Tiga tahun tak berkomunikasi, suamiku ternyata menikahi gadis lain. Sementara nasibku cukup dilematis, bekerja pada majikan yang temperamental. Siksa dan aniaya kerap kUterima, selama bekerja di Kuwait. Bersyukur aku masih bisa kembali ketanah air, meski bilur luka masih membekas di sekujur tubuhku.
Panggil saja namaku Inten. Umur 29 tahun, asal Kediri. Aku dilahirkan sebagai anak kedua dari empat bersaudara. Di desa yang mayoritas penduduknya bercocok tanam, aku dibesarkan oleh orang tua. Tak banyak kenagan manis, hidup dalam keluarga yang ekonominya pas-pasan. Kecuali kenangan buruk dalam kesusahan.
Dengan alasan klasik: hendak memperbaiki perekonomian keluarga, aku –yang dikenal pendiam- nekat merantau ke Saudi Arabia. Dua tahun setelah lulus SMPN Kediri. Harapanku, emak dan bapak yang semakin sepuh, bisa selekas mugkin menanggalkan arit dan pacul.
Selama bekerja di Riyard, boleh dibilang tak ada masalah berarti yang kutemui.Paling hanya di awal, ketika aku harus membiasakan diri mengenakan jubah saat bekerjamembersihkan rumah tingkat dua dan merawt tiga balita.Maklum, wanita di Negara itu harus berselubung kain, dari ujung rambut sampai ujung kaki, hanya menyisakan bagian mata yang boleh terbuka, Meski gerah pada mulanya, lama- lama aku terbiasa juga. Beruntung, kedua majikan sangat baik. Makanan dan buah –buahan bisa ku lahap sesuka hati. Sehingga,gaji Rp 1,2 juta (kurs rupiah) per bulan praktis tak ku sentuh.penghasilan itulah yang kukirimkan utuh ke kampung tiap tiga bulan sekali. Kupikir, uang itu dapat di gunakan untuk membiayai sekolah adik-adik dan menambah kebutuha hari-hari. Sengaja tak kusisihkan gaji untukku, yang penting keluargaq tak kesulita soal materi. Lantaran, majikanku baik, meski tak pernah libur aku tak pernah tertekan. Hingga tanpa terasa, berakhir sudah masa kontrak kerja selama dua tahun.
Aku pulang ketanah air dengan perasaan gembira. Kudapati senyum cerah enak, bapak, dan adik- adikku.Kebahagiaanyang tak cukup diukir lewat kata-kata.lebih gembira lagi, aku di sambut dengan sebuah rumah mungil di area tanah keluargaku yang ternyata rumahku sendiri. Rumah tersebut dibangun dari hasil keringatku selama bekerja di Saudi. Tak kusangka,norang tuaku ternyata pandai mengatur keuangan.
Merasa sukses sebagai pekerja migrant,aku langsung berniat kembali ke luar negeri.QAku tak mau lama-lama tinggal di dusun terpencil ini.Namun, rencanaku rupanya tidak klop dengan keinginan orang tua. Mereka menyuruhku untuk menikah lebih dulu. Alasannya, supaya aku tidak lupa pulang jika sudah merantau nanti. Apabila,di kampungku yang masih udik, perempuan yang belum menikah pada usia kepala dua, dianggap perempuan tua. Apa boleh buat, aku mesti menuruti saran orang tua.
Kebetulan, aku dan Ahmad (panggil saja begitu) sudah cukup lama berteman. Itu terjadi sejak kami sama-sama duduk di bangku SMP.Kalau aku di bidang pacaran dengan anak pedagang kerupuk di dusunku itu, sebenernya tak persis begitu. Aku yakin, cintaku masih sebatas cinta monyet. Tapi, apa salahnya kami yang saling mencinta ini melangkah ke perkawinan walau masih muda usai. Toh, rumah sudah ada, keluarga pun oke.
Kami, Aku dan Ahmad, sama-sama berumur 20 tahun ketika memutuskan menikah.Setahun kemudian, aku melairkan bayi laki-laki mungil ban lucu. Sejak itu, sejak itu mertuaku sering tinggal di rumah.Alasannya, ingin membantu menjagai si kecil. Tentu aku senang. Dengan begitu, aku bisa membantu suami membungkus kerupuk di rumah mertua.
Siapa sangka, masalah demi masalah justru timbul setelah kami punya anak.Pemicunya, tak jauh dari ekonomi.Terus terang, aku memang kurang puas dengan pendapatan yang menurutku sangat minim itu. Sementara, kebutuhan hidup makin meningkat. Yang lebih kusesalkan, menikah di usia muda membuat kami kurang bisa bersikap bijak dan dewasa.Masih sama-sama menonjolkan ego. Perselisihan juga mulai mewarnai hubunganku dengan mertua. Lama-lama aku merasakan, berumah tangga tak ubahnya hidup dalam penjara. Semua serba terkekang.
Setelah menyadari bahwa pemicu soal adalah masalah perut, aku mulai melunak. Aku berusaha merayu suami agar memberiku izin kerja ke luar negeri, seperti yang ku inginkan selama ini. Oalah,Mas ahmad ternyata tak melarang, bahkan antusias mendengar rencanaku.Soal anak, ia berjanji akan menjaganya dengan baik dan benar.
Setelah dua minggu training di PT DWitunggal, Jakarta selatan, akhirnya aku berangkat ke Kuwait.Sengaja aku memilih ke Kuwait, karena prosesnya lebih cepat.Iklim dan tradisinya pun sama di Saudi. Selain itu, jarak antara Saudi dan Kuwait, hanya sekitar setengah jam perjalanan. Dus, tidak sulit jka suatu saat aku ingin berlibur ke Riyadh.
Perkiraan ku meleset. Majikanku di Kuwait ternyata berbeda dengan majikan di Sudi. Di rumah, aku diperlakukan layaknya budak berlian. Kedua majikanku sama-sama doyan ngomel tanpa juntrungan. Ujung-ujungnya main tangan dan kaki. Entah sudah berapa kali aku ditendang, di tamper, bahkan dipukul pakai kayu selama bekerja di kota Sulaisihat itu. Mereka bilang, aku kurang cekatan dan kurang pintar menjaga kebersihan.
Pernah suatu hari, baju yang kuseterika masih terlihat bekas lipatan. Sudah pasti tak kusengaja. Saat itu, aku diminta untuk selekas mungkin menyetrika baju yang hendak dipakai tuan. Belum lagi selesai, majikan sudah memintanya. Terang saja belum rapid an masih terlihat bekas lipatan. Sekonyong-konyong aku dipukuli dengan baju itu. Tubuhku didorong hingga terjengkang. Puncaknya, tuan menyetrika tanganku dengan ujung besi panas itu. Aku tak boleh bersuara apalagi berteriak. Jika itu kulakukan, bisa dipastikan, badanku bakal penuh luka. Majikanku memang temperamental dan suka mengancam. Jahatnya, ancaman itu pasti akan dilakukan. Tidak main-main.
Pernah juga aku dihukum majikan, karena salah mengerjakan perintah. Dikasih makanan sisa. Untungnya, anak asuhku yang berusia 11 tahun sangat sayang padaku. Seringkali jatah makanan untuk disekolah atau camilannya diberikan kepadaku secara diam-diam. Itulah salah satu yang membuat aku bertahan hingga tiga tahun bekerja di rumah berukuran 15 kali 15 meter.
Segala siksa yang kuterima selama bekerja hanya ku simpan di dalam hati. Selain dilarang keluar rumah, majikan juga melarang berkirim atau menerima surat, apalagi menelpon. Katanya, jika aku melanggar larangan itu, bisa berakibat fatal. Bisa-bisa aku di kurung dalam gudang tanpa makan dan minuman. Siapa yang tidak takut? Belum lagi, aku tidak tahu dimana alamat agenku. Inilah yang membuat aku kesulitan mencari tempat perlindungan. Praktis selama tiga tahun, aku terkungkung. Yang bisa kulakukan hanya berdoa dan bersabar. Bagaimanapun juga, aku harus bisa menyelesaikan kontrak kerja selama empat tahun. Karena gajiku bisa diambil setelah itu.
Suatu kali, kedua majikan dan asuhku berangkat berlibur ke India. Begitu mereka sudah keluar dari pagar halaman rumah, hatiku serasa plong. Rasanya aku baru terbebas dari belenggu erat yang membbelit sekujur tubuh. Aku teratawa, lalu menjerit kencang. Betapa senag hatiku. Hingga tak kusadari, sebutir air mata menetes perlahan dipipi. Tak lama, aku berlari keruang tamu. Di depan cermin, kutatap bayaganku sendiri. dan aku melihat, wajahku saat itu begitu pucat, mata cekung, sementara di punggung dan lengan masih ada bekas luka penganiayaan.
Seketika aku menelepon keluarga di Kediri. Melalui telepon tetangga. Perasaanku rasanya terejam-rejam, mendegar suara-suara orang yang kusayangi. Bagaimana, tidak. Tiga tahun tidak berkomunikasi.
‘’bapak kemana, nak?’’tanyaku pada bocah kecilku yang saat itu hampir berusia lima tahun.
‘’bapak dirumah tante, mak’’jawab anakku polos.
Mendengar itu, aku kaget setengah mati. Soalnya, dalam tatanan keluargaku, tak dikenal sebutan tante. Lebih aneh lagi, emak kemudian merebut telepon dari tangan anakku. Samar kudengar suaranya yang parau. Aku hapal betul, itu suara emak menangis.
‘’nduk, sabar ya, nduk,’’begitu emak mengawali kisahnya. Setahun lalu, kata emak, Ahmat nikah siri dengan anak juragan bakso yang terlanjur dihamili.
Dunia yang kupijak tiba-tiba gelap. Aku tak ingat lagi akhir pembicaraanku dengan Emak. Sama sekali aku tak menyangka, suami melakukan perbuatan itu. Padahal keadaanku lebih memprihatinkan. Apakah ini karena salahku yang tak menghubungi selama tiga tahun?
Dua tahun majikanku berlibur diindia. Setiba di rumah, belum lagi melepas lelah, mereka langsung mengecek seluruh rumah dengan segala perabotannya. Jendela- jendela di lap dengan tisu, kalau-kalau masih ada debu. Dapur, kulkas, kamar tidur di periksa dengan teliti. Sampai juga pada telepon rumah. Kali ini kau tak bisa ‘’lari’’.
Seharusnya, ku hapus dialed numbers di layer, agar majikan tidak tahu. Tapi aku mana ngerti? Semua petunjuk pakai bahasa inggris. Sementara aku tidak faham dengan bahasa internasional. Bahkan, tanpa ku tahu, majikan ternyata juga memasang kamera. Sehingga terlihat dengan jelas berbagai aktifitasku selama di tinggal pergi oleh mereka. Terekam dengan jelas, aku bercermin sambil memakai baju seusai mandi. Juga ketika aku sarapan mie duduk di sova. Padahal, duduk di sova adalah larangan. Pantangan pembantu.
Tak ada ampun, majikan langsung menghukumku. Disiksa, dianiaya, dan selanjutnya dibelikan tiket pulang ke Indonesia. Kuanggap bahwa majikan masih mau bermurah hati kepadaku.
Dusunku masih sama seperti tiga tahun lalu. Pohon-pohon pisang berjejer rapi di sepanjang jalan berkerikil. Sesekali, ojek berseliweran menawarkan tumpangan. Aku menembus malam dengan berjalan kaki setelah turun bis dip prapatan. Mungkin karena penampilanku mirip gelandangan, perjalanan ku aman-aman saja. Tak seorangpun tahu, kantong plastic berwarna hitam yang kubeli dibandara tadi, berisi uang dinar yang sudah kurupiahkan.
Terdengar suara jangkrik menyambutku, begitu kakiku telah sampai didepan rumah. Mendapati gubuk Emak dan rumahku nampak gelap, aku memilih tidur di teras.
Mungkin aku terlalu lelah, sehingga ketika aku membuka mata, ternyata aku sudah ada di atas pemabringan kamar. Kudapati wajah-wajah keluargaku tak seceria ketika aku pulang dari Saudi dulu. Wajah mereka suram penuh kekhawatiran. Tatap mereka, tampak berkaca-kaca. Rasanya, aku tak tega menatap mereka satu persatu.
Ya Allah, kalimat apa yang harus kuucapkan pada mereka? Haruskah ku ceritakan deritaku selama di Kuwait? Kasihan orang tua, bila ku ceritakan yang sesugguhnya. Bapakku menderita penyakit jantung. Emakpun sudah tua. Dan rasanya, aku tak ingin melihat air mata disudut mata saudara kandung. Aku teramat menyayangi keluargaku. Sampai-sampai aku lupa dengan suami yang hari itu tak hadir disana.
Menyakitkan! Sebuah kenyataan yang memaksaku untuk berlapang dada. Ya, suamiku telah nikah lagi. Siapa yang ingin diPoligami?. Kurasa, tidak seorangpun mau. Dan begitu juga sebaliknya aku. Memang menyakitkan. Tapi aku tidak ingin terpuruk. Toh, aku punya anak laki-laki yang mudah-mudahan kelak mampu melindungi dan menjagaku.
Setelah kondisiku stabil, aku mengurus perceraian di KUA. Berhasil. Selanjutnya, aku yang tidak pernah trauma keloro-loro di rantau orang, kembali memproses keberangkatan ke luar negeri. Kali ini, tujuanku Negara Hong Kong. Selain untuk menyudahi penderitaanku, aku berharap bisa melupakan bekas suamiku. Lebih baik aku hidup menjanda ketimbang hidup dengan suami yang menduakan cinta.
(Seperti penuturan ‘’P’’ kepada Kristina Dian S dari apakabar)
Catatan: pernah dipublikasi tabloid apakbar kolom Curhat edisi 14 ok-3 nov 2006.
SUAMIKU MENDUAKAN CINTA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar di "SUAMIKU MENDUAKAN CINTA"
Posting Komentar