TUANKU BAPAK DARI ANAKKU

Aku mungkin termasuk orang yang tidak bisa mengambil hikmah dan tidak belajar dari kesalahan masa lalu. Dua kali hamil, keduanya hasil hubungan gelapku dengan majikan laki-lakiku. Kini kau bertobat dan kemabli kejalan yang benar.

Menjadi dokter cantik. Itulah cita-citaku sejak kecil. Tapi karena terlahir sebagai anak orang tak punya, cita-cita itu harus kubunuh, begitu aku lulus SMP. Kata orang tua, mereka tak mampu lagi bernyekolahkan kami-lima bersaudara- ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Biayanya mahal dan pendapatan orang tua tak mencukupi.

Pada usia 17 tahun, aku berangkat ke Malang kota, meninggalkan dusunku, Gondang Legi. Bersama seorang teman aku bekerja sebagai pembantu rumah tangga di jalan Borobudur, Blimbing. Kedua majikanku keturunan tionghoa dengan tiga putra. Mereka tinggal di rumah yang superluas bertingkat dua. Lantai dasar dihuni keluarga majikan. Sedangkan lantai atas di koskan ke sepuluh mahasiswa Widya Gama, perguruan tinggi yang tak jauh dari rumah.

Tugasku di rumah itu menjadi “satpam” anak kos-kosan. Sekaligus di tugasi urusan dapur. Belanja, masak, juga menyiapkan makan untuk seluruh penghuni rumah. Temanku yang satu lagi, tentu juga mengalami nasib yang sama. Ngurusi rumah dan pakaian, mulai dari mencuci, menyeterika sampai memasukkan ke kamar-kamar penghuni rumah hingga mengurusi halaman. Kami memang bekerja satu atap. Tapi karena masing-masing dibebani seabrek pekerjaan, kami jadi jarang bertemu. Kecuali waktunya makan dan tidur.
Setiap bulan kami berdua hanya di gaji, Rp 150 ribu. Kalaupun aku bisa kirim uang untuk orang tua, itu karena aku pandai mengelola uang belanja. Ngirit dan pandai-pandai menawar harga. Aku dijatah uang belanja sebulan sekali. Jika ada sisa, maka itu bisa masuk kekantong.

Nyonya Wong, judesnya minta ampun. Kalau sudah ngoceh, bisa dari pagi sampai malam. Tak peduli apakah memarahi anak kos, pembantu, anak kandung, atau suaminya sendiri. Sudah tak terhitung, sudah berapa kali nyonya memarahi Pak Victor(bukan nama sebenarnya) suaminya dihadapanku. Tuan memang sering pulang larut. Aku tak tahu apa pekerjaanya. Yang kutahu ia punya banyak relasi, sering di cari pejabat dan pergi ke luar negeri.

Dimataku, tuan yang usianya sudah hampir kepala lima, tergolong pendiam dan sabar.
Kepadaku yang sudah lama bekerja kepadanya pun, irit bicara. Tapi sejak tuan memberi tumpangan sepulang belanja, bahkan tak segan-segan menurunkan belanjaan kami jadi sering berbasi-basi tiap ada kesempatan. Dari seringnya berdialog, simpatiku kian bertambah. Tuanku ternyata baik dan amat perhatian padaku. Setidaknya, dari kebaikan tuan itulah, masih ada sederet majikan yang memanusiawikan pembantu. Walau hanya sebatas basa-basi, dan ngobrol ala kadar nya, tapi itu sudah cukup membuat pekerja seperti akusedikit ada harganya. Begitulah akhirnya, sejak aku semobil dengan tuan, kami jadi sering bertegur sapa.

Bukan maksudku”dikasih hati merogoh rempala’’, bila akhirnya terbersit di otakku untuk mendekati tuan. Itu terpaksa kulakukan, mengingat gajiku tak juga di naikkan, meski sudah hampir dua tahun bekerja. Terus terang, aku mulai memasang jurus-jurus ‘’menaklukkan’’ tuan. Aku tahu, tuanku bukan majikan pelit. Buktinya, sejak aku ‘’akrab’’, ia sering membelikan aku gorengan. Siapa yang tidak senang?

Semakin hari aku dan Pak Victor semakin akrab. Sering bercanda bila istrinya tak menemani makan malam. Aku begitu menikmati kenakalan tuan di saat-saat seperti itu. Tuanku memang pandai, membawaku mengembara di dunia yang indah. Tanpa kusadari, hubungan itu semakin meningkat. Kami tak bisa tenang bila tak saling “adu fisik”.
Perselingkuhan tak di ketahui siapapun meski sudah berjalan hampir setahun. Tentu, karena kepandaianku dan pak Viktor memanfaatkan suasana. Hasilnya? Sesuai harapan, “kerja sampingan” itu, memungkinkan aku kirim uang lebih banyak kekampung. Pernah orang tuaku bertanya soal kiriman itu. namun dengan alasan gaji di naikkan majikan, mereka pun percaya. Aku terpaksa berbohong.
Suatu hari, aku di suruh nyonyaku berobat ke dokter setelah melihat kondisiku yang sering sakit-sakitan. Dan betapa terkejutnya aku, ketika dokter mengatakan: hamil. Ini memang kesalahanku, kenapa aku tak memakai kontrasepsi. Tapi saat itu aku memang tak mengerti, juga tidak tahu ada obat atau alat anti hamil. Aku melakukan keteledoran, tidak melakukan pencegahan.
Menyadari aku hamil tanpa suami, aku tidak langsung pulang kerumah majikan. Aku malu dan takut kena marah penghuni rumah. Sadar, janin yang kukandung itu benih tuanku. Namun tuan memang orang baik. Ia tak pernah membiarkan aku sendirian di landa kepanikan. Ia menyodorkan alternative mencarikan rumah untukku. Ku tolak, karena tuan tidak menginginkan bayiku lahir. Sempat aku marah. Tapi akhirnya aku mengalah.Memang benar, aku masih belum saatnya punya anak, lagi pula hal itu bisa menjadi aib sekeluarga.

Di rumah teman, aku menginap sementara. Disana, ia juga membantuku mencari dukun beranak yang biasa praktek aborsi. Ketemu.Seorang bidan disebuah perkampungan tak jauh dari kota.

Keringat dingin membanjir di keningku, saat ibu bidan mempersilahkan masuk kamar. Aku ragu. Takut,jiwaku ikut melayang bersa,ma janinku. Sempat aku ingin membatalkan saja niat menggugurkan kandungan. Tapi apakah aku bisa menjadi seorang ibu? Bisakah keluargaku menerima kenyataan itu? Mirna (sahabatku) dan Pak Victor, mengengam jemariku erat. Berusaha menenangkan jiwaku. Urutan demi urutan seperti siletan belati.

Setelah kondisiku pulih. Aku di belikan rumah, dibiayai segala macam kebutuhanku oleh Pak Victor. Tanpa kerjapun aku tak lagi kesusahan soal materi. Sebenarnya pulang dan tinggal dengan keluarga pun bisa ku lakukan. Tapi belum tentu aku dan “selingkuhanku” bisa semaunya, tinggal dengan keluarga. Lagian orang tuaku pasti tidak menyetujui hubunganku dengan Pak Victor. Apa kata tetangga nantinya?
Aku memilih menyendiri di sebuah perumahan di kota Sidoarjo. Walau hanya sesekali saja Pak Victor datang mengunjungi, aku sudah cukup bahagia. Terpenuhi segala kebutuhan. Lahir batin.
Sampai suatu hari, aku dihadapkan pada kenyataan teramat pahit. Pak Viktor pamit akan ke Singapore bersama keluarganya sebulan penuh. Tapi belum genap seminggu aku di datangi istrinya. Aku tak tahu siapa yang memberikan info kepada mantan nyonyaku, sampai ia tahu alamatku.
Ia mengamuk, memarahiku habis-habisan dengan suaranya yang tak bisa pelan. Ia juga, menamparku. Tak ayal, aku jadi tontonan tetangga. Aku benar-benar malu dengan peristiwa itu. Parahnya, tak satupun yang mau melerai meski terjadi keributan. Sampai akhirnya Pak lurah yang turun tangan.
Kejadian itu memaksaku masuk BLKLN. Kulakukan tanpa sepengetahuan Pak Vikctor dan keluargaku. Setelah sembilan bulan mengikuti training aku diterbang ke Hong Kong. Di Tuen Mun, aku bekerja pada sepasang pengantin baru. Usia tuan dan nyonya masih tergolong sangat muda. Walau keduanya sudah bekerja, tiap malam mereka masih kuliah. Denganku, usia mereka tidak terpaut jauh.

Kali pertama aku datang, nyonya sedang hamil enam bulan. Kerjaan yang ku jalani sangat ringan, hanya memasak dan membersihkan rumah. Selebihnya, aku hanya menemani nyonya nonton TV. Nyonyaku sangat pengertian dan sunguuh mempercayaiku. Terlebih soal pekerjaan. Aku boleh istirahat siang asal pekerjaanku sudah kelar. Begitu nyonya melahirkan, pekerjaanku bertambah: mengurusi bayi laki-laki. Apalagi, setelah si bayi itu berumur tujuh bulan, nyonya mulai masuk kerja. Tak bisa istirahat.

Untungnya, tuanku yang kerjanya sift-siftan, sering membantuku merawat bayi. Memandikan, menyuapi, menina bobokan atau menidurkan di box bayi. Mungkin karena sering bersentuhan dengan tuan, aku kembali melakukan kesalahan yang dulu. Berakrab ria dengan tuan, hingga berlanjut ke urusan ranjang. Anehnya, aku belum menyadari kebobrokan moralitasku.

Sampai suatu saat aku jatuh sakit. Kondisi fisikku menurun. Lesu, lemah dan tak doyan makan. Akhirnya aku terbaring sakit beberapa hari. Nyonya sudah memberiku obat, tapi tak kunjung sembuh. Aku jadi tak enak hati. Utamamnya dengan nyonya yang terpaksa tak masuk kerja. Karena sakitku bertambah parah, nyonya membawaku ke rumah sakit. Namun ada yang aneh dari pemeriksaan dokter. Setelah diperiksa aku ku hanya dikasih obat.

Esoknya, aku dan nyonya di bikin kaget setengah mati. Sulit dipercaya, dari hasil lab terhadap urineku, aku dinyatakan hamil. Empat bulan. wajah nyonya seketika merah padam. Aku pucat pasi. Aliran darahku seolah terhenti. Tak punya nyali menatap rona wajah nyonyaku yang baik hati. Nyonya langsung curiga, benih yang kukandung itu hasil perbuatan dengan suaminya. Wajar, karena aku tidak pernah keluar. Nyonya tak mengizinkan aku libur. Namun, dengan lembut mengajakku pulang ke rumah.
Aku benar-benar menyesal, jika mengingat kebaikan nyonya. Dulu ia pernah punya harapan, agar aku tetap bekerja padanya. Membantu merawat bayi sampai besar. Sungguh, nyonyaku sangat baik. Selama setahun tujuh bulan aku bekerja, aku diperlakukan dengan baik. Tapi entah iblis mana yang menganggu pikiranku, hingga timbul pikiran bermain api dengan tuan.
Setiba di rumah, begitu tuan pulang kerja, mereka langsung memanggilku. sesekali ku pandang wajah mereka bergantian. Wajah nyonya tampak kalem dan berusaha menyikapi masalahku dengan bijak. Sementara wajah tuan tampak memelas. Nyonya terus mendesakku. Mengorek keterangan siapa ayah dari anak yang ada di rahimku.

Sejenak ruangan sunyi. Aku membungkam tanpa. Binggung, tak tahu harus menjawab apa. Haruskah kukatakan apa adaya?Sangat sulit bibirku berucap. Aku tak ingin rumah tangga mereka hancur hanya karena aku. Aku telah bersalah, Akhirnya kuberanikan diri mengaku: benih itu hasil hubungan gelap dengan pacarku. Lelaki Nepal yang bekerja di pasar. Selanjutnya aku kembali membisu. Tubuhku lemas tanpa tenaga. Bahkan ketika nyonya memberiku pesangon dua bulan gaji dan uang tiket, aku masih saja membisu.

Bisa dipastikan bagaimana marahnya orang tuaku. Bapakku yang tidak pernah main tangan, hari itu sampai melayangkan tangannya. Aku di usir dan tak mengakuiku lagi sebagai anak. Aku minta maaf bahkan bersimpuh di hadapan kedua orang tuaku. Tapi, mereka tetap pada keputusan : menyuruhku pergi dan jangan pernah kembali. Dengan segala luka, aku melangkah kerumahnya Mirna. Disana, aku merenung, belajar menerima kenyataan dan ‘’ bercermin’’ pada perbuatanku selama ini.

Bagaimanapun aku memang harus berlapang dada menerima hukum alam. Melahirkan, menyusui dengan biaya hidup yang serba minim. Bersyukur seiring dengan datangnya pertobatan, orang tuaku akhirnya bisa menerima kenyataan dan bisa menerimaku dan anakku juga bayiku. Setelah anakku di asuh orang tua, aku melangkah lagi menuju Hong Kong.
(Dituturkan “S” kepada Kristina Dian S dari apakabar)

Catatan: Pernah di muat tabloid apakabar kolon Curhat edisi 3-16 maret

5 komentar di "TUANKU BAPAK DARI ANAKKU"

Posting Komentar