Perawanku Melayang Di Tangan Pria PAKISTAN


Hatiku sangat terpukul begitu tahu kekasihku telah ingkar janji. Sementara kehormatan, harta dan harga diri sudah ku korbankan, sebagai bukti cintaku. Nyatanya, lelaki yang berjanji hendak menikahiku itu, malah berpaling pada sahabatku sendiri. Parahnya, hal itu direspons dengan baik oleh orang yang sudah kuanggap seperti saudara. Sebuah kisah pagar makan tanaman.

Baru tujuh bulan, aku, -panggil saja Dewi- terjerat manisnya kata cinta. Lalu,.. menyeretku pada penderitaan panjang. Ini semua memang keteledoranku, kenapa aku begitu mengangumi laki-laki asal Pakistan itu. Sebenarnya, menyesal juga, masih terhitung “anak baru” di Hong Kong, sudah langsung mengenal laki-laki hidung belang. Tapi mau bagaimana lagi. Semua sudah terjadi.

Di Hong Kong aku punya sahabat. sebutlah Icha(bukan nama sebenarnya). Orangnya sangat baik, ramah, dan gaul banget. Soal penampilan, meski sudah bersuami dan punya anak, ia tak mau kalah dengan anak muda. Mungkin karena sikapnya yang ramah pada siapa saja, ia punya banyak teman. Bukan Cuma teman-teman seprofesi dari indo, tapi juga pekerja asing dari Negara lain.

Begitulah. Aku yang waktu itu bekerja di Tai Po, merasa bangga punya teman seperti icha. Solider dan bisa di ajak berkawan dengan baik. Sangking dekatnya, karena kemana-mana selalu pergi bersama, aku sudah menganggapnya seperti saudara sendiri.Tentu, karena perhatiannya kepadaku sangat lebih jika di bandingkan kepada teman-teman lain.

Suatu hari, si centil berwajah manis ini, mengadakan pesta ulang tahun di toko Srikandi, Yuen Long. Acaranya lumayan ramai meski dengan menu ala kadarnya. Yang membuat lebih semarak, icha mengundang sobat-sobat lelakinya. Dalam moment seperti itu, tentu tak ada lagi dinding pemisah antara migrant indo dengan migrant dari Pakistan, Nepal atau India. Semua jadi satu dalam aroma pesta. Sesekali terdengar gelak tawa memenuhi ruangan yang pekat oleh alunan musik.

Di tengah acara, Icha tiba-tiba memperkenalkan kepadaku seorang cowok tamu undangannya. Mulanya aku reda cuek menyikapi perkenalan perdana itu. Ku pikir tak ada yang istimewa dari sosok yang mengaku bernama Esen. Bahkan terkesan lebih gantengan cowok-cowok tanah air, sekalipun berkulit hitam. Tapi entah mengapa, semakin lama ku perhatikan, ada yang menarik dari lajang asal Pakistan itu. Senyumnya, gaya bicaranya, sopan santunya… duh, apalagi kalau memperhatikan caranya jalan. Sudah begitu, bodinya tinggi, tegap lagi gagah. Wow, jangan katakan aku tak terpikat.

Aku yang sebenarnya masih lugu, mendadak merasakan ada gejolak aneh tiap kali memperhatikannya. Tetapi sungguh aku tak mampu mengartikan itu. Apakah kagum beneran atau sekedar ingin menyandarkan kepala di kekar tubuhnya. Aku tak tahu. Yang kutahu, aku ingin memilikinya. Itu saja!

Saat kami mojok berdua, detak jantungku makin bergemuruh. Terlebih ketika Esen mulai menatapku nakal. Rasanya aku terlempar ke sudut ruang nan indah. Seperti hamparan permadani yang siap memberiku tempat buat berduaan saja. Ku bayangkan, aku ada di taman bunga, berdua dengan Esen mengejar kupu-kupu di sana. Bercanda, berbagi kasih tanpa di ketahui oleh siapapun.

Tapi itu hanya khayalku. Belum tentu pria tampan seperti Esen mau bersanding denganku, yang cuma anak dusun ini. Jujur saja, sampai saat itu aku masih kurang pede, berdekatan dengan cowok. Mungkin, lantaran aku masih baru merasakan atmosfir Hong Kong. Belum terbawa arus penampilan modis and trendy. Pokoknya minder, deh.

Siapa sangka, Esen tiba-tiba bilang suka sama aku. Bahkan ia terang-terangan memuji kecantikan alamiahku. Polos tanpa polesan make up. Dan alamak…katanya, aku paling cantik di antara wanita yang hadir di acara itu. Sontak anganku melambung tinggi ke awan. Pujian itu membunuh segala keminderanku. wajarlah meski sudah berusia 24 tahun, belum pernah aku menerima sanjungan indah dari laki-laki. Cuma,… apakah benar aku gadis tercantik dan terseksi? Entahlah, pujian itu murni karena memang begitu, atau sebuah jebakan. Pendeknya berawal dari pertemuan itu, aku dan Esen lalu kontinyu berkontak-ria via telepon.

Meski baru sekali bertemu, aku sudah dibuatnya tak berdaya. Di telinggaku masih terdengar desah nafasnya, tutur katanya yang lembut, yang membuai aku dalam dunia khayalan. Aku tak bisa tidur dengan nyenyak lagi. Makan jadi tak enak, tiap kali bayangan wajahnya menari di pelupuk mataku.

Sampai suatu hari, Esen yang aktif mengontakku, mengajak serius membina hubungan. Ia berdalih, sudah saatnya memikirkan hidup rumah tangga. Lantaran usianya sudah 37 tahun. Tapi ada persyaratan berat yang ia ajukan. Katanya, ia bersumpah menikahiku jika terbukti aku masih perawan ting-ting. Artinya, belum pernah melakukan hubungan intim dengan lelaki manapun. Jika aku sudah tak perawan, rencana melangkah kepelaminan otomatis batal.

Aku binggung mendengar persyaratan Esen. Mana mungkin kuberikan perawanku, sementara aku belum yakin sejauh mana kesungguhannya. Lagian, mengacu adat ketimuran, mana boleh melepas perawan sebelum janur kuning melengkung. Benar-benar puyeng aku dibuatnya. Repotnya, jika tak kubuktikan cintaku, mana mungkin Esen tahu betapa aku sangat mencintainya dan amat takut kehilangan dia.

Kucoba memberi pengertian, bahwa aku akan memberikan perawanku jika kelak sudah menikah nanti. Bukannya mengerti, Esen malah mengataiku mawar berduri. Sunguh sedih hatiku mendengar ucapan kasar itu. Tapi, api asmara mengalahkan segalanya. Aku justru kelabakan, saat si Esen ngambek berhari-hari. Aku kalang kabut. Tak tahu bagaimana membujuknya.

Sikap Esen yang seperti anak kecil, membuatku resah dan tak bisa tenang. Curhat ke Ichapun, tak mampu melonggarkan sesak di dadaku. Sampai akhirnya-setelah sekian lama berfikir- aku nekat memutuskan untuk membuktikan cinta tulusku. Meski sangat tidaklah rasional, aku rela memenuhi permintaannya. Yup, ini semata-mata agar ia tahu, sungguh tidak main-main.

Persis dua pekan setelah pertemuan pertama di Sri kandi, ku serahkan diri dan kehormatan tanpa perlawanan. Harapanku, setelah merengut perawanku di apartemennya –terletak nun di kota Lam Tin- ia segera menepati janji, menikahiku! Icha, hanya tertawa saat kuceritakan hubunganku yang sudah terlalu jauh dengan laki-laki yang di kenalkannya.

Icha tak marah., apalagi memaki ketololanku, meski jelas-jelas sejak itu aku jarang menemaninya libur. Ia mengerti dan memberiku waktu untuk berduaan dengan pacarku. Icha tak ngambek, meski aku tidak punya waktu seperti dulu, ketika aku belum terantuk jambu merah. Itulah gunanya sahabat. Lebih mengembirakan lagi, Icha, kerap meminjamiku uang untuk saku jalan mengisi waktu libur dengan kekasih jantanku.

Untuk urusan kencan, Esen mang pintar mencari tempat aman. Apalagi, ia punya kendaraan sendiri. Sehingga, meski hanya kencan berduaan di dalam mobil pun sudah cukup membuatku nyaman. Selama masa pacaran, paling aku hanya urun duit beli bensin dan makan minum. Atau sesekali aku mem belikan kartu telepon dan mobile phone untuknya. Tentu ini semata untuk memudahkan komunikasi, jika sedang tak ada kesempatan bertemu.

Setelah sekian lama mereguk madu manis indah nya cinta, sudah saatnya aku menagih janji. Namun apa yang terjadi, sungguh di luar dugaan. Esen mengelak dan ingkar janji. Aku malah di tuduh telah membohonginya selama ini. Katanya, aku sudah tidak perawan saat pertama kali ia berhubungan intim denganku.

Aku kaget, tak menyangka Esen berkata begitu. Padahal,jelas bahwa darah perawan membasahi sprei di apartemennya. Dan ku rasa ia pasti tahu aku belum pernah tersentuh laki-laki. Tapi kenapa jadi seperti ini? Kalau aku sudah tidak perawan, d kenapa hal itu tidak di sampaikan kepadaku saat itu juga? Sekarang dengan apa lagi bisa ku buktikan, kalau aku benar masih suci? Dasar brengsek.


Duniaku serasa gelap. Emosiku, tangisku, ratapku, bercampur jadi satu. Menghancurkan hatiku, merobek dan melemahkan kekuatanku. Harapan indah yang pernah kususun seketika musnah. Terlebih sejak itu Esen mulai menghindariku. Jangankan bertemu fice to fice, smsku pun tak lagi terbalas. Termasuk sms itu berisi ajakan bertemu. Untuk meminta kejelasan hubungan. Kalau putus, aku akan merelakan semua. Tapi kalau terus jalan, aku minta sikapnya tak lagi melukai perasaan kayak gini.

Karena tak kunjung berbalas, aku berusaha menguatkan hati untuk merelakan kepergian Esen dari hatiku yang tanpa pamit. Meski, aku masih sering menangis tiap kali membaca ulang setiap SMS-SMS dia yang penuh rayuan. Aku percaya, Tuhan pasti punya kehendak lain, meski hal itu masih belum kusadari. Yang pasti selain mengingatkan aku kembali pada tujuanku berangkat ke hongkong-cari uang, bukan cari pacar-.musibah ini kuanggap sebuah pelajaran berharga yang harus ku tebus dengan mahal.

Minggu itu seperti biasa, aku menikmati liburan dengan teman-teman. Sudah beberapa pekan, Icha mengaku tak bisa libur atas permintaan majikan. Alhasil, aku hanya jalan atau nongkrong dengan kawan-kawan lain yang sebenarnya tak terlalu akrab. Tapi tak mengapa ketimbang sendirian.

Namun entah angin apa yang mendorongku hari itu. Tiba-tiba ingin sekali aku mendatingi apartemen Esen seperti saat kami masih bersama dulu. Sempat aku ragu. Bukankah, apartemen itu selalu kosong tiap kali aku ke sana? Membayangkan Lam Tin yang jauh itu saja, sebenarnya aku sudah malas. Apalagi bila kedatanganku hanya untuk mengecek keberadaan Esen yang belum tentu ada di tempat. Tapi kok ya, aneh. Pearasaan semakin kuat mendorongku untuk datang ketempat kenangan itu. Akhirnya ku menangkan desakan hatiku dengan mendatingi apartemen Esen.

Luar biasa. Rupanya inilah kenyataan yang di tunjukan Tuhan padaku. Sebuah kejutan yang tak terduga menyambutku. Di apartemen itu, aku melihat Esen dan Icha tidur seranjang, telanjang dalam satu selimut! Bayangkan tidakkah aku marah dan sakit hati melihat pacar dan sahabatku bergumul seperti itu?

Tanganku seketika melayang, meraih barang-barang di ruangan. Ku banting dan ku lemparkan pada mereka yang tergopoh-gopoh mengenakan baju. Sangking panasnya dadaku, sampai aku tak lagi mengontrol amarahku. Teriak-teriak mirip orang kesurupan. Ya, aku benar-benar tidak sadar telah membuat gaduh seisi apartemen.

Meski panic, mereka berusaha memberiku alasan dan meredamkan emosiku yang terlanjur memuncak. Tapi apa gunanya? Apakah mereka masih ingin mengelak dari kenyataan yang kulihat dengan mata kepala sendiri? “Percuma, please, don’t tell me anymore. Karna aku tidak akan percaya”sergahku.

Kini aku mengerti mengapa wanita yang kesepian sangat rentan terlibat perselingkuhan. Yang tidak ku mengerti, kenapa perselingkuhan itu dilakukan asal comot dan embat? Bukankah selama ini hubunganku dengan Icha cukup baik? Atau, kebutuhan biologis memang berpotensi membunuh arti sahabat sejati? Atau, jangan-jangan, aku terlalu tinggi menggap hubunganku dengan Icha selama ini sebagai persahabatan? Semua menjadi tanda tanya, dan tak satupun yang berjawab.

Awalnya aku memang terpuruk. Bahkan jika mengingat mereka, masih ada rasa sakit di relung hatiku. Tapi aku percaya bahwa suatu saat nanti luka itu pasti akan terobati. Yang terang kini aku sadar, mencari seorang sahabat sejati ternyata lebih sulit ketimbang mencari sepuluh kekasih.

(di tuturkan Dewi, anggota komunitas KSN kepada Kristina Dian S dari
apakabar)

catatan: dipublikasi tabloid apakabar kolom curhat edisi 9-22 dec 2006.

13 komentar di "Perawanku Melayang Di Tangan Pria PAKISTAN"

Posting Komentar