepiting di atas piring lonjong.

”Kenapa Ros?” tanya Ibu Meti, ibu kos yang paling perhatian denganku. Maklum, sejak empat tahun lalu, aku menghuni apartemennya.

”Nggak apa-apa, Bu.”

”Enak lho...asam-asam pedas,” Mbak Win, BMI over stay ini berpromosi.

”Hii...”

Aneh! Bayanganku selalu ke kumis Pak Roni. Padahal, sebelum bertemu Pak Roni banyak kumis-kumis lain yang kulihat. Kumis bapak, pak dhe, paman, dan kakak sulungku. Kubayangkan, pasti sekeras sapu ijuk. Tapi kenapa kumis Pak Roni lembut? Ataukah setiap kumis memang lembut? Ah, aku jadi bertanya ”alasan apa yang membuat kaum laki-laki banyak yang suka memelihara kumis?” Padahal, menurutku, kumis tipis saja sudah cukup menambah keromantisan si pemilik. Tidak harus tebal seperti kumis Pak Roni.

”Makan dululah, Ros,” suara ibu kos mengagetkanku.

”Udah makan di luar kok, Bu. Saya mau mandi dulu, masih banyak kerjaan,” kataku sambil berlalu ke kamar mandi.

”Bagaimana hasil wawancara kemarin?” tanya redaktur lewat telepon.

”Maaf Pak, baru 40 persen informasi yang saya dapat. Kemarin tiba-tiba kepala saya pusing,” jawabku.

”Tolong kerjakan tugasmu sebaik dan secepat mungkin. Lusa sudah deadline.”

”Baik, Pak.”

”Satu lagi, yang perlu diingat, berita ini akan menjadi laporan utama, mengerti?”

”Ngerti Pak.”

Setelah menutup telepon, aku langsung menghubungi Pak Roni. Untungnya, saat ini Pak Roni sedang ngopi di Niki Echo lantai satu. ”Kesempatan!” kataku setelah menyambar kamera dan alat rekam. Sekejap kemudian, kakiku sudah melayang menuruni apartemen Heaven Road Building Causeway Bay.

Rompi yang kupakai sesekali berkibar ditiup sang bayu. Rambutku yang panjang masih meneteskan titik-titik air. Maklum, saat berbicara lewat telepon tadi, aku sedang keramas. Kuambil bedak dan lipstik sambil terus melangkah. Kiranya, tidak salah jika aku ”macak” sebentar. Sebab, tanpa tedeng aling-aling Pak Roni mengakui penyuka keindahan kaum wanita. ”Wanita itu indah. Seindah garis pelangi senja hari,” katanya tempo hari.

”Sore, Pak,” sapaku pada Pak Roni yang sedang menyeduh kopi. Sial! Lagi-lagi kumis itu jadi perhatian utamaku. Apa sih yang menarik dari kumis itu? Jika dipikir, mungkin hanya hiasan wajah semata, kan?

”Sore, silakan duduk.” Aku duduk di hadapan Pak Roni. Suara Pance Pondaag pun mengalun di ruangan mengiringi tanya jawab yang sedang berlangsung. Sampai tak terasa senja bergelayut di ufuk sana. Sayangnya, senja ini tak terhias pelangi yang berwarna-warni.

”Tidak ada acara, Pak?” tanyaku iseng.

”Jika sudah sore begini, menjadi acara pribadi,” jawab Pak Roni dengan penuh wibawa. Tangan Pak Roni mulai beraksi saat menaiki tangga layang depan Peoples. Mau menolak, tak enak, tak ditolak takut dikira murahan. Ah, peduli amat, kataku dalam hati. Toh, Pak Roni hanya ingin berjalan bergandengan tangan. Tidak ada salahnya kan?

”Kapan kembali ke Indonesia, Pak?” tanyaku menetralisir ketegangan.

”Besok pukul tiga sore.”

”Secepat itu?” langsung kutatap wajah kalemnya.

”Bapak sudah hampir dua minggu di sini,” jawabnya.

”Oh ya...,” kataku seolah tak percaya. Berarti, pemimpin redaksiku salah informasi.

”Iya, kenapa?”

”Boleh saya mengantar sampai bandara, Pak?” entah dari mana datangnya keberanianku. Yang pasti, aku memang belum rela melepas Pak Roni kembali ke Indonesia esok hari.

”Wah, bapak sangat senang sekali,” ujarnya dengan mata berbinar-binar.

Senja merangkak pergi dengan perlahan. Burung-burung dara telah kembali ke sarang. Lampu-lampu taman Victory mulai memancar terang. Hanya di area air mancur suasananya tetap gelap, tanpa penerangan. Aku dan Pak Roni duduk di bangku kayu bawah pohon besar. Ngobrol bebas tanpa formalitas lagi. Terasa sangat mengasyikkan bercengkerama dengan lelaki jarkis ini.

Dan ternyata, Pak Roni yang kupikir sikapnya garang, ternyata makhluk yang lembut dan sopan. Saking sopannya untuk meminta pipi, ia meminta izin terlebih dahulu. Terang saja kau lari terbirit-birit kembali ke kos-kosan. Bekas tempelan kumisnya kemarin saja belum hilang, sekarang mau ditempelin lagi. Ah... jangan-jangan insiden kemarin ada unsur kesengajaan? Itu pasti! Pasti! Pasti! Kataku dalam hati sambil mengutuki kebodohan diri.

”Ros, bapak pulang dulu, ya? Dua bulan lagi bapak datang lagi ke sini,” kata Pak Roni yang masih terlihat jelas sisa-sisa ketampanannya di usia muda dulu.

”Hati-hati ya, Pak,” pesanku sambil menjabat tangan kokoh itu. Sudah waktunya Pak Roni masuk ruangan pemberangkatan.

Tiba-tiba...Cup!! Astaga, Pak Roni mencium pipi kiriku? Secepat itu? Sialan! Aku kecolongan. Awas! Rutukku sambil berbalik arah kembali ke Causeway Bay.

Yoppy, 28-5-06

5 komentar di "KUMIS PAK RONI"

Posting Komentar