Sungguh aku tak tahu, apa yang menggerakkan hatiku untuk mencintainya. Berkali tersakiti, tapi selalu saja kumaafkan. Hingga akhirnya aku menerima kenyataan, adik ipar dan kakak kandungku meninggal dunia. Belakangan terbukti, suamiku telah membunuh orang-orang yang kucintai. Masihkah hatiku tergoda untuk memaafkannya?
Kali pertama aku mengenal Dasir (bukan nama sebenarnya), ia baru keluar dari penjara. Meski lajang itu tetangga satu kampung, tapi aku tidak begitu mengenalnya. Sejak kecil aku dirawat oleh orangtua angkat, saudara bapak, di kota yang berbeda. Itu yang membuatku kurang paham pemuda-pemuda di dusunku, lantaran aku jarang pulang kampung menengok orangtua kandung.
Parahnya, ketika aku memutuskan pacaran dengan Dasir, bahkan kemudian menikah, orangtuaku tak keberatan. Padahal, mereka tahu Dasir bekas narapidana. Alasan mereka, jangan melihat masa lalu Dasir, karena orang hidup tak bisa nyaman jika masih dibayang-bayangi oleh masa lalu. Jujur, keluargaku hanya tahu Dasir masuk penjara karena kasus pemilikan narkoba. Bukan kasus pembunuhan, yang sebenarnya sudah didesas-desuskan masyarakat.
Setelah kami menikah dengan pesta kecil-kecilan, kami hidup menumpang di rumah orangtua. Tetapi aku merasa tidak tentram secara lahir batin hidup bersama keluarga suami. Seolah-olah, suamiku masih milik orangtuanya. Hari-hari Dasir praktis hanya dihabiskan untuk membantu orangtuanya berjualan hewan potong di pasar. Pulang malam dan berangkat pagi. Hanya beberapa menit berada di sampingku dan buah hati kami yang masih bayi.
Yang lebih tak mengenakkan, suamiku bekerja tanpa beroleh gaji. Meski kebutuhan harian dicukupi oleh orang tuanya, tetapi aku sebagai ibu rumah tangga merasa tertekan lantaran tak pernah pegang uang. Jika ingin beli sesuatu untuk anak, terpaksa aku minta pada orangtuaku sendiri, yang notabene pegawai rendahan di sebuah perusahaan asing.
Saat si kecil berusia 2 tahun, aku minta kembali ke rumah orangtua kandungku. Sempat mertuaku melarang, tersinggung oleh keinginan itu. Tetapi lama kelamaan memaklumi, meski dengan syarat suamiku tak boleh ikut pindah serta. Mereka berdalih, tenaga Dasir sangat dibutuhkan karena mereka hanya memiliki sepasang anak. Anak yang perempuan sudah menikah dan ikut suaminya tinggal di rumah yang tak jauh pula dari rumah mertua.
So pasti, pisah ranjang dengan suami sungguh tidak mengenakkan. Suara-suara sumbang di luaran terasa menyesakkan. Aku tak tahan jadi bahan omongan orang. Dibilang janda, masih punya suami. Dibilang ada suami, tak sekalipun ia mau mengunjungi selama lima bulan. Akhirnya, aku minta kepastian dari suamiku. Kalau mau bercerai dan berat dengan orangtuanya, silakan ceraikan aku. Kalau sayang dan memikirkan aku dan anak, marilah hidup mandiri dan tidak menggantung hidupku kayak gini. Apakah salah pintaku itu?
Ya Tuhan! Mas Dasir minta waktu untuk berpikir, mencari jalan mencari uang demi bekal kehidupan kami secara mandiri. Sebagai istri yang prihatin sekaligus marah dengan sikap suami, aku tetap berusaha memberinya waktu membuktikan kata-katanya. Tetapi, tahukah Mas Dasir tentang perasaanku yang hancur berantakan? Sepanjang malam batinku menangis, apalagi jika memandang buah hati yang tertidur pulas. Tak adakah rasa rindunya untuk anak kami, untuk aku?
Sempat aku berpikir, suamiku tak cinta lagi padaku dan anak. Sempat aku menilai, suamiku ada wanita lain dalam hidupnya. Sempat, sempat, dan aku sempat menyodorkan surat cerai melihat Mas Dasir tak juga menentukan pilihan hidup. Tapi kuurungkan. Kuyakini suamiku bersikap dan bertindak seperti itu karena paksaan orangtuanya yang tak memahami kami.
Bulan kedelapan sejak aku kembali ke rumah orangtua, aku mendengar adik iparku meninggal dunia mendadak. Kata keluarga suamiku, meninggalnya Ning Aning karena keracunan makanan – seperti kata dokter praktek di kampung mereka. Mendengar kabar itu, batinku sungguh terpukul. Aku sudah menganggap Aning seperti adikku sendiri. Dia banyak memberiku arahan merawat bayi, anakku. Kami sering pergi ke pasar bersama, makan bersama, membawa anak ke puskesmas bersama. Kini ia telah tiada, meninggalkan dua anak yang masih balita. Saat itu aku langsung ke rumah mertua.
Airmataku tak bisa lagi kubendung. Sampai aku tak sadar diri. Kenyataan itu sungguh menyakitkan. Adik iparku meninggal tanpa sebab. Aku melihat suamiku bermuram durja. Matanya cekung, badannya seperti tak terurus. Rambutnya gondrong. Aku memeluknya dalam tangis. Kucoba memberikan kekuatan di saat ia kehilangan saudara kandung. Berkali kuhapus air mata Mas Dasir. Aku dapat merasakan, ia begitu kehilangan.
Selama masa berkabung suamiku tak banyak kata. Ia lebih suka mengurung diri di kamar. Seolah, kehadiran anak pun tak dapat menghiburnya. Malahan, anakku tak sekalipun tersentuh pipi atau tangannya, seperti ketika ia baru lahir. Hal itu terus berlanjut hingga dua minggu.
Satu bulan aku tinggal di rumah mertua dalam masa berkabung. Suamiku sudah bisa sedikit tersenyum. Lalu, aku kembali memboyong anakku kembali ke rumah orangtua kandung. Kali ini aku agak bersyukur, Mas Dasir mau mengantarkan dan tinggal beberapa hari di rumah.
Kebahagiaanku tak ternilai harganya. Setidaknya aku bisa ”mengatakan” pada masyarakat, aku masih punya suami. Tentu saja, kedatangan suamiku juga disambut ceria oleh keluargaku. Ya, sejatinya keluargaku sangat menyayangi Mas Dasir. Tapi entahlah, suamiku seolah tak mau tahu dengan perhatian itu. Ia tetap masih balik ke orangtuanya.
Ketidakpastian dari sisi ekonomi, akhirnya menuntut langkah kakiku – yang terlahir sebagai anak kedua dari empat bersaudara – pergi merantau ke Hong Kong. Saat itu, jujur, aku tak pamit pada suamiku. Kupikir percuma saja aku pamit, toh, ia sendiri tak pernah lagi bersedia menemuiku di rumah orangtua.
Tujuh bulan setelah masa potongan, aku baru punya kesempatan mengontak ke tanah air. Kata orangtua, sejak kepergianku, Mas Dasir justru sering datang ke rumah untuk menjenguk anak. Secara tidak langsung, kerinduanku terhadap suami kembali bergelora. Kutelepon Mas Dasir di rumahnya pada tengah malam, setelah aku menyelesaikan pekerjaan di rumah majikan.
Suara yang kusut, kalut, bingung kali pertama kukontak. Mas Dasir tak percaya aku mau menghubunginya. Ia berpikir, aku pergi dari hidupnya untuk selamanya. Ia menduga, aku mencari laki-laki lain yang bisa membahagiakan hidupku. Duh, batinku serasa meronta. Betapa aku ingin mengatakan bahwa aku masih mencintainya. Dan, aku tak akan mungkin meninggalkan suamiku untuk selamanya. Kukatakan, kepergian ini karena terpaksa. Sebab, hidup butuh makan, anak butuh biaya sekolah. Seorang istri juga bukan hanya jadi hiasan rumah yang dibiarkan, diabaikan tanpa kepastian.
Sungguh suatu anugerah, suamiku memintaku pulang. Ia bilang, orangtuanya sudah menghibahkan hak waris kepadanya. Ia juga dikasih modal untuk buka mini market di daerahnya. ”Aku kehilangan kendali saat tak bersamamu,” begitu kata terakhir yang ia sampaikan di ujung komunikasi kami. Sebelumnya, aku juga sudah berjanji padanya untuk pulang setelah menyelesaikan kontrak kerja. Aku hanya minta padanya untuk sering-sering nengokin anak yang diasuh budenya. Ia setuju.
Enam bulan mendekati finish contract di rumah majikan di daerah Prince Edward, ketenanganku kembali terkoyak. Aku mendapat kabar dari keluarga, kakak perempuanku meninggal dunia terjatuh dari kamar mandi. Duh Gusti, cobaan apalagi yang hendak kau timpakan padaku? Belum habis rasa kehilanganku atas meninggalnya adik ipar, sekarang kakak kandungku pergi untuk selamanya. Ke mana lagi kaki ini akan melangkah menggapai ketenangan hidup?
Hasratku tak bisa kubendung. Saat itu juga aku minta pulang ke tanah air dan tak hendak kembali lagi. Tetapi agen dan majikan mencoba menenangkan dan menghiburku. Mereka benar. Pulang ke tanah air pun, aku tak mungkin bisa menatap wajah kakak tercintaku untuk terakhir kali. Sebab, saat aku menerima kabar kematian kakak, sesungguhnya sudah hari ketiga. Kuurungkan niat pulang sebelum finish contract.
Belum genap sebulan kematian kakak, lagi-lagi aku terhantam cobaan yang sangat dahsyat. Tak ada arah lagi aku berpikir. Logikaku mati! Aku sendiri tak tahu, apakah aku ini masih perempuan yang waras. Perasaanku sudah mati untuk memikirkan anak, suami, dan keluarga. Bahkan, memikirkan masa depan pun sudah tak ada. Aku ingin mati, tapi takut dosa. Bertahan hidup, aku sudah tak punya keinginan. Aku pasrah.
Hari itu aku menerima kabar, Mas Dasir suamiku ditangkap polisi. Ia dimintai keterangan polisi atas meninggalnya kakak, karena sewaktu kejadian suamiku barusan menjenguk anak. Belakangan, suamiku dijadikan tersangka. Dari hasil penyelidikan, terbukti kuat suamiku yang melakukan pembunuhan. Yang lebih mengerikan, suamiku juga mengakui telah membunuh adik kandungnya demi mendapatkan hak waris.
Pembaca yang budiman, jika keadaan sudah seperti ini, masihkah pintu maaf kubuka untuk suamiku? Pikiranku kacau. Satu-satunya yang kini kulakukan hanya menghabiskan kontrak terdahulu, lalu menyambung kontrak di rumah majikan ini demi masa depanku dan anak semata wayangku.(Dituturkan ”Ir” kepada Kristina Dian S dari Apakabar)
SUAMIKU PEMBUNUH BERDARAH DINGIN
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Said
wah srem jg neh suamiku berdarah dingin ! kabur ah heheheheheh
Said
Kasihan banget sih nasibnya, tentu dia dalam kebimbangan yang amat sangat ya. Semoga bisa berpikir jernih dan mengambil keputusan yang tepat.
Said
wah ini cerita nyata yah mbak..duh serem banget nie ceritanya..klo gitu mbak dapet langsung dari sumbernya dong..wahhhh..seyeemmmm..:-s
Said
Replay:
@roga:walah kok malah kabur tho mas?he..he...
@ani:kayaknya si suami terpaksa melakukan itu, soalnya gak punya uang kali.
@blogger A:ini kisah nyat ayg ditututrkan narasumber. kebetulan aku memegang kolom curhat di mediaku.
Said
Astaghfirullah.... ada aja di di dunia ini manusia2 yg gak punya hati ya...
Dan yang paling berat kalau menyakiti sesama manusia dan tidak mendapat pintu maaf, balasannya sangat berat di akhirat nanti.
Biarlah pengadilan akhir yang Maha Adil yang menghukum orang2 semacam itu
Said
Mata hatinya gelap
Said
Replay:
@eucalytus:aku jadi turut merinding nih yuk. swer deh.
@abang:bisa segelap itukah matahati manusia?
Said
Kasian sekali perempuan itu ya, aku yang baca aja ngeri, apalagi yang mengalami langsung... Sepertinya suaminya melakukan semua demi uang juga demi cintanya pada istrinya.
Said
ini kejadian nyata ternyata ada juga suami yang sadis gitu ya mbak..ga habis pikir deh
Said
Replay:
@irm mamavian:saya rasa juga begitu. demi uang juga demi isteri. saya pikir ini juga bisa menjadi pelajaran bagi seorang istri, terlalu menuntut ekonomi pada suami berakibat demikian. makasih ya mam.
@tony:setuju dengan bang andi:gelap mata hati,he..he..
Said
hmmm, bgs gt yah,...
yg psti kata maap sll hrs ad....
Said
waduh...ngeri bgt yak...
ga tega juga kalo baca kisah hidup begini...
semoga yang bersangkutan tetap kuat..
Said
diannnn...ceritanya serem banget sihh...
Said
Serem sekali ceritanya...tabah Mbak, tuhan maha adil koq
Said
Replay:
@hikariana:makasih.
===========
@mike:aku juga gak nyangka ada kisah sampai segitunya.
==========
@bintang:iy aya. btw kemana aja sih?
=========
@indo:tul, tuhan maha adil.
Said
untuk mengurangi suasana serem ijinkan saya menyanyikan sebuah lagu dari jony iskandar..... ehm..ehm..!
torerojing...torejing..torejing
torerojing torejing...torejing..
Said
Berat banget cobaannya, dan bertubi2 pula...
Tp sepertnya harus dilihat juga dari sisi si suami kenapa ia sampai gelap mata deh..
Mungkin dia pun merasa tertekan karena tidak dibiarkan oleh ortunya utk bisa hidup mandiri (justru diikat terus utk membantu usahanya. bahkan tanpa gaji). sementara di sisi lain ia punya tanggung jawab utk menghidupi anak dan istrinya.
Jadi, ini bisa jadi pelajaran juga bwt para orang tua, agar jangan terlalu mengekang anaknya. berikan kesempatan pd anaknya utk menjalani hidupnya secara mandiri.
(ini bukan curhat ku loh... jangan dimasukkan di kolom curhat. hehehe..)
Said
Ada juga Suami yang kayak gitu ya. apa nggak liat istrinya tuh cuantikk kali ya... (kayak aku nih juga liat aja) hehehe..........
Said
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
Komentar ini telah dihapus oleh administrator blog.Said
Replay:
@iksan:sejak kapan jadi pengamen nih,he..he...
@pesisir-kidul:aku sependapat,kemingkinan suami melakukan itu karena tekanan batin.
@mas_prie:saya duga, dia melakukan itu karena istrinya cantik yg artinya ogah kehilangan. tapi sayangnya ia salah jalan.
Said
YA memang hidup tidak selalu Berajalan DEngan Baik,Kisah KEjam diatas,Adalah Gambaran KEluarga Yang Tidak HARmonis?????wesssssss ngeri Banget!!ikUT meRINDING hi< NGERi...........!
Said
kejamnya!!
biar Allah yang membalas semua perbuatan manusia sakit itu..
Said
wow.... beneran ya... wow... yg sabar ya... sabar emang panas... tpi bisa menghangatkan waktu dingin... ikuti kata hati dech... wokke
Said
yg jelas dengan blog... bsa beli mobil ama rumah... coba kalo dari gaji doang... mana bisa... hiks...hiks...
Said
asli merinding niyh bacanya.. makin banyak ya kasus kek gini??
Said
Replay:
@betet:aku juga ngerasa gitu. terlalu mengerikan.makasih atsa komennya ya?kenapa gak ngasih urlnya ya?
=====
@eivengusky:kalo gak DIA yg isa ngebalas?aku mau ngebalas juga gak bisa,he..he..
@masenchipz:dari kemarin kok yg diomongin cuma gaji tho?dikau ini sama aza,he..he..
@unieq:mudah mudahan suatu saat nanti dikau tak menemui pria seperti ini. amien.
Said
Medeni..
Said
Semua orang pasti punya salah atau pernah bersalah,
Semoga Si Suami dibuka pintu hatinya. kemudian tobat yg sebenarnya. juga istri masih mau menerima suaminya nanti jika sudah bebas dari polisi.
trus merka bisa bangun hidup baru yang lebih baik.
Said
Replay:
@diorockout:benarkah medeni?
======
@madong:aku juga turut berdoa begitu. mudah2an si isteri masih mau menerimanya.
Said
aduhh sedih ya entrynya, aku tumpang simpati atas apa ang berlaku..
Said
Oh my god...is man like that in the world?
Said
Replay:
for bash and manggis:begitulah hidup...
Said
fuhhhhh edannnnn
Said
cerita nyata ya? kalo gw jadi wanita itu... kasih kesempatan kah? jujur gw sangat berat untuk ngasih, kemungkinan besar gak akan dikasih... karena pembunuhan itu bukan kesalahan kecil. bunuh 2 orang pula. adik kandung sendiri demi harta? bener2 setan udah ngerasukin ...
Said
replay 4 billah and pams:
jangan emosi ya..mudah2an kita berada diantara orang 2 yg bisa mencelakai kita.
Said
wah lebih baik dipikir2 lagi buat menjalankan hidup bersama...karena dia (suaminya) sudah rela membunuh saudara kandungnya sendiri karena unruk harta.....
Said
tul sekali tuh kang. aku juga berharap begitu.
Said
Wah aku jadi terenyuh ternyata kisah ini persis cerita temenku
Said
Ini persis abang kandungku yang bikin aku jadi gak betah di tanah air
Said
oh ya?memiliki kesamaan kisah ya?
Said
miris dan mengerikan byme salam kenal
Said
suaminya bener2 kejam, bunuh 2 orang saudara ditambah bunuh orang lain waktu dia masuk penjara pertama kali total 3 orang. Sekali membunuh, pasti godaannya besar untuk membunuh lagi dan otaknya nggak bisa berpikir jernih untuk mencari jalan keluar yang benar kalau ketemu jalan buntu. Makanya biarpun dipaksa orang tua, kalau hati kecil kamu bilang sebaiknya nggak mau kawin sama ex pembunuh, sebaiknya kabur aja sebelum hari perkawinan. Kalau memang si suami bener, pasti memilih minggat dari rumah daripada membunuh. Lebih baik jangan pernah balik sama suaminya, karena juga akan berakibat buruk untuk anaknya. Kalau di luar negeri, si suami udah dihukum seumur hidup karena membunuh 3 orang, yg satu pembunuhan terencana.
Said
astagfirulah aladim